Jakarta, CNN Indonesia -- Pagi itu, Lia (26) yang terburu-buru untuk berangkat ke kantor lupa untuk membawa dompet. Hal ini baru ia sadari ketika sudah hampir sampai ke kantor.
Maklum, ia menggunakan jasa layanan
ojek online yang menggunakan pembayaran dengan
uang elektronik. Meski tak membawa dompet, ia mengaku tak lagi gelisah selama telepon pintarnya tak ikut tertinggal.
"Ada
mobile banking dan saya punya akun uang elektronik salah satu bank. Jadi bisa ditransfer dan tarik tunai tanpa perlu di mesin ATM tanpa perlu kartu," ujar Lia kepada
CNNIndonesia.com.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya dapat melakukan transaksi penarikan uang, ia pun mengaku bisa melakukan berbagai transaksi pembayaran, termasuk makan siang dengan uang yang disimpannya di dompet elektronik.
"Sekarang kalau dompet ketinggalan, enggak bingung. Tapi kalau
handphone yang ketinggalan pasti bingung," ungkapnya.
Perkembangan teknologi yang pesat memungkinkan alat pembayaran kini semakin beragam. Kini, transaksi pembayaran dapat dengan mudah dilakukan melalui telepon genggam, yang mungkin tak pernah terbayang 10 tahun lalu.
Berdasarkan data BI, per 21 November 2018, 33 penyelenggara uang elektronik telah mengantongi izin dari BI, baik yang berbasis server
(server based) maupun yang berbasis kartu
(chip based). Daftar uang elektronik. (CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi) |
Selain itu, BI juga telah menerbitkan tiga izin penyelenggara dompet elektronik. Tahun lalu, BI menerbitkan izin untuk PT Nusa Satu Inti Artha untuk produk DokuPay yang telah diunduh oleh sekitar dua juta pengguna.
Kemudian, tahun ini BI menerbitkan dua izin lagi yaitu kepada PT Bank Negara Indonesia Tbk untuk produk Yap yang telah diunduh oleh dan PT Espay Debit Indonesia Koe untuk produk Dana. Hingga pertengahan Desember 2018, pada
Google Play Store, aplikasi Yap telah diunduh oleh lebih dari 100 ribu dan Dana lebih dari 1 juta pengguna.
Tak hanya itu, sebanyak 34 perusahaan teknologi finansial
(fintech) yang terkait langsung dengan sistem pembayaran pada tahun ini juga telah mendaftar di BI. Beberapa di antaranya telah menggunakan teknologi lanjutnya untuk mempermudah transaksi pembayaran secara
nontunai seperti scan QR yang ditawarkan oleh PT Dimo Pay Indonesia untuk produk Pay by QR.
Bertambahnya jumlah penyelenggara membuat nilai transaksi uang elektronik juga melesat tahun ini. Berdasarkan statistik Sistem Pembayaran BI, volume dan nilai transaksi uang elektronik sepanjang Januari-September 2018 melonjak dibanding periode yang sama tahun lalu.
Volume transaksi uang elektronik pada periode tersebut mencapai 1,99 miliar atau naik hampir 277 persen dibanding periode yang sama tahun lalu yan hanya sebanyak 547 juta. Nilai transaksinya bahkan melesat mencapai lebih dari empat kali lipat dari Rp7,5 triliun menjadi Rp31,6 triliun.
Hal itu tak lepas dari meningkatnya jumlah uang elektronik yang beredar hingga September 2018 mencapai 142,47 juta, naik nyaris dua kali lipat dibanding periode yang sama tahun lalu sebanyak 71,78 juta.
Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Onny Widjanarko mengungkapkan melesatnya pembayaran nontunai tahun ini salah satunya dipicu oleh kewajiban pembayaran tol secara nontunai mulai 31 Oktober 2017. Selain itu, peningkatan transaksi juga didorong oleh transaksi uang elektronik pada sejumlah
e-commerce yang makin meningkat.
Tak hanya itu, banyak pemain uang elektronik nonbank yang sudah banyak memfasilitasi transaksi parkir dan toko-toko kecil. "Tapi transaksi tol masih menjadi penunjang utama kenaikan uang elektronik," ujar Onny kepada
CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.
