Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Perhubungan (
Kemenhub) mengaku masih ingin fokus menjalankan aturan penerbangan bagi
maskapai sesuai dengan kebijakan yang berlaku saat ini, meski beberapa kritik dari berbagai pihak terus muncul di publik.
Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati mengatakan kementerian pada dasarnya hanya menjalankan aturan terbang dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Aturan itu berpedoman pada Surat Edaran (SE) Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
"Syarat kesehatan dan protokol kesehatan di transportasi umum merujuk pada SE Gugus Tugas. Pengendalian transportasi pun dalam mengangkut penumpang mengikuti ketentuan tersebut karena kami di Kemenhub fokus pada penyediaan transportasinya," ungkap Adita kepada
CNNIndonesia.com, Kamis (4/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sisi lain, Adita mengatakan aturan transportasi yang diberlakukan sejatinya tidak hanya berlaku untuk maskapai, namun juga moda transportasi lain, seperti bus, kereta, hingga kapal laut.
Begitu pula dengan aturan terkait penumpang. Seluruhnya, kata Adita, mengikuti aturan dari Gugus Tugas dan Kemenhub hanya menjalani saja.
"Jadi tidak hanya penerbangan tapi juga di moda yang lain (diatur SE Gugus Tugas). Syarat penumpang merujuk pada SE tadi juga," katanya.
Lebih lanjut, Adita mengatakan bila ada masukan dari berbagai pihak, maka sebaiknya langsung disampaikan ke Gugus Tugas selaku kepala dari seluruh kebijakan pemerintah di tengah pandemi corona saat ini.
"Masukan itu lebih tepat diajukan kepada Gugus Tugas," imbuhnya.
Sementara Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Raditya Jati selaku bagian dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 meminta publik sabar menunggu kebijakan resmi dari pemerintah. Saat ini, aturan yang berlaku tetap merujuk pada yang sudah diumumkan.
"Kami tunggu kebijakan resminya. Tunggu sampai ada pernyataan resmi, sabar dulu," ucapnya.
Sebelumnya, ada masukan dari pengamat penerbangan soal aturan terbang maskapai yang diberlakukan saat ini. Aturan saat ini dianggap 'mencekik' maskapai dan memberatkan kantong penumpang.
Pengamat Penerbangan Gatot Raharjo menilai ada beberapa kejanggalan dalam protokol new normal transportasi udara. Salah satunya, tumpang tindih antara mewajibkan tes swab
Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk seluruh penumpang dan
physical distancing selama di dalam pesawat.
Ia bilang cukup salah satu peraturan yang diterapkan. Logikanya, jika seluruh penumpang yang berangkat dinyatakan negatif covid-19, maka protokol kesehatan ekstrim seperti pengaturan duduk tidak perlu dilakukan. Maskapai cukup mewajibkan penumpang memakai masker.
Jika melihat protokol Asosiasi Angkutan Udara Internasional (IATA), sebetulnya maskapai tidak diharuskan memangkas setengah dari kapasitas penumpang. Maskapai hanya diwajibkan memiliki protokol sigap penanganan penumpang bergejala infeksi covid-19 dan menjaga sterilisasi pesawat selama penerbangan.
Apalagi, menurutnya, pesawat saat ini telah dilengkapi dengan sistem penyaring canggih
High Efficiency Particulate Air (HEPA) yang menyaring dan menjaga sirkulasi udara di dalam kabin pesawat.
"Kalau logikanya sudah ada rapid atau swab tes untuk melindungi masyarakat, kenapa di dalam pesawat diperlakukan lagi physical distancing? Kan sudah disaring di darat. Ini yang memberatkan maskapai," ujarnya.
Menurutnya, jika pemerintah memakai alasan menjaga kesehatan penumpang dan memutus rantai penyebaran virus corona, maka seharusnya pemerintah tak menentukan harga tertinggi tiket pesawat.
Gatot mengatakan jika pemerintah ingin memastikan keberlanjutan masa depan maskapai maka kebijakan harga tiket harus dikembalikan kepada maskapai masing-masing selama pandemi virus corona belum terkendali.
Dalam kalkulasinya, maskapai hanya dapat meraup untung jika tiket pesawat dinaikkan. Hal ini dengan asumsi kapasitas penumpang dipangkas setengahnya dan penumpang diwajibkan menyertakan surat negatif Covid-19 lewat PCR.
"Maskapai meraup untung bisa saja kalau harga tiket juga naik, umpamanya dua kali lipat. Hanya saja harga tiket diatur dalam SE Dirjen. Kalau tarif tidak naik ya berat, ada operasional yang jalan terus, penumpang juga dipangkas setengah," lanjutnya.
Namun, keputusan tersebut akan memberatkan kantong penumpang. "Airasia dan Sriwijaya itu sampai sekarang belum ada kabarnya. Sementara Sriwijaya punya 10 persen pangsa pasar. Kalau sampai berguguran, nanti selesai pandemi apa mau kita
engga punya maskapai lagi?" tuturnya.
Pengamat Penerbangan dari Arista Indonesia Aviation Center (AIAC) Arista Atmadjati menyoroti ketidaksiapan pemerintah dalam menjalankan protokol keberangkatan di bandara. Ia menilai protokol yang ada tak efektif dan efisien dalam menanggulangi pandemi virus corona karena minimnya simulasi sebelum peraturan ditetapkan.
Buruknya komunikasi publik juga menjadi permasalahan serius lainnya. Arista mengatakan jika komunikasi dan sosialisasi peraturan dilakukan dengan baik maka pembatalan penerbangan tak akan terjadi. Sehingga, maskapai tak perlu melakukan refund massal dan mogok terbang.
"Di masyarakat banyak yang tidak tahu mesti ada tes PCR makanya ketika di bandara banyak yang ditolak dokumentasinya. Makanya banyak yang minta refund, rugi maskapai," katanya.
[Gambas:Video CNN] (uli/age)