Negara-negara Uni Eropa (UE) tengah menghadapi krisis gas imbas sanksi larangan impor energi dari Rusia.
Larangan tersebut masuk dalam salah satu sanksi ekonomi yang diberikan kepada Rusia oleh negara barat, seperti Amerika Serikat dan UE, pasca negeri Beruang Merah itu menginvasi Ukraina sejak Maret 2022 lalu.
Akibat dari sanksi ekonomi itu, secara tak langsung UE juga turut dirugikan. Pasalnya selama ini negara-negara di Benua Biru itu bergantung pada pasokan gas Rusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gara-gara minimnya pasokan gas dari Rusia, sejumlah negara di UE lantas putar otak untuk mengatasi krisis energi di negaranya. Salah satu solusinya adalah kembali menggunakan energi batu bara.
Jerman dan Austria menjadi dua negara pertama yang membatalkan sementara rencana penutupan pembangkit listrik tenaga batu bara demi mengatasi krisis tersebut. Keputusan itu muncul setelah krisis memicu lonjakan harga gas patokan untuk Eropa.
Data terakhir, harga patokan gas diperdagangkan sekitar 126 euro per megawatt hour (MWh). Angka tersebut naik lebih dari 300 persen dari tahun lalu.
Harga gas telah mencapai level rekor, mendorong lonjakan inflasi dan menambah tantangan bagi pembuat kebijakan yang mencoba menarik Eropa kembali dari jurang ekonomi.
Langkah Jerman dan Austria kemudian diikuti oleh 3 negara UE lainnya yaitu Denmark, Belanda dan Italia.
Adanya krisis gas itu juga dikhawatirkan berujung pada krisis ekonomi di Uni Eropa. Hal itu dibenarkan oleh Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa yang mengatakan krisis energi di Eropa akan mempengaruhi pasokan barang dan jasa.
Minimnya pasokan akan berdampak pada kenaikan inflasi.
"Kenaikan inflasi dapat menyebabkan kenaikan berbagai barang kebutuhan pokok yang pada akhirnya bisa menurunkan daya beli masyarakat. Kalau tidak dikelola secara cermat dampaknya adalah resesi global," jelas Fabby kepada CNNIndonesia.com, Kamis (23/6).
Lihat Juga : |
Secara umum, perang Rusia - Ukraina memang menyebabkan kenaikan harga komoditas di pasar internasional.
Dalam kondisi tersebut, Indonesia sebenarnya mendapatkan wind fall dari kenaikan harga. Hal itu bisa dilihat dari surplus perdagangan yang besar karena kenaikan harga komoditas minyak sawit dan batu bara.
"Walaupun demikian kita, seperti banyak negara lain di dunia mengalami tekanan inflasi dan penurunan daya beli," katanya.
Meski demikian, ia mengatakan Indonesia tidak diuntungkan dari situasi yang terjadi di Eropa.
"Diuntungkan atau tidak, tergantung dilihat dari sisi apa. Kalau net benefit saya kira tidak sih," katanya.
Pasalnya, permintaan batu bara dari Jerman dan Austria hanya bersifat temporer. Selain itu, pasar Eropa membutuhkan batu bara dengan kalori di atas 5.000 kcal.
Dan bagi Indonesia, kalori batu bara itu cukup sulit dipenuhi.