Jakarta, CNN Indonesia -- Keluarnya keringat dari tubuh tidak selalu mengindikasikan kalau Anda lelah. Dalam kondisi senang pun Anda bisa berkeringat. Apalagi saat ketakutan. Misalnya saja saat menonton film horor, Anda pasti sedikit berkeringat.
Keringat yang keluar dari tubuh manusia ternyata bisa dijadikan sebuah komunikasi pada orang di sekitar tentang apa yang sedang Anda rasakan.
Jika Anda berkeringat saat Anda merasa senang, hal itu akan menular pada orang di sekitar Anda. Akibatnya mereka juga ikut senang. Lantas, mengapa keringat bisa menularkan perasaan?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikutip dari Medical Daily, seorang profesor di bidang psikologi dari Utrecht University, Gun Semin, mengatakan hal yang menyebabkan ini terjadi adalah adanya peran dari indrapenciuman yang disebut komunikasi olfaktori.
Manusia purba membutuhkan cara membuat keputusan yang tepat untuk bertahan hidup. Mereka pun akhirnya mengaitkan respons psikologis dengan perintah otak, misalnya berlari.
"Keringat karena ketakutan memengaruhi kewaspadaan," kata Semin. Hal ini akan memengaruhi visual orang yang melihatnya. Bentuk komunikasi ini diketahui bernama chemosignal.
Semin dan beberapa teman kuliahnya pun pernah melakukan penelitian terkait hal ini. Ia ingin mencari tahu seberapa baik chemosignal pada keringat ditransfer ke orang lain.
Semin pun lalu membawa 12 laki-laki ke dalam laboratoriumnya. Dari semua laki-laki tidak ada yang merokok, mengonsumsi obat atau terkena gangguan psikologis lainnya.
Mereka lalu diminta untuk melepas bajunya dan mengelap ketiaknya hingga benar-benar kering. Selanjutnya mereka pun diminta untuk melakukan dua kegiatan.
Yang pertama adalah menonton video yang bertujuan untuk mengeluarkan respons mereka, baik itu repons netral, takut, maupun bahagia.
Mereka kemudian diminta untuk melengkapi penilaian dari emosi yang tersembunyi dalam diri mereka berdasarkan perasaan tertentu. Pada akhirnya para peneliti mengumpulkan keringat mereka dalam tabung.
Penelitian dilanjutkan pada 36 perempuan. Semin dan kawannya memilih perempuan karena mereka dinilai lebih sensitif terhadap aroma dan kemampuan membaca emosinya pun lebih baik.
Setiap perempuan diminta meletakkan dagunya di tempat yang telah disediakan. Kemudian mereka diminta untuk mengendus aroma dari tabung-tabung keringat yang telah dikumpulkan sebelumnya.
Semin dan tim melihat reaksi para perempuan dari pergerakan otot wajahnya. Sehingga setelahnya ia bisa kroscek emosi yang ditangkap oleh perempuan dari aroma keringat itu dengan emosi laki-laki yang memproduksi keringat tersebut.
Hasilnya, Semin dan tim menemukan kalau para perempuan mengeluarkan reaksi yang sama dengan apa yang sebenarnya dirasakan laki-laki saat memproduksi keringat tersebut.
Ketika mereka mencium keringat dari kelompok laki-laki yang merasa bahagia, mereka akan tersenyum, atau hanya sekadar menyipitkan mata dan pipinya terlihat naik. Sementara perempuan yang mencium keringat ketakutan, merespons dengan mengernyitkan dahi atau menaikkan alis.
"Otot-otot muka yang diaktifkan ketika bahagia akan berbeda pada saat seseorang ketakutan atau netral," ujar Semin. "Dan kami menemukan bahwa ketika seseorang mencium aroma kebahagiaan, otot mukanya akan tersenyum tulus."
Bagian terpenting dari penelitian ini adalah emosi seseorang tidak diterima secara jelas atau terang-terangan. Ketika para perempuan ditanya tentang apa yang mereka rasakan saat menghirup tabung keringat itu, jawabannya tidak berkaitan dengan apa yang otot wajah mereka tampilkan.
Menurut Semin ini bukanlah sebuah hal yang mengejutkan. Komunikasi yang diterima oleh otak tidak selamanya bersifat eksplisit atau jelas, tidak selalu.
Audio dan visual misalnya, keduanya memiliki hubungan dengan emosi yang tersembunyi yang mirip dengan komunikasi olfaktori. Tapi tidak interaktif.
(mer/mer)