Jakarta, CNN Indonesia --
Ibarat mengurai benang kusut, menyelesaikan masalah kemacetan di Jakarta memang sulit, tapi bukan berarti mustahil. Terbukti, dari tahun ke tahun, kepadatan kendaraan di jalan-jalan utama Jakarta mulai beringsut seiring dengan berkembangnya sarana dan prasarana transportasi umum yang disediakan pemerintah.
Hal ini juga terlihat dari turunnya peringkat Jakarta sebagai kota termacet di dunia berdasarkan TomTom Traffic Index. Empat tahun silam, Jakarta masih menempati posisi ke-4 dari 416 kota yang disurvei.
Pengguna kendaraan ibu kota, menurut survei Tom Tom, menyia-nyiakan waktu 200 jam akibat kemacetan sepanjang 2017. Tapi peringkat buruk itu terus turun menjadi ke-7 pada 2018, ke-10 pada 2019 dan terakhir menduduki posisi ke-31 di tahun lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tentu pekerjaan pemerintah dalam menata transportasi masih jauh dari kata selesai. Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies (RCUS) Elisa Sutanudjaja mengatakan pekerjaan rumah yang harus dirampungkan Jakarta di umurnya yang menjelang 494 tahun ini adalah integrasi.
Jika tak dilakukan, pembenahan yang telah dilakukan mulai dari penambahan rute dan armada TransJakarta, pengembangan angkutan berbasis rel seperti KRL, MRT dan LRT, hingga alokasi triliunan rupiah dari APBD untuk subsidi angkutan umum akan sia-sia.
"Catatan penting itu integrasi. Terutama integrasi moda, fasilitas dan pembayaran. Ini yang menjadi titik balik penambahan penumpang secara signifikan terutama TransJakarta, setidaknya dimulai dari 2018," ujarnya kepada CNNIndonesia.com.
Sebelumnya, menurut Elisa, transportasi publik di Jakarta memang seperti berjalan sendiri-sendiri. Misalnya, tak ada bus pengumpan yang dapat membawa penumpang dari rumah atau kantornya menuju halte TransJakarta. "Istilahnya first mile/last mile," kata dia.
Memang kerja sama antara BUMD dan BUMN untuk mengintegrasikan fasilitas transportasi yang ada seperti halte busway dan stasiun KRL telah dilakukan sejak 2019. Misalnya, revitalisasi stasiun seperti Tanah Abang, Manggarai hingga Juanda.
Tapi menurutnya, hal itu pun belum cukup memberikan kemudahan bagi penumpang untuk transit dari satu moda ke moda lainnya.
"Revitalisasi stasiun Juanda, ternyata perpindahan penumpang TransJakarta dan KRL masih sulit dan lewat JPO yang buruk kondisinya. Padahal bisa dibuat lebih mudah via pelican crossing. Selagi integrasi fasilitasnya masih naik turun tangga dan jalan mutar-mutar, ya itu cuma integrasi di bibir saja," ujarnya.
Terlepas dari itu semua, dibandingkan kota-kota besar di Asia Tenggara, Elisa menilai transportasi di Jakarta sudah lebih maju dan modern. "Kalau kita keluarkan Singapura, (di Asia Tenggara) ya Jakarta sudah lebih maju," tuturnya.
Lantas apa saja sarana dan prasarana transportasi yang telah mengalami modernisasi hingga berhasil meredupkan teriakan knalpot dan adu keras klakson di jalan-jalan Jakarta?
 Pelanggan sudah bisa menggunakan halte Bundaran HI sudah bisa langsung mengakses ke halte. Sebelumnya untuk mengakses halte, harus menggunakan tangga bawah tanah dari stasiun MRT.(CNN Indonesia/Andry Novelino). |
TransJakarta
Kategori 'maju' yang disebut Elisa juga tak lepas dari berkembangnya TransJakarta sejak beroperasi pertama kali pada 15 Januari 2004 hingga sekarang. Sejak era Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama menjabat di Jakarta, integrasi moda antara TransJakarta dengan bus-bus lain seperti kopaja dan metromini dimulai, salah satunya dengan melakukan penataan rute.
