Jakarta, CNN Indonesia --
Presiden Joko Widodo (Jokowi) turun tangan memangkas harga tes polymerase chain reaction (PCR) usai masyarakat ramai-ramai mengeluhkan perubahan aturan perjalanan udara.
Pasalnya, mereka yang bermobilitas antar daerah jadi harus merogoh kocek dalam-dalam karena tak bisa lagi menggunakan hasil tes antigen tetapi wajib PCR.
Bahkan, untuk perjalanan tertentu harga tes kesehatan bisa lebih mahal dari tiket pesawat. Maklum, sebelumnya, tes PCR masih dibanderol maksimal Rp495 ribu di Pulau Jawa-Bali dan Rp525 ribu di luar Jawa-Bali.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain harga, Jokowi juga menginstruksikan agar hasil harus keluar dalam 1x24 jam. Di sisi lain, tes PCR dapat digunakan selama 3x24 jam, lebih panjang dari ketentuan sebelumnya, yaitu 2x24 jam.
Aturan resmi harga tertinggi Rp275 ribu untuk Pulau Jawa-Bali dan Rp300 ribu untuk di luar Jawa-Bali mulai berlaku pada Rabu (27/10) sore usai diumumkan oleh Kementerian Kesehatan.
Menurut Deputi Bidang Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang Politik, Hukum, Keamanan, Pembangunan Manusia, dan Kebudayaan BPKP Iwan Taufiq Purwanto, penurunan harga dimungkinkan karena, pertama, ada penurunan biaya dari sejumlah komponen pembentuk tes PCR.
"Jika dibandingkan dari masukan kami sebelumnya terdapat penurunan biaya dari komponen habis pakai, ada penurunan harga APD, reagen PCR, maupun RNA, dan biaya overhead," ungkap Iwan dalam konferensi pers virtual, Rabu (27/10).
Kedua, ada penurunan harga e-katalog dan harga rata-rata di pasar. Seluruh alasan ini muncul saat BPKP melakukan audit kembali sesuai permintaan pemerintah.
"Dari hasil perhitungan kami, biaya PCR yang wajar memperhatikan kondisi saat ini, hasil audit, e-katalog dan harga pasar, lalu terdapat potensi harga yang lebih rendah seperti yang sudah diumumkan," jelasnya.
Lantas, usai harga tes PCR turun hampir 50 persen seberapa besar dampaknya terhadap mobilitas masyarakat dan efek dominonya ke sektor transportasi dan pariwisata?
Pengamat Transportasi Darmaningtyas berpendapat harga baru tes PCR cukup murah untuk mendorong mobilitas masyarakat. Tak dipungkiri, kata dia, harga tes kesehatan di era pandemi berbanding lurus dengan mobilitas masyarakat.
Harga cukup murah itu ia nilai karena tes kesehatan sudah lebih murah dari harga tiket perjalanan pesawat. "Kalau yang kemarin dikeluhkan kan harga PCR lebih mahal dari harga tiketnya, itu yang membuat orang malas naik pesawat," jelasnya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (27/10).
Darmaningtyas memproyeksikan harga ramah dompet tes PCR dapat meningkatkan penumpang pesawat sekitar 10 persen untuk masyarakat umum di luar perjalanan dinas.
Kendati begitu, ia menyebut idealnya harga tes kesehatan lebih murah lagi dengan rentang 5 persen-10 persen dari harga tiket perjalanan. Bila harga bisa ditekan lagi, ia optimis masyarakat tak akan terbebani dan tes kesehatan tak lagi jadi penghalang mobilitas.
Di sisi lain, ia menyoroti kejanggalan harga tes PCR yang bisa diturunkan hampir setengah harga dalam kurang dari tiga hari ketika Jokowi turun tangan. Melihat itu, ia menilai mestinya harga bisa dibanderol Rp300 ribu-Rp275 ribu dari jauh-jauh hari.
Memang, dalam setiap industri ada keuntungan yang diraup dari penawaran barang dan jasa, Darmaningtyas mengatakan untung yang diraup pebisnis farmasi untuk tes PCR sebelumnya terlalu besar hingga membebani kocek rakyat. Padahal, tes kesehatan di era pandemi adalah kebutuhan esensial yang tidak terhindarkan.
"Persoalannya kepentingan bisnis. Artinya, kalau sekarang bisa turun jadi Rp275 ribu, itu berarti kemarin mereka mengambil keuntungan terlalu besar," imbuhnya.
Ia juga menyatakan jika pemerintah ingin mobilitas masyarakat meningkat, aturan perjalanan mesti dikembalikan cukup tes antigen saja untuk perjalanan udara. Toh, tes antigen hanya diperbolehkan untuk mereka yang sudah divaksin dua kali. "Kalau gitu kan kita enggak percaya pada keampuhan vaksin," tambah dia.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Ekonom Indef Nailul Huda menyebut syarat tes PCR kerap menjadi keluhan pelaku usaha pariwisata karena mahalnya tes tersebut disebut menjadi faktor penghalang masyarakat untuk bepergian. Apalagi, untuk wisata keluarga yang satu kali terbang membutuhkan biaya jutaaan rupiah.
Tak hanya berpotensi menggerakkan sektor transportasi dan pariwisata, Nailul mengatakan harga tes PCR juga punya dampak domino ke sektor turunan, seperti perhotelan, restoran, bahkan hingga ke pertanian dan peternakan.
