Kurang Bayar Pajak 2 Tahun Bakal Didenda 2 Persen per Bulan

CNN Indonesia
Kamis, 28 Nov 2019 18:20 WIB
Menkeu Sri Mulyani bakal berlakukan denda 2 persen per bulan bagi masyarakat yang kurang bayar pajak lebih dari 2-3 tahun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani akan memberlakukan denda 2 persen per bulan bagi masyarakat yang kurang bayar pajak selama 2-3 tahun. (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari).
Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan akan memberlakukan penalti pajak beserta bunganya bagi masyarakat yang kurang bayar pajak lebih dari 2-3 tahun. Rencananya penalti yang dikenakan berbentuk denda sebesar 2 persen per bulan, sehingga total denda pajak dalam 24 bulan sekitar 48 persen.

Penalti tersebut akan diatur dalam omnibus law atau penyatuan aturan perpajakan.

"Nah sekarang fair saja, dendanya sebesar suku bunga yang selama ini, bunga market dan sekarang rendah. Tapi kalau kriminal dia dengan sengaja kurang bayar maka akan kena top up 5 sampai 10 persen. Cukup fair," tegasnya seperti dikutip dari Antara, Kamis (28/11).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain kebijakan tersebut, Sri mulyani juga mengatakan pemerintah akan merombak aturan pajak lain. Pertama, aturan PPh Badan. Pemerintah berencana menurunkan tarif PPh badan dari 25 persen menjadi 20 persen.

Rencananya, penurunan PPh perusahaan tersebut akan dilakukan secara bertahap. Pada 2021, tarif akan diturunkan menjadi 22 persen. Pada 2023 tarif akan diturunkan kembali menjadi 20 persen.

"Kita lakukan bertahap karena perlu jaga dampak fiskal jadi menurunkan tax based signifikan," ujarnya.

Kedua, aturan PPh pada perusahaan yang mencatatkan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Melalui omnibus law tarif PPh perusahaan tersebut akan diturunkan sebesar 3 persen selama lima tahun sejak perusahaan tersebut melakukan IPO.

"Supaya ada additional perusahaan listing sehingga bursa semakin dalam dan berkembang. Jadi kalau anda sudah 20 anda dapat tax rate 17 persen dalam lima tahun," katanya.

Insentif lain yang juga akan diatur dalam omnibus law adalah penghapusan pajak dividen kepada perusahaan-perusahaan yang melakukan ekspansi dan memiliki share di bawah 25 persen.

"Kalau di bawah itu selama ini dipajaki sehingga sekarang kita mau buat sama saja, enggak usah dipajakin. Tapi kita masih akan menyaring karena di dalam kabinet masih ada dinamika pembahasan," katanya.

Ketiga, aturan pajak WNA yang bekerja di Indonesia.

"Ini yang menyebabkan misalnya nanti Nadiem Makarim (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) mau mengundang profesor ke sini yang dipajakin bukan hanya incomenya yang ada disini, tapi juga incomenya dia yang dari luar. Itu yang kami koreksi," katanya.


Keempat, penerapan pajak e-commerce kepada perusahaan digital internasional seperti Amazon, Netflix, Spotify, dan lainnya yang tidak memiliki kantor perwakilan di Indonesia.

"Selama ini mereka tidak perlu punya kantor cabang di sini karena semuanya sudah digital. Sedangkan ekonomi present-nya sangat signifikan sehingga if you have economy present maka saya bisa meminta anda untuk menjadi pemungut pajak dan pembayar pajak di Indonesia," katanya.

[Gambas:Video CNN]
Kelima, soal insentif pajak seperti tax holiday dan tax allowance. Itu akan dijadikan satu bagian sebab menurut Sri Mulyani selama ini diturunkan melalui UU investasi.

"Selama ini tax holiday dan tax allowance kami turunkan bukan dari UU pajak. Banyak permintaan (insentif) tapi di UU Pajak sendiri tidak mengakomodasi sehingga kita masukan seluruh insentif itu ke kawasan ekonomi khusus dan lain-lain itu semua di situ (UU Investasi)," katanya.

Ia menyebutkan ada lima UU yang direvisi menggunakan metode omnibus law ini yaitu Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta Undang-Undang Pemerintah Daerah (Pemda).

Lebih lanjut, Menkeu menargetkan akan menyerahkan draf omnibus law atau beleid yang menggabungkan sejumlah aturan menjadi satu UU sebagai payung hukum baru terkait perpajakan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada pertengahan Desember 2019.

(agt)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER