Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai krisis energi di Eropa sebetulnya sudah menjadi krisis ekonomi. Apalagi, inflasi yang ditimbulkan akibat krisis itu tidak hanya menyerang Eropa melainkan juga di banyak negara lain.
Hal itu bisa dilihat dari kebijakan sejumlah bank sentral di dunia yang mulai menaikkan suku bunganya untuk menekan laju inflasi.
"Dampak bagi Indonesia sudah terasa. Rupiah terus melemah terhadap dolar AS seiring kebijakan yang diterbitkan oleh The Fed. Ini berimbas pada belanja di sektor energi di tengah harga minyak dunia yang terus naik. Apalagi saat ini kita adalah net importir. Hal ini akan membuat CAD kita bisa semakin besar," jelas Mamit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengakui, di tengah krisis energi ini, Indonesia memang akan mendapatkan windfall profit dari batu bara, CPO maupun produk mineral lainnya.
Namun, keuntungan itu tidak mampu menutup kenaikan harga LPG dan minyak.
"Jadi terkait krisis ini, semua dalam posisi yang serba salah dan seperti buah simalakama. Batu bara kita juga saat ini produksinya belum optimal di tengah kondisi cuaca yang tidak menentu karena efek La Lina," katanya.
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan inflasi di Eropa menembus 8 persen secara tahunan (year on year) pada Mei 2022 sebagian besar disumbang kenaikan biaya energi.
Menurutnya, kenaikan inflasi di Eropa akan terus terjadi selama konflik Ukraina berlangsung.
"Kondisi ini melemahkan permintaan rumah tangga dan berakibat pada resesi ekonomi. Semua masih menunggu langkah ECB mengendalikan inflasi apakah dengan kenaikan bunga yang agresif dan berapa banyak kenaikan tingkat bunga di 2022," kata Bhima.
Dalam hal ini, Bhima mengatakan negara yang diuntungkan dari krisis di Eropa adalah Afrika Selatan sebagai pemasok batu bara berkalori tinggi.
"Apabila EU mengambil dari Indonesia tingkat kalorinya relatif rendah, dan biaya pengiriman akan jauh lebih mahal karena faktor lokasi. Indonesia sepertinya dijadikan sebagai alternatif pembelian batu bara setelah Afrika Selatan dan Australia," katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro justru menganggap Indonesia diuntungkan dengan krisis yang terjadi di Eropa.
"Relatif diuntungkan, karena kemungkinan jatah Rusia yang mereka sementara tidak mengambil, akan diimpor dari Indonesia," kata Komaidi.
(dzu/agt)