Meski banyak yang sudah mulai bergeser ke pembayaran nontunai, masih banyak masyarakat yang masih enggan. Hal itu tak lepas dari pemahaman yang masih terbatas.
Kubil (51) misalnya, pemilik warung bakso di area Kayumanis, Jakarta Timur masih enggan menerima pembayaran uang elektronik. Padahal, warungnya telah memiliki stiker pembayaran nontunai dari sejumlah penyelenggara. Kubil beralasan, transaksi pembayaran akan menjadi semakin rumit karena harus menggunakan mesin atau telepon genggam.
"Lebih enak tunai, bisa langsung saya gunakan untuk belanja tidak perlu ke ATM," ujarnya.
Ungkapan senada juga dilontarkan oleh Asri Ningsih (38), ibu rumah tangga. "Saya enggak ngerti pakai aplikasinya. Jadi tunai saja biar enggak pusing," ungkapnya.
Masih minimnya pemahaman masyarakat dan ketatnya persingan membuat pemain uang elektronik, terutama yang berbasis server, jor-joran dalam melakukan promosi. Hal itu terutama dilakukan penerbit uang elektronik berkantong tebal, seperti
GoPay dan
Ovo dengan mitra
merchant-nya.
Penawaran diskon menjadi cara jitu untuk menarik masyarakat agar mau mengunduh aplikasi pembayaran yang ditawarkan. Cara ini terbukti efektif terutama untuk pasar dari kalangan milenial yang memang sudah melek digital.
"Saya mengunduh OVO karena ingin dapat diskon," ujar Sari Elawati (28), karyawan swasta , kepada
CNNIndonesia.com.Dengan membayar menggunakan OVO, Sari akan mendapatkan
cashback (uang kembali) sebesar 10 persen setiap bertransaksi di sejumlah gerai di pusat perbelanjaan, terutama yang dikelola oleh Group Lippo, pemilik OVO. Sari mengungkapkan pertama kali mengunduh aplikasi OVO karena ingin mendapatkan promosi diskon parkir Rp1 di salah satu mal di Jakarta.
Wiwin (32), salah satu pengelola usaha cuci baju (laundry) di Jakarta Pusat, juga mengatakan beberapa pelanggannya mengunduh OVO di tempat karena ingin mendapatkan diskon berupa
cashback 5 persen dari nilai transaksi. Berdasarkan pantauan
CNNIndonesia.com di Google Store, aplikasi OVO telah diunduh lebih dari lima juta pengguna.
"Jumlah uang yang saya terima sama karena saya memasukkan sesuai harga. Soal diskon itu dari sananya," ujarnya.
Hal senada juga diungkap, Erik Tjahjadi (24). Ia mengaku frekuensi isi ulang pada akun GoPay miliknya meningkat setelah penyelenggara menebar banyak diskon di sejumlah m
erchant restoran cepat saji. Dari yang biasanya seminggu sekali menjadi seminggu tiga kali dengan rata-rata nominal Rp100 ribu per isi ulang.
"Lumayan, diskon 20 persen kalau bayar pakai GoPay di McD (McDonalds)," ujarnya.
 Ilustrasi transaksi GoPay. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma) |
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan penerbit uang elektronik rela 'bakar uang' untuk promosi demi meraup pangsa pasar yang dominan. Meski menguntungkan konsumen, cara tersebut sebenarnya tidak menciptakan iklim kompetisi yang sehat.
Dalam hal ini, promosi tersebut menciptakan penghalang untuk masuknya pemain baru. "Artinya, yang nantinya masuk hanya pemain yang memang memiliki modal yang besar," ujarnya.
Selain itu, penerbit juga rela memberikan subsidi transaksi karena dengan banyaknya pengguna, penerbit bisa mengumpulkan data pola transaksi masyarakat. Data tersebut bisa dimanfaatkan untuk strategi pemasaran.
Banyaknya pengguna, lanjut Bhima, juga akan menjadi aset untuk penerbit saat melakukan ekspansi ke bisnis pinjam meminjam secara
online. Bisnis kredit, menurut Bhima, akan lebih menguntungkan dibandingkan bisnis uang elektronik.
