Jakarta, CNN Indonesia -- Konon, para ahli arkeologi percaya Flores tidak pernah bergabung dengan pulau-pulau lain saat zaman glasial, atau zaman es, yang terjadi sekitar sembilan belas ribu tahun lampau.
Pada zaman glasial, terjadi penurunan permukaan air laut akibat meluasnya wilayah yang tertutup es di Kutub Utara dan Kutub Selatan karena suhu dunia yang merosot. Saat itu terjadi proses migrasi manusia dan fauna secara dua arah, baik untuk Indonesia bagian Timur maupun Indonesia bagian Barat.
Rupanya, para ahli arkeologi percaya, proses bergabungnya pulau-pulau tersebut dengan daratan Asia atau Australia tidak pernah terjadi di Flores.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka sangat yakin, Flores tidak pernah didatangi dan dihuni oleh manusia, sebelum manusia modern yang punya keahlian membuat perahu tiba. Tetapi pandangan tersebut dipatahkan oleh seorang pastor.
Pastor dari negeri Belanda itu bernama Theodore Verhoeven. Dia mengajar di Seminari Mataloko, Kabupaten Ngada, Flores pada kurun 1950 – 1960. Suatu saat, dia menemukan artefak batu di Cekungan Soa, Flores.
Artefak tersebut diduga sebagai tulang-tulang Stegodon, gajah purba yang usianya mencapai sekitar 750 ribu tahun. Namun, karena dianggap tidak punya latar belakang cukup di bidang arkeologi maupun geologi, pandangan Verhoeven ditentang banyak kalangan.
Kisah penemuan oleh Theodore Verhoven ini mengantar kita pada sebuah situs bersejarah di Manggarai, Flores. Liang Bua saat ini adalah salah satu situs gua yang membuat wisatawan penasaran.
Tidak hanya karena bentuk fisik gua tapi juga kisah manusia pertama penghuni Flores. Letaknya di sebuah perbukitan kapur di wilayah Manggarai. Nama Liang Bua oleh penduduk setempat diartikan sebagai ‘gua yang dingin’.
Secara administratif situs ini masuk dalam wilayah Desa Liang Bua, Kecamatan Ruteng Utara, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Liang Bua terletak kurang lebih sekitar empat belas kilometer dari kota Ruteng, ibukota Manggarai Timur.
Lubang besar ini membentuk tebing panjang yang tinggi sisi-sisinya, berdiri di bawah mulut gua ini seolah hendak masuk ke dalam mulut raksasa.
Panjang maksimum Liang Bua kurang lebih 50 meter, lebar kurang lebih 40 meter, dan tinggi bagian atap kurang lebih 25 meter. Batu kapur kokoh ini berkisah banyak tentang nenek moyang orang-orang Flores.
Mulut gua sangat lebar, cahaya matahari dapat leluasa masuk ke ruang utama gua yang luas. Stalaktit runcing menggantung di langit-langit gua kapur yang tinggi. Dilihat dari kondisi fisiknya, gua ini layak menjadi tempat tinggal manusia purba karena luas dan relatif datar.
Punggung gua ditumbuhi pepohonan rindang, sulur akarnya menggantung di bibir atas gua. Sinar matahari masuk melewati celah dedaunan menerangi ruangan gua yang menganga lebar ini.
Sirkulasi udara di gua sangat baik. Mulut gua yang lebar membuat gua menerima cukup sinar matahari sepanjang musim. Di ruangan utama gua yang luas, ada sepetak tanah agak amblas berbentuk sudut lancip. Titik tersebut adalah bekas penggalian manusia purba di Flores.
Flo, begitulah artefak tulang-belulang yang disimpulkan sebagai orang Flores pertama ini dipanggil. Dia ditemukan di kedalaman 595 sentimeter dari kotak penggalian arkeologi di situs Liang Bua, Manggarai Flores.
Ketika ditemukan kondisi Flo sangat rapuh. Dia ditemukan bersama dengan lapisan yang mengandung artefak batu dan tulang-tulang binatang seperti Stegodon (gajah purba), biawak, kura-kura, komodo, burung besar, dan binatang pengerat.
Menurut informasi dari museum Liang Bua, saat diukur tinggi badan