Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan banyak masyarakat yang masuk dalam kelompok masyarakat miskin baru akibat penyebaran virus corona. Ini terjadi karena sikap pemerintah yang lelet dalam menangani wabah tersebut.
"Ya jelas pemerintah gagap. Pemerintah lambat melakukan antisipasi, pemerintah tidak siap," ucap Tauhid.
Penyebaran virus corona bermula di China pada Desember 2019 lalu dan mulai menyebar ke berbagai negara sejak awal 2020. Namun, pemerintah masih tenang pada Januari dan Februari 2020.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemerintah baru mengucurkan sejumlah insentif pada awal Maret 2020. Tapi, itu pun fokus di sektor pariwisata.
"Bukannya menghentikan penerbangan, tapi memberikan insentif ke sektor pariwisata. Di situlah virus masuk tapi pemerintah masih adem ayem," kata dia.
Kemudian, pemerintah baru gencar menyiapkan banyak stimulus ekonomi pada akhir Maret 2020. Tepatnya, setelah kasus virus corona muncul di Indonesia dan jumlahnya selalu bertambah setiap hari.
"Akhir Maret akhirnya baru ada insentif-insentif pajak, bantuan sosial (bansos)," imbuh Tauhid.
Dengan penambahan insentif tersebut, pemerintah memutuskan untuk mengerek alokasi belanja sebesar Rp405,1 triliun dalam APBN 2020. Penambahan itu tertuang dalam Perppu Nomor 1 Tahun 2020 terkait Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Jika dirinci, pemerintah mengalokasikan penambahan dana itu untuk insentif program pemulihan ekonomi sebesar Rp150 triliun, jaring pengaman sosial (social safety net) sebesar Rp110 triliun, insentif di sektor kesehatan Rp75 triliun, dan insentif perpajakan hingga kredit usaha rakyat (KUR) sebesar Rp70,1 triliun.
Namun, Tauhid menilai dampaknya tak bisa dirasakan dalam waktu dekat. Minimal, baru akan terasa pada kuartal II atau kuartal III 2020.
Sebab, sejumlah insentif itu baru berlaku mulai April 2020. Insentif perpajakan misalnya, mereka baru diberikan kesempatan untuk mengajukan relaksasi bulan lalu.
Prosesnya masih berlangsung hingga saat ini. Beberapa ada yang sudah diberikan insentif, tapi tak sedikit pula yang masih dalam tahap seleksi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani sebelumnya menyatakan 215.255 wajib pajak (WP) telah mengajukan insentif pajak kepada pemerintah. Namun, jumlah permohonan yang disetujui baru sebanyak 193.151 WP.
Tak heran, dampaknya ke dunia usaha belum terasa. Efek dari insentif pajak diramalkan baru terasa kuartal II 2020.
Masalah Data BansosSelain itu, ada program bansos kerap menjadi sorotan banyak pihak karena proses pendataannya yang carut marut. Tak heran, penyaluran bansos sejauh ini masih kurang efektif.
"Bansos harusnya efektif menaikkan daya beli masyarakat, tapi karena penerima bansos masih belum tepat sasaran jadi dampaknya belum terasa," ujar Tauhid.
Ia menyatakan bansos memang tak bisa mengangkat seseorang dari jurang kemiskinan, tapi minimal dapat mempertahankan daya beli masyarakat. Dengan demikian, tingkat konsumsi rumah tangga diharapkan tak turun signifikan dan ekonomi bisa tetap positif.
"Bansos yang diberikan juga saya lihat masih kurang, hanya Rp500 ribu-Rp600 ribu per tahap. Seharusnya minimal Rp1 juta demi memenuhi kebutuhan bahan pokok masyarakat," jelasnya.
Wakil Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Wamendes PDTT) Budi Arie Setiadi sebelumnya menyebut DKI Jakarta adalah provinsi paling kacau dalam hal Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) untuk penerima bansos. Hal ini diketahui setelah pemerintah pusat dan daerah saling bersinergi dalam memberi bantan kepada warga.
"Yang paling ngawur itu data Provinsi DKI Jakarta. Nah itu memang datanya kacau sekali," ungkap Budi.
Kacaunya proses data bansos juga diakui oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dia menyebut masalah pendataan khususnya terjadi pada pembagian bansos dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT) tahap pertama.
Namun, ia berjanji akan memperbaiki proses pendataan masyarakat penerima bansos pada pembagian BLT tahap kedua bulan depan. Dengan demikian, semua pihak yang membutuhkan akan mendapatkan bantuan dari pemerintah dan tidak ada tumpang tindih pemberian bansos.
Kemudian, bantuan lainnya yang juga banyak menuai kritik adalah Program Kartu Prakerja. Tauhid menyatakan pelatihan secara daring (online) kurang membantu masyarakat yang terdampak penyebaran virus corona.
"Lebih baik bansos tunai, pelatihan online nanti dulu. Yang sekarang dibutuhkan tunai untuk bertahan hidup. Di negara lain pun ada dana tunai untuk korban PHK misalnya," ucap Tauhid.
Sementara, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menyoroti keputusan pemerintah yang mengerek kembali iuran BPJS Kesehatan di tengah penyebaran virus corona. Kebijakan ini bisa jadi kontradiktif dengan upaya pemerintah untuk menaikkan daya beli masyarakat.
"Waktunya tidak pas, memang agak kontradiktif walau sebenarnya yang naik banyak hanya peserta mandiri kelas I dan II," tutur Piter.
Dengan kata lain, daya beli masyarakat berpotensi semakin melemah karena kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Sebab, masyarakat harus mengalokasikan dana yang lebih banyak untuk membayar iuran.
"Karena waktunya tidak pas jadi memunculkan kesan ini akan menurunkan daya beli," katanya.
Sebagai informasi, kenaikan iuran BPJS Kesehatan tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Dalam aturan itu, iuran BPJS Kesehatan akan naik mulai Juli 2020 untuk peserta mandiri kelas I dan II. Kemudian, iuran peserta mandiri kelas III baru akan naik pada tahun depan.
Untuk kenaikannya sendiri tercatat hampir 100 persen. Detailnya, iuran peserta mandiri kelas I naik 87,5 persen dari Rp80 ribu menjadi Rp150 ribu, kelas II naik 96,07 persen dari Rp51 ribu menjadi Rp100 ribu, dan kelas III naik 37,25 persen dari Rp25.500 menjadi Rp35 ribu.
(age/agt)