Presiden Joko Widodo (Jokowi) yakin ekonomi Indonesia membaik pada kuartal IV 2020. Itu didasarkan pada kinerja pertumbuhan ekonomi kuartal III 2020 yang minus 3,49 persen.
Menurutnya, meski masih mengalami kontraksi, itu sudah menunjukkan ekonomi telah berbalik dari titik terendah. Maklum, pertumbuhan kuartal III kemarin memang membaik dibandingkan kuartal II 2020 yang minus 5,32 persen.
"Artinya, telah melewati titik terendahnya, titik balik menuju membaik, tren positif membaik, dan dengan momentum ini saya yakin kita akan gerak lagi ke arah positif di kuartal IV dan seterusnya," kata Jokowi, Kamis (3/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia optimistis dengan keadaan tersebut ekonomi akan lebih rendah kontraksinya pada kuartal IV nanti. Keyakinan juga berasal dari surplus neraca perdagangan yang mencapai US$3,61 miliar pada Oktober 2020.
Realisasi tersebut jauh lebih tinggi dari surplus US$2,44 miliar pada September 2020 dan surplus US$161 juta pada Oktober 2019.
"Industri pengolahan yang merupakan kontributor terbesar PDB juga menunjukkan perbaikan di Oktober 2020, perbaikan didukung oleh peningkatan impor bahan baku dan barang modal di Oktober," ucapnya.
Tak hanya dari ekonomi makro dan riil, pasar keuangan juga disebutnya memberi sinyal pemulihan. Hal ini terlihat dari pergerakan rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang lebih baik.
Pada awal pandemi, rupiah nyari tembus Rp15 ribu per dolar AS. Sementara pasar modal sempat terperosok dari level 6.000 menjadi 3.000-4.000.
Namun saat ini, keduanya sudah kembali membaik. Rupiah sudah kembali ke kisaran Rp14.100 per dolar AS, sedangkan IHSG ke level 5.800.
"Perbaikan kinerja IHSG terdorong oleh peningkatan indeks saham sektoral. Sektor industri dasar mengalami pemulihan indeks saham terbesar sejak turun tajam di 24 maret 2020 lalu," katanya.
Sayangnya, keyakinan Jokowi tidak mengubah proyeksi para ekonom. Ekonom CORE Yusuf Rendy Manilet menilai indikasi pemulihan memang ada pada kuartal IV.
Namun, hal ini belum serta merta membuat Indonesia bisa keluar dari jurang resesi.
Sebab, ia meramal ekonomi Indonesia pada kuartal IV masih berada di zona negatif. Proyeksinya, ekonomi minus 1 persen sampai minus 1,5 persen pada Oktober-Desember ini.
"Indikasinya memang betul ada proses pemulihan di kuartal IV, tapi perbaikannya tipis. Kontraksi akan berkurang, tapi ekonomi masih minus," kata Yusuf kepada CNNIndonesia.com, Kamis (3/12).
Yusuf bilang proyeksinya itu ia buat dengan melihat beberapa faktor. Pertama, kontraksi ekonomi baru berkurang sekitar minus 1,83 persen dalam satu kuartal, yakni minus 5,32 persen menjadi minus 3,49 persen.
Artinya, bila pemulihan masih tipis, maka ekonomi nasional kemungkinan masih berada di teritori negatif. Kedua, perkembangan jumlah kasus positif virus corona yang belakangan ini masih terus meningkat.
Data pemerintah menunjukkan kasus positif corona baru sebanyak 8.369 kasus pada Kamis kemarin. Itu merupakan rekor kasus tertinggi corona di Indonesia.
Yusuf mengatakan peningkatan itu akan berpengaruh pada pemulihan ekonomi. Semakin banyak kasus corona, kepercayaan masyarakat untuk mau beraktivitas di luar, termasuk melakukan konsumsi, seperti kegiatan harian hingga wisata masih rendah.
"Karena kalau kasus meningkat dan membuat kebijakan harus PSBB lagi, ini bisa menurunkan ekonomi ke level kontraktif. Artinya, ekonomi pun tidak akan lebih tinggi sebelum kasus bisa dikendalikan," jelasnya.
Ketiga, inflasi nasional yang masih rendah. Indonesia, kata Yusuf memang sudah meninggalkan zona deflasi yang terjadi pada Juli, Agustus, September lalu.
Inflasi mulai terjadi sebesar 0,07 persen pada Oktober dan 0,28 persen pada November 2020. Tapi lagi-lagi, menurutnya, kenaikan inflasi masih tipis sehingga belum benar-benar mencerminkan peningkatan permintaan dari masyarakat.
Bahkan, pemerintah berencana memangkas jumlah cuti bersama pada bulan ini. Hal ini, menurut Yusuf bisa mengurangi potensi ekonomi yang didapat dari aktivitas libur masyarakat.
"Mungkin masih ada yang keluar, minimal staycation di dalam kota atau belanja ke mal. Tapi jumlahnya tidak banyak," ucapnya.
Keempat, surplus neraca perdagangan. Yusuf mengamini keyakinan Jokowi dari sisi ekspor yang meningkat di tengah pandemi. Hanya saja, ia melihat kenaikan ekspor sudah mencapai puncak dan tidak bisa lebih tinggi lagi karena sudah akhir tahun.
"Kalau pun membaik lagi, tapi tidak signifikan ke ekonomi. Begitu juga dengan investasi," imbuhnya.
Menurut Yusuf, satu-satunya hal yang bisa mendorong ekonomi Indonesia lebih baik pada kuartal IV adalah belanja pemerintah. Hal ini sudah terbukti pada kuartal III kemarin.
"Belanja pemerintah bisa menjadi motor penggerak ekonomi di kuartal IV lagi. Tinggal bagaimana pemerintah bisa memaksimalkan pengeluaran belanja pemerintah yang rutin dan PEN yang masih 60 persen, kesempatannya ada bila bisa dimaksimalkan," tuturnya.
Sementara Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara justru ragu dengan pemulihan ekonomi pada kuartal IV. Bahkan, proyeksi awal di kisaran 0,5 persen hingga 1,5 persen menjadi minus 1,5 persen.
Penyebabnya adalah keputusan pemerintah yang memangkas libur akhir tahun. Kebijakan ini dinilai bakal berimbas besar ke sektor pariwisata dan turunannya, seperti hotel sehingga masih memungkinkan penurunan omzet di sektor-sektor tersebut.
Prediksinya, pertumbuhan sektor perhotelan minus 30 persen dan restoran minus 5-6 persen pada tahun ini dari tahun sebelumnya. Industri ritel dan penerbangan pun diramal tak jadi menangkap potensi kenaikan konsumsi masyarakat pada akhir tahun.
"Saya kira (pertumbuhan) akan berubah, akan lebih ke batas bawah jadi minus 1,5 persen karena sepanjang tahun momentum Nataru jadi faktor musiman yang ditunggu oleh pelaku ritel. Pemulihan akan butuh waktu relatif lebih lama khususnya di sektor pariwisata," ucap Bhima.
Untuk itu, Bhima meminta pemerintah serius membuat kebijakan. "Kalau mau fokus ke penanganan covid-19, harusnya lebih serius. Jangan tanggung-tanggung, mobilitas masih dibiarkan. Ada kegalauan dan inkonsistensi kebijakan," tandasnya.
(agt)