Jakarta, CNN Indonesia -- Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) disebut berhasil meningkatkan kohesi dan inklusi sosial karena terjadi penurunan angka ketimpangan masyarakat. Keberhasilan itu menempatkan Indonesia sebagai inisiator bagi negara lain yang akan mengukur hal serupa melalui pengelolaan jaminan sosial kesehatan di masing-masing negara.
Hal itu disampaikan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris saat memimpin Komisi Kesehatan dalam 14th Technical Commission on Medical Care and Sickness Insurance, yang diselenggarakan International Social Security Association (ISSA), Rabu (10/06). Komisi Kesehatan ISSA (TC Health) terdiri dari negara Algeria, Argentina, Belgia, Perancis, Gabon, Georgia, Hungaria, Indonesia, Iran, Kazakhstan, Korea, Peru, Rusia, Rwanda, Turki, dan Uruguay.
Fachmi menyebut, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) dan BPJS Kesehatan pada 2017 mengkaji di tahun 2015, Program JKN-KIS menekan koefisien Gini dari 0,395 menjadi 0,394. Kemudian pada 2016, JKN-KIS menekan koefisien Gini dari 0,384 menuju 0,383. Koefisien Gini biasa digunakan mengukur kesenjangan pendapatan dan kekayaan.
Selain itu, pada 2016 Program JKN-KIS telah menyelamatkan 1,16 juta orang dari kemiskinan, serta melindungi 14,5 juta orang miskin dari kondisi yang lebih parah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Selain memberi kontribusi pada penurunan ketimpangan dan mencegah orang jatuh miskin, dampak besar lainnya dari implementasi Program JKN-KIS adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia karena menjadi lebih sehat. Kondisi ini mendorong peningkatan produktifitas dan pertumbuhan ekonomi Indonesia jangka panjang," kata Fachmi.
Ia menuturkan, realita tersebut menjadi acuan negara lain, bahwa keberpihakan negara dalam memberi jaminan pengaman sosial, termasuk kesehatan, adalah sangat penting. Terlebih saat ini seluruh dunia berada dalam situasi pandemi yang memorakporandakan ekonomi global, sehingga beresiko memperlebar angka ketimpangan.
"Setiap negara harus dapat memastikan bagaimana aspek keberlangsungan finansial program jaminan sosial khususnya kesehatan serta memastikan angka
cakupan kepesertaan. Hal ini merupakan hal mendesak mengingat terdapat adanya kerentanan populasi secara global baik di tingkat ekonomi akibat peningkatan angka pengangguran," ujarnya.
ISSA selaku asosiasi lembaga jaminan sosial yang beranggotakan 158 negara kembali mempercayai Indonesia sebagai salah satu dari 13 Technical Comission atau Ketua Komisi Teknis, yakni dalam hal Kesehatan. Jabatan Technical Commission on Medical Care and Sickness Insurance ISSA periode 2020-2022 ini menjadi yang kedua kali bagi Fachmi. Pada 2018 silam di Jenewa Swiss, BPJS Kesehatan juga memimpin 12th ISSA Forum for Technical Commission.
Dalam kesempatan itu Fachmi memaparkan program kerja Komisi Kesehatan dengan memprioritaskan fenomena ageing population, tantangan perluasan cakupan jaminan sosial, dan kompilasi studi terkait hubungan antara Universal Health Coverage (UHC) dengan peningkatan kohesi sosial dan inklusi sosial. Atas kajian tersebut, pada 14th Technical Commission on Medical Care and Sickness Insurance, 16 negara sepakat memilih Indonesia sebagai acuan dalam studi peran Program JKN-KIS terhadap peningkatan kohesi sosial yang diukur melalui penurunan gini ratio, sehingga negara lain juga dapat memulai riset.
Komisi Kesehatan yang dipimpin oleh Dirut BPJS Kesehatan ini juga akan dihadirkan pada Konferensi Tingkat Tinggi Internasional bagi para CEO dan
senior manager program jaminan sosial sedunia atau ISSA LEAD 2021 yang akan diselenggarakan di Bali.
(rea)