Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara meyakini laju pertumbuhan transaksi
nontunai bakal semakin melesat seiring perkembangan teknologi. Ia memperkirakan dalam dua tahun kedepan, transaksi pembayaran nontunai yang saat ini masih di bawah 2 persen dari total transaksi, bisa meningkat menjadi 5 persen.
Hal ini terjadi seiring semakin banyaknya pemain yang masuk dan meningkatnya pemahaman masyarakat. "Dengan promo yang besar-besaran orang yang tadinya belum paham aplikasi pembayaran, menjadi melek," ujar Bhima.
Kendati demikian, Bhima menyoroti tiga hal yang perlu diperbaiki. Pertama, industri perlu meningkatkan efisiensi infrastruktur sistem pembayaran nontunai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan data BI, jumlah infrastruktur uang elektronik yang berupa mesin pembaca
(reader/EDC) mencapai 902.442 unit atau tumbuh 30,5 persen dibandingkan posisi akhir tahun lalu, 691.331 unit.
Akan lebih efisien apabila satu mesin bisa digunakan untuk membaca beberapa platform pembayaran. Dengan demikian, satu merchant tidak perlu menyediakan berbagai mesin pembaca atau
Electronic Data Capture (EDC).
"Kalau tidak efisien, akan ada biaya yang dibebankan kepada konsumen. Biaya itu salah satunya adalah penyediaan mesin EDC," ujar Bhima.
Selain itu, lanjut Bhima, integrasi antar uang elektronik juga masih terbatas akibatnya satu produk uang elektronik yang hanya bisa digunakan di
merchant tertentu. Contohnya, di Jakarta, kartu uang elektronik dari operator kereta komuter tidak bisa digunakan untuk bus Transjakarta atau untuk pembayaran tol.
"Padahal, keberadaan uang elektronik kan juga untuk mendukung s
mart city," ujarnya.
Selain itu, masalah keamanan juga menjadi perhatian. Saat ini, sebagian besar kartu uang elektronik yang diterbikan bank bersifat layaknya uang tunai, yakni saldo akan hilang jika kartu hilang. Padahal, menurut dia, masyarakat membutuhkan sistem yang andal dan aman.
Wakil Ketua Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) Rico Usthavia Frans menyambut positif tren meningkatnya transaksi nontunai melalui uang elektronik. Pasalnya, selain lebih aman, pembayaran nontunai juga lebih efisien dan praktis dibandingkan pembayaran secara tunai.
Namun, ke depan, Rico berharap harus ada penyehatan model bisnis uang elektronik di Indonesia. Salah satunya, terkait pengenaan biaya transaksi melalui mesin EDC yang dibebankan kepada toko
(merchant discount rate/MDR) untuk uang elektronik.
Rico mengungkapkan, saat ini, bisnis uang elektronik secara umum masih merugi karena tidak ada pengenaan MDR. "Tanpa MDR yang sehat maka penerbit (uang elektronik) tidak bisa berinvestasi secara berkesinambungan," jelasnya.
 Mesin EDC untuk memproses transaksi pembayaran nontunai. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Sementara, untuk uang elektronik berbasis server, perlu ada standar keamanan yang mumpuni agar bisa melindungi konsumen.
Selain itu, menurut dia, asas resiprokal seharusnya juga diterapkan antara penerbit uang elektronik bank dan nonbank. Sebagai contoh, bank telah memberikan fasilitas isi ulang uang elektronik tertentu.
Penyelenggara uang elektronik terkait seharusnya juga membuka opsi pembayaran langsung dari kartu debit atau kartu kredit untuk layanan di platformnya.
Pengawasan terkait permodalan juga perlu dilakukan. Untuk mencegah dominansi asing, PBI 20/2018 telah mengatur kepemilikan asing dalam perusahaan penyelenggara uang elektronik lembaga nonbank maksimal hanya 49 persen.
"Ke depan, ASPI akan terus berkoordinasi dengan BI demi menciptakan industri sistem pembayaran yang sehat, aman dan dapat diandalkan," pungkas Rico.
(agi)