Di era Anies Baswedan, upaya integrasi dilanjutkan dengan jangkauan yang lebih luas hingga ke pemukiman warga. Angkutan umum seperti mikrolet diajak bergabung dengan TransJakarta sebagai pengumpan. Kini angkutan-angkutan itu dikenal dengan MikroTrans atau JakLingko.
Hingga Januari lalu, TransJakarta tercatat sudah mengoperasikan 72 rute MikroTrans di berbagai wilayah. Jumlah penumpang harian TransJakarta pun terus mengalami tren peningkatan dalam lima tahun terakhir.
Rata-rata penumpang harian TransJakarta sebanyak 297 ribu orang per hari pada 2016 meningkat hampir dua kali lipat menjadi 500 ribu orang per hari pada 2018. Sementara pada Februari 2020, atau sebelum pandemi, jumlahnya sudah menyentuh 1 juta penumpang dalam sehari.
"Sayang ada pandemi. Kalau tidak ada pandemi, saya duga kita bisa melihat capaian 1,5 juta penumpang per hari di TransJakarta. Kalau mau lebih maju lagi ke depannya, Jakarta harus memperbanyak jalur steril bus supaya makin singkat durasi perjalanan," ucap Elisa.
[Gambas:Video CNN]
Transportasi Daring
Selain transportasi umum yang disediakan pemerintah, transportasi daring atau online baik roda dua maupun roda empat juga berkontribusi menurunkan tingkat kemacetan di Jakarta. Menurut Elisa, keberadaan ojek atau taksi online bisa membantu melengkapi moda transportasi di Jakarta, terutama untuk first mile (titik awal/keberangkatan) dan last mile (titik akhir/tujuan).
Namun, keterbatasan regulasi membuat penataan dan integrasi transportasi daring dengan transportasi umum massal tak mudah dilakukan. Di samping itu, berkaca dari negara-negara lain, inklusi ojek dan taksi online ke transportasi umum kurang berhasil dilakukan.
"Kalaupun ada, diatur proporsinya dan disediakan tempatnya. Aplikasi memungkinkan untuk integrasi pembayaran. Tapi untuk kasus beberapa kota di Amerika yang berusaha inklusikan taksi online ke transportasi umum itu kurang sukses," ucapnya.
MRT Jakarta
Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengatakan pembenahan transportasi publik di Jakarta tak bisa dilepaskan dari hasil kerja masa lalu. Tiap gubernur, menurutnya, punya andil masing-masing dan tak bisa dilepaskan peranannya begitu saja.
MRT Jakarta, yang kini menjadi kebanggaan ibu kota karena dianggap modern dan dapat mengubah budaya bertransportasi, misalnya, tak bisa dilepaskan dari peran gubernur sebelumnya. Tak hanya sejak Joko Widodo menjabat gubernur, proyek MRT memang sudah dirintis sejak 1985.
Rencana pembangunan MRT sendiri baru masuk dalam proyek nasional pada 2005 di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Dari sana, pemerintah baik pusat maupun daerah mulai bergerak dan berbagi tugas hingga pada 10 Oktober 2013 peletakan batu pertama proyek MRT fase 1 dilakukan.
 Suasana di stasiun MRT Bundaran HI saat hari pertama penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi, Jakarta, Jumat, 5 Juni 2020. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma) |
PT Mass Rapid Transit Jakarta (PT MRT Jakarta) sendiri berdiri pada 17 Juni 2008 dengan mayoritas saham dimiliki oleh Pemprov DKI Jakarta.
"Jadi semua berkelanjutan tak cuma dimulai di era Jokowi atau Ahok atau gubernur sekarang tapi semuanya sudah dirancang sejak lama, salah satunya dalam Perda Pola Transportasi Makro Jakarta," ujarnya.
Sayangnya, sejak beroperasi pertama kali pada Maret 2019, okupansi harian MRT Jakarta belum terlalu memuaskan. Memang, dalam delapan bulan operasionalnya di 2019, target 65 ribu penumpang per hari sempat tercapai. Tapi di 2020, rata-rata penumpang harian anjlok karena pandemi menjadi hanya 27,9 ribu penumpang per hari.
LRT Jakarta dan LRT Jabodebek
Tak hanya MRT, Jakarta kini juga memiliki moda transportasi berbasis rel yang cukup modern yakni Light Rail Transit atau Lintas Rel Terpadu (LRT). Khusus di dalam kota, yang telah terbangun dan beroperasi saat ini adalah LRT Jakarta koridor Kelapa Gading-Velodrome Rawamangun.
Sayangnya proyek bernilai investasi Rp6,8 triliun dan telah beroperasi komersial sejak Desember 2019 itu hanya mengangkut 102 orang per harinya hingga Januari lalu. Padahal, awalnya okupansi diproyeksikan mampu mencapai 14 ribu penumpang per hari.
Kini, selain LRT Jakarta, pemerintah pusat tengah membangun LRT Jabodebek dan ditargetkan bisa beroperasi pada Juli 2022. PT Adhi Karya (Persero) Tbk, kontraktor proyek tersebut, melaporkan progres pembangunan prasarana LRT Jabodebek telah mencapai 84,76 persen di awal Juni 2021.
Infrastruktur dengan investasi mencapai Rp23 triliun itu disediakan dalam 31 rangkaian berisi masing-masing enam gerbong dan disebut dapat mengangkut 1.300 orang dalam sekali perjalan mulai dari Dukuh Atas hingga Bekasi Timur.
Djoko memprediksi potensi alih moda kendaraan pribadi ke LRT Jabodebek lebih dari 80 persen lantaran waktu tempuh yang lebih singkat dan biaya perjalanan jauh lebih murah dibandingkan tol.
Namun hal tersebut hanya dapat tercapai jika akses ke stasiun LRT Jabodebek mudah dijangkau. Misalnya, dekat dengan pusat komersial/perkantoran, tersedia fasilitas parkir, permukiman, jalan utama, akses jalan masuk stasiun lebar, hingga feeder atau angkutan pengumpan dari dan menuju stasiun LRT yang baik bus, angkot, angkutan daring, maupun Bus Transjakarta.
"Masalahnya kan berapa besar kemampuan anggaran pemerintah daerah. Kalau DKI mungkin bisa sediakan fasilitas penunjang akses ke stasiun. Tapi di kota lain bagaimana itu harus dipikirkan," jelasnya.
KRL Commuter Line Jabodetabek
Moda transportasi lain yang sangat vital di Jakarta adalah kereta rel listrik (KRL) commuter line Jabodetabek yang dikelola PT Kereta Commuter Indonesia (PT KCI). Penumpang KRL sendiri melonjak sejak modernisasi dilakukan pada 2011 dengan menyederhanakan rute yang ada menjadi lima rute utama, penghapusan KRL ekspres, penerapan kereta khusus wanita, dan mengubah nama KRL ekonomi-AC menjadi kereta Commuter Line.
Proyek ini dilanjutkan dengan renovasi, penataan ulang, dan sterilisasi sarana dan prasarana termasuk jalur kereta dan stasiun kereta yang dilakukan bersama PT KAI (persero) dan pemerintah. Pada 1 Juli 2013, KCI mulai menerapkan sistem tiket elektronik (E-Ticketing) dan sistem tarif progresif, yang menjadi tahap selanjutnya dalam modernisasi KRL Jabodetabek.
Sepanjang 2020 lalu, KCI tercatat sudah melayani 154,5 juta pengguna. Sementara Maret 2021, KCI mempunyai 1.196 unit KRL yang beroperasi melayani 80 stasiun di wilayah Jabodetabek dengan jangkauan rute mencapai 418,5 km.
"Sekarang Commuter Line jadi pilihan juga berkat integrasi. Kerja sama antar instansi dan perusahaan penting Karena kalau hanya PT KAI atau KCI yang bekerja sendiri tanpa peran Pemda juga tidak bisa," tandas Djoko.
[Gambas:Video CNN]