"Seumpamanya di Lombok kan ada Ayam Taliwang, karena permintaan (konsumsi) naik, otomatis permintaan terhadap ayam di Lombok naik juga," ujarnya mencontohkan.
Oleh karena itu, ia mengatakan harga tes PCR semestinya ditekan serendah-rendahnya. Bercermin dari India misalnya, harga tes PCR bisa ditekan di bawah Rp100 ribu. Namun, ia tak memungkiri banyak komponen yang harus dihitung dalam penetapan harga tes PCR.
Pasar Tak Sehat
Mengamini Darmaningtyas, ia juga mengendus ada ketidakwajaran dari penurunan kilat harga tes PCR. Dari sisi industri, ia menilai tidak wajar ada penurunan yang sangat drastis dalam waktu singkat.
Tak kali ini saja, ia mengatakan harga PCR dari Rp900 ribu ke Rp500 ribuan juga baru ditetapkan pada Agustus lalu. Sebelum itu, harga tes PCR bisa bervariasi tergantung pilihan seberapa cepat hasil tes dibutuhkan.
Dari sana, ia melihat terjadi pasar oligopoli atau pasar yang dikuasai oleh segelintir pengusaha sehingga mereka dapat mendiskriminasi harga layanan. Menurut dia, langkah pemerintah mengintervensi sudah tepat karena telah terbentuk pasar tidak sehat.
"Salah satu ciri oligopoli dia (pengusaha) bisa mendiskriminasi harga dari layanannya. Ada yang bisa keluar hasil lebih cepat dalam waktu berapa jam dan sebagainya, bisa mendiskriminasi harga sampai segitunya," papar dia.
Berbeda pandangan, Ekonom CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan dampak penurunan harga tes PCR tak signifikan terhadap mobilitas masyarakat. Ia berpandangan perjalanan yang mendominasi saat ini masih berjalanan bisnis yang harga tes kesehatan jadi urusan nomor dua.
Menurut Yusuf, perjalanan untuk pariwisata belum pulih karena perjalanan leisure selama pandemi bertumpu pada kepercayaan masyarakat kalau destinasi liburan yang dituju aman dari covid-19.
Sementara, kasus covid-19 di Indonesia cenderung fluktuatif. Ia menilai hal ini menjadi pertimbangan utama dari wisatawan domestik maupun internasional.
Selain itu, ia mengatakan untuk dapat mendorong mobilitas tidak cukup hanya menekan harga PCR tapi juga harus ada kebijakan lain yang mendukung. Misalnya, menciptakan momentum liburan.
Bertolak belakang dengan itu, libur cuti bersama natal di akhir tahun dihapuskan guna mengantisipasi gelombang ketiga covid-19. Melihat hal itu, Yusuf pesimistis mobilitas masyarakat bakal naik hingga akhir tahun ini.
"Padahal kan momentum mobilitas di akhir tahun liburnya tapi dihapuskan. Betul untuk mencegah kasus tapi tentu ini ada konsekuensinya untuk pariwisata dan transportasi," jelasnya.
Yusuf mengaku menyambut baik penurunan harga tes PCR, tapi ia mengingatkan pemerintah agar tak berhenti hanya pada menurunkan harga tes berbayar. Yang tak kalah penting, sambungnya, adalah menggencarkan tes PCR gratis di daerah yang kasus infeksinya masih tinggi.
Selain itu, terapkan tes satu harga di seluruh Indonesia. Ia berharap pemerintah bisa menghapus harga tes khusus di Pulau Jawa-Bali dan di luar Jawa-Bali. Apalagi, mengingat daya beli atau upah minimum di luar Jawa-Bali pun lebih rendah.
"Idealnya memang menyesuaikan tingkat harga per daerah tapi yang memang bisa dilakukan pemerintah saat ini menyamaratakan dulu untuk harga di setiap provinsi," pungkasnya.
Suara Pengusaha
Sekretaris DPD Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA) Bali I Putu Winastra menyatakan harga PCR berdampak sangat besar terhadap tingkat okupansi perjalanan, khususnya untuk wisatawan domestik.
Hal ini dapat dilihat dari terjadinya pembatalan liburan ke Bali oleh sebagian wisatawan ketika pemerintah menetapkan wajib PCR sebagai syarat perjalanan beberapa waktu lalu.
Ia memproyeksikan harga baru tes PCR bakal berdampak positif bagi sektor perjalanan dan pariwisata. Harapan dia, pemerintah bisa menjadikan PCR sebagai parameter perjalanan dengan menekan harga serendahnya.
Winastra mengingatkan pemerintah untuk tak membiarkan tes PCR sebagai ladang bisnis kelompok tertentu yang makin menekan sektor perjalanan yang sudah lesu sejak tahun lalu. Tak hanya itu, ia juga meminta pemerintah berkoordinasi dengan baik dengan seluruh pemangku kepentingan di lapangan.
"Kami sudah sangat optimis akan ada pergerakan tapi tiba-tiba aturan baru. Levelnya turun malah jadi PCR semua, Bali level 3 malah antigen, level 2 kok PCR? Yang terjadi kebingungan, jadi orang sampai cancel kedatangan ke Bali karena PCR," tandasnya.
[Gambas:Video CNN]