Kemendag Catat 1.354 Sengketa Konsumen Terkait Pembiayaan

CNN Indonesia
Kamis, 29 Okt 2020 02:47 WIB
Kemendag mengimbau konsumen untuk mengetahui hak dan kewajibannya saat melakukan perjanjian pembiayaan sewa-guna-usaha (leasing).
Kemendag mengimbau konsumen untuk mengetahui hak dan kewajibannya saat melakukan perjanjian pembiayaan sewa-guna-usaha (leasing). Ilustrasi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia --

Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyoroti tingginya angka sengketa konsumen terkait pembiayaan sewa-guna-usaha atau leasing di Indonesia.

Berdasarkan data Direktorat Pemberdayaan Konsumen Kemendag, sebanyak 1.354 kasus sengketa pembiayaan leasing terjadi dalam kurun tiga tahun terakhir. Rinciannya, 366 kasus pada 2017, 571 kasus pada 2018, dan 417 kasus pada 2019.

"Untuk itu, permasalahan pembiayaan leasing perlu diangkat agar konsumen semakin sadar dan memahami hak dan kewajibannya," jelas Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kemendag Veri Anggrijono dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (27/10).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Veri, penyebab terjadinya permasalahan pembiayaan tersebut karena konsumen tak memahami isi perjanjian yang ditandatangani. Pasalnya, mereka tidak diberikan salinan perjanjian/dokumen terkait produk yang dibeli atau dimanfaatkan.

Selain itu, penandatanganan akta perjanjian jual beli juga kerap tak dilakukan di depan notaris, tidak adanya kesempatan konsumen untuk membaca terlebih dahulu isi klausul perjanjian, serta tidak adanya ruang komunikasi persuasif perjanjian dari konsumen yang telah dibuat sepihak oleh kreditur.

Masalah lain yang juga sering terjadi adalah penarikan paksa kendaraan akibat keterlambatan pembayaran yang diikuti dengan pemaksaan terhadap konsumen untuk menandatangani berita acara penyerahan objek jaminan, bahkan tidak menunjukkan sertifikat jaminan fidusia yang telah didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia.

Selain itu, konsumen harus membayar biaya denda dan biaya lainnya yang tidak diinformasikan di awal oleh pelaku usaha; serta penarikan paksa dan perlakuan tidak mengenakkan dari juru tagih yang bertindak selayaknya juru sita pengadilan atau penegak hukum.

Pada dasarnya, jika di kemudian hari terjadi sengketa yang diakibatkan konsumen wanprestasi, kreditur memang berhak melakukan eksekusi. Namun, eksekusi yang dilakukan wajib berpedoman pada UU 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF).

Esensi dari eksekusi berdasarkan UUJF, menurut Veri, telah memperhatikan hak konsumen karena konsumen bisa mengetahui informasi dari proses eksekusi sampai dengan proses pelelangan maupun penjualan di bawah tangan.

"Konsumen berhak mendapatkan selisih dari nilai penjualan objek jaminan setelah dikurangi nilai tunggakannya. Hal ini yang harus diinformasikan kepada konsumen dan menjadi perhatian bersama agar tercipta keadilan dan kepastian hukum bagi kedua belah pihak," imbuhnya.

Untuk itu Veri mengimbau apabila terjadi sengketa, konsumen dapat menggunakan jalur-jalur penyelesaian sesuai ketentuan yang berlaku dengan mengedepankan asas keadilan.

"Kami juga mendorong peran dari lembaga perlindungan konsumen, baik Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) maupun Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) di daerah," tegasnya.

Sementara itu, Kepala Departemen Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Agus Fajri Zam mengatakan untuk menekan tingkat kredit macet agar sektor jasa keuangan dapat terjaga dengan baik, dapat dilakukan restrukturisasi pembiayaan.

Cara ini antara lain dengan memperpanjang jangka waktu dan menunda sebagian pembayaran dan dilakukan sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur mengenai penilaian kualitas aset bagi masing-masing lembaga jasa keuangan nonbank (LJKNB).

Sementara Kepala Subdirekorat Industri Keuangan Non Bank pada Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus-Badan Reserse Kriminal Kombes. Pol. Ma'mun menegaskan bahwa penarikan objek fidusia telah diatur lewat sejumlah regulasi.

[Gambas:Video CNN]

Beberapa aturan di antaranya terdapat dalam UU Nomor 49 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia; Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia; Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 29/POJK.05/2014 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan; serta Peraturan OJK nomor 30 /pojk.05/2014 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik bagi Perusahaan Pembiayaan.

Penarikan objek fidusia yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, kata dia, dapat dikenakan tindak pidana. Dasar hukumnya yaitu Pasal 365 KHUP tentang Perampokan, Pasal 368 KHUP tentang Pemerasan, Pasal 351 KHUP tentang Penganiayaan, dan Pasal 335 KHUP tentang Pemaksaan.

(hrf/sfr)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER