Atas asumsi itu, ia memprediksi jumlah pengangguran di Indonesia bertambah menjadi 9,9 juta sampai 10,2 juta orang pada Agustus 2021. Sementara, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di level 7 persen. Proyeksi ini bertambah dari posisi Februari 2021 yakni sebanyak 8,75 juta penganggruan dengan TPT 6,26 persen.
"Kalau kami proyeksi, angka pengangguran mengalami peningkatan menjadi sekitar 7 persen (TPT), artinya dia lebih tinggi dari tingkat penganguran Februari," katanya.
Namun, ia mengaku tidak mengantongi prediksi angka PHK akibat perpanjangan PPKM. Hanya saja, ia memberikan prediksi tiga sektor yang mengalami PHK terbanyak akibat pengetatan pembatasan ini, meliputi ritel, makanan dan minuman, dan transportasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alasannya, tiga sektor tersebut yang mengalami pukulan terbesar akibat perpanjangan PPKM level 4. "Kalau saya katakan itu tiga sektor yang besar kemungkinan sumbang PHK terbesar, dari ritel, makanan dan minuman, serta transportasi," ujarnya.
Akumulasi kondisi di atas, kata Tauhid, berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi. Dalam skema terburuk PPKM level 4 berlangsung selama dua bulan hingga akhir Agustus, ia memperkirakan kerugian ekonomi mencapai ratusan triliun.
Menguapnya nilai ekonomi itu merupakan dampak dari berkurangnya aktivitas perekonomian selama PPKM level 4 di sejumlah wilayah.
"Kalau dua bulan (PPKM level 4) rasanya bisa ratusan triliun kerugian ekonominya, kalau dua bulan," ujarnya.
Ia mengaku belum mengantongi proyeksi angka kerugian ekonomi akibat perpanjangan PPKM level 4. Pasalnya, potensi ini dihitung berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku pada kuartal II 2021 dan pertumbuhan ekonomi yang baru akan diumumkan pekan ini oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Sebagai gambaran, Tauhid menjelaskan apabila pertumbuhan ekonomi pada level normal 5 persen, maka potensi kenaikan nilai ekonomi mencapai Rp200 triliun per kuartal. Perhitungannya, PDB atas dasar harga berlaku sebesar Rp16 ribu triliun dalam satu tahun, dibagi dalam empat kuartal, atau Rp4.000 triliun per kuartal.
Selanjutnya, jika pertumbuhan ekonomi mencapai 5 persen, dari Rp4.000 triliun PDB atas dasar harga berlaku, maka ada tambahan nilai ekonomi setara dengan Rp200 triliun. Sebaliknya, jika pertumbuhan ekonomi mengalami koreksi maka terjadi penurunan nilai ekonomi.
"Untuk (pertumbuhan ekonomi) kuartal III baru akan kami respons pada Kamis (5/8) karena baru menunggu pengumuman dari BPS, tapi akan jauh lebih rendah dari pekiraan pemerintah," katanya.
Meski berdampak buruk terhadap perekonomian, namun Tauhid mengaku mendukung perpanjangan PPKM darurat ini. Pasalnya, jumlah kasus covid-19 masih tinggi, sehingga penanganan dari sisi kesehatan harus diprioritaskan.
"Jangan sampai kasus tinggi, orang disuruh beraktivas, ini tidak akan optimal. Meskipun ekonomi gerak tapi konsumis golongan menengah atas akan berkurang, karena kelas menengah atas ini sangat sensitif terhadap kasus," katanya.
Terlepas dari itu, ia menyoroti sejumlah kebijakan pemerintah yang perlu dievalausi, salah satunya rendahnya pelacakan (tracing) kontak erat pasien covid-19.
"Lalu, banyak banyak kasus yang tidak terdeteksi, jadi banyak masyarakat tidak melapor dengan asumsi kena covid-19, lalu melakukan isolasi mandiri tapi tidak terdeteksi sebagai kasus, itu banyak terjadi di pedesaan dan wilayah padat penduduk," ujarnya.
Lihat Juga :REKOMENDASI SAHAM Deretan Saham Berkilau di Tengah Semarak Rilis Lapkeu Emiten |
Senada, Yusuf juga menilai kapasitas tracing dan testing yang dilakukan pemerintah masih rendah, sehingga lonjakan kasus covid-19 belum bisa konsisten ditekan. Karenanya, ia menilai implementasi PPKM level 4 ini belum optimal dan perlu diperbaiki.
"Positivy rate masih tinggi, okupansi RS masih tinggi masih di atas ambang batas WHO. Dua indikator ini yang sederhana, artinya pemerintah perlu lanjutkan PPKM level 4 karena melihat kondisi yang belum memungkinkan untuk dilonggarkan," katanya.
Selain itu, penyaluran bantuan sosial (bansos) dari dana Pemulihan Eknomi Nasional (PEN) pada warga terdampak juga kurang maksimal. Hal ini memaksa masyarakat dengan pendapatan harian tetap keluar rumah untuk mencari pendapatan lantaran belum ada bantalan dari pemerintah.
"Bersarkan data Juli kemarin, hanya tiga provinsi yang realisasi PEN sudah melebihi 50 persen, yang lainnya masih kurang dari 50 persen," ujarnya.