"Setelah mereka masuk ke kredit, di sana mereka bisa menarik biaya. Dari situ mereka bisa balik modal," jelasnya. Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara meyakini laju pertumbuhan transaksi
nontunai bakal semakin melesat seiring perkembangan teknologi. Ia memperkirakan dalam dua tahun kedepan, transaksi pembayaran nontunai yang saat ini masih di bawah 2 persen dari total transaksi, bisa meningkat menjadi 5 persen.
Hal ini terjadi seiring semakin banyaknya pemain yang masuk dan meningkatnya pemahaman masyarakat. "Dengan promo yang besar-besaran orang yang tadinya belum paham aplikasi pembayaran, menjadi melek," ujar Bhima.
Kendati demikian, Bhima menyoroti tiga hal yang perlu diperbaiki. Pertama, industri perlu meningkatkan efisiensi infrastruktur sistem pembayaran nontunai.
Berdasarkan data BI, jumlah infrastruktur uang elektronik yang berupa mesin pembaca
(reader/EDC) mencapai 902.442 unit atau tumbuh 30,5 persen dibandingkan posisi akhir tahun lalu, 691.331 unit.
Akan lebih efisien apabila satu mesin bisa digunakan untuk membaca beberapa platform pembayaran. Dengan demikian, satu merchant tidak perlu menyediakan berbagai mesin pembaca atau
Electronic Data Capture (EDC)."Kalau tidak efisien, akan ada biaya yang dibebankan kepada konsumen. Biaya itu salah satunya adalah penyediaan mesin EDC," ujar Bhima.
Selain itu, lanjut Bhima, integrasi antar uang elektronik juga masih terbatas akibatnya satu produk uang elektronik yang hanya bisa digunakan di
merchant tertentu. Contohnya, di Jakarta, kartu uang elektronik dari operator kereta komuter tidak bisa digunakan untuk bus Transjakarta atau untuk pembayaran tol.
"Padahal, keberadaan uang elektronik kan juga untuk mendukung s
mart city," ujarnya.
Selain itu, masalah keamanan juga menjadi perhatian. Saat ini, sebagian besar kartu uang elektronik yang diterbikan bank bersifat layaknya uang tunai, yakni saldo akan hilang jika kartu hilang. Padahal, menurut dia, masyarakat membutuhkan sistem yang andal dan aman.
Wakil Ketua Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) Rico Usthavia Frans menyambut positif tren meningkatnya transaksi nontunai melalui uang elektronik. Pasalnya, selain lebih aman, pembayaran nontunai juga lebih efisien dan praktis dibandingkan pembayaran secara tunai.
Namun, ke depan, Rico berharap harus ada penyehatan model bisnis uang elektronik di Indonesia. Salah satunya, terkait pengenaan biaya transaksi melalui mesin EDC yang dibebankan kepada toko
(merchant discount rate/MDR) untuk uang elektronik.
Rico mengungkapkan, saat ini, bisnis uang elektronik secara umum masih merugi karena tidak ada pengenaan MDR. "Tanpa MDR yang sehat maka penerbit (uang elektronik) tidak bisa berinvestasi secara berkesinambungan," jelasnya.
 Mesin EDC untuk memproses transaksi pembayaran nontunai. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Sementara, untuk uang elektronik berbasis server, perlu ada standar keamanan yang mumpuni agar bisa melindungi konsumen.
Selain itu, menurut dia, asas resiprokal seharusnya juga diterapkan antara penerbit uang elektronik bank dan nonbank. Sebagai contoh, bank telah memberikan fasilitas isi ulang uang elektronik tertentu.
Penyelenggara uang elektronik terkait seharusnya juga membuka opsi pembayaran langsung dari kartu debit atau kartu kredit untuk layanan di platformnya.
Pengawasan terkait permodalan juga perlu dilakukan. Untuk mencegah dominansi asing, PBI 20/2018 telah mengatur kepemilikan asing dalam perusahaan penyelenggara uang elektronik lembaga nonbank maksimal hanya 49 persen.
"Ke depan, ASPI akan terus berkoordinasi dengan BI demi menciptakan industri sistem pembayaran yang sehat, aman dan dapat diandalkan," pungkas Rico.