BI Tahan Suku Bunga Acuan 4 Persen pada Oktober 2020

CNN Indonesia
Selasa, 13 Okt 2020 14:39 WIB
BI menahan suku bunga acuan (BI 7DRRR) pada posisi 4 persen. Begitu pun dengan deposit dan lending facility masing-masing 3,25 persen dan 4,75 persen.
BI menahan suku bunga acuan (BI 7DRRR) pada posisi 4 persen. Begitu pun dengan deposit dan lending facility masing-masing 3,25 persen dan 4,75 persen. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia --

Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) memutuskan menahan tingkat suku bunga acuan (7 Days Reverse Repo Rate/7DRRR) pada posisi 4 persen pada Oktober 2020. Begitu pula, dengan tingkat suku bunga deposit facility dan bunga lending facility masing-masing tetap di 3,25 persen dan 4,75 persen. 

"RDG BI pada 12-13 Oktober 2020 memutuskan untuk mempertahankan BI 7DRR sebesar 4 persen," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers hasil RDG BI periode Oktober 2020 secara virtual, Selasa (13/10). 

Perry mengatakan keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi global yang terus membaik, termasuk besarnya stimulus fiskal, salah satunya di AS. 

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lalu, turut didukung oleh pemulihan ekonomi China yang meningkatkan investasi industri manufaktur. Beberapa indikator pun mulai membaik.

"Mobilitas masyarakat global, PMI manufaktur dan jasa di beberapa negara, dan keyakinan konsumen AS dan Eropa membaik. Hal ini mendorong perbaikan harga komoditas, meski ketidakpastian masih berlanjut karena geopolitik, seperti Pemilu AS, Brexit, ketegangan AS-China, dan kelanjutan stimulus AS," ujarnya.

Keputusan RDG BI juga mempertimbangkan kondisi ekonomi nasional seiring meningkatnya realisasi dana program penanganan covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Selain itu, ekspor juga meningkat seiring naiknya permintaan dari AS untuk beberapa komoditas seperti besi baja dan tekstil. 

"Peran stimulus fiskal, ekspor, dan kenaikan investasi bangunan menyanggah ekonomi di tengah terbatasnya konsumsi. Terlihat penjualan eceran naik, penjualan online, dan job vacancy," jelas Perry.

BI juga mempertimbangkan indikator ketahanan ekonomi Indonesia, tercermin dari Defisit Transaksi Berjalan (Current Account Deficit/CAD) yang diperkirakan surplus pada akhir 2020.

Hal ini karena ada penyesuaian ekspor dan impor di tengah permintaan yang belum kuat. "Surplus relatif besar dibandingkan kuartal sebelumnya. Neraca pembayaran Indonesia juga diperkirakan surplus meski ada net outflow," tuturnya. 

Kemudian, posisi cadangan devisa Indonesia sebesar US$135,2 miliar pada September 2020. Ini setara 9,5 bulan impor atau 9,1 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. 

Selanjutnya, nilai tukar rupiah tercatat depresiasi 2,13 persen secara point-to-point (p-to-p) per akhir September 2020 atau terdepresiasi 5,56 persen dibandingkan akhir Desember 2019. Pelemahan karena masih tingginya ketidakpastian pasar global dan risiko domestik. 

"BI memandang rupiah akan menguat karena masih undervalue, didukung defisit transaksi berjalan yang rendah, inflasi rendah, daya tarik domestik yang tinggi, dan likuiditas global yang besar," terangnya. 

Lalu, inflasi masih terjaga rendah dengan deflasi 0,05 persen secara bulanan. Total inflasi sebesar 0,89 persen secara tahun berjalan dan 1,42 persen secara tahunan.

BI memperkirakan inflasi lebih rendah dari target 3 persen plus minus 1 persen pada 2020 dan kembali ke sasarannya di 3 persen plus minus 1 persen pada 2021. 

"Inflasi yang rendah dipengaruhi oleh turunnya inflasi inti sejalan dengan permintaan domestik yang belum kuat," katanya. 

Tak ketinggalan, bank sentral nasional turut mempertimbangkan kondisi pasar keuangan. BI mengklaim likuiditas tetap normal sehingga mendukung perekonomian. 

Sampai 9 Oktober 2020, BI menambah likuiditas atau quantitative easing sebesar Rp667,6 triliun terdiri dari GWM Rp155 triliun dan ekspansi moneter Rp496,8 triliun. Hal ini membuat rasio Alat Liquid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) sebesar 31,23 persen. 

Rata-rata suku bunga deposito dan kredit modal kerja turun menjadi 5,18 persen dan 9,88 persen. Imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) turun menjadi 6,87 persen per 12 Oktober 2020. 

Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) bank sebesar 23,39 persen pada Agustus 2020. Rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) sebesar 3,22 persen (gross) atau 1,14 persen (net). 

Pertumbuhan kredit bank turun dari 1,04 persen menjadi 0,12 persen. Sementara, pertumbuhan DPK meningkat jadi 12,88 persen pada September 2020. "Restrukturisasi kredit perbankan masih berlanjut terutama kredit UMKM," tandasnya. 

[Gambas:Video CNN]



(uli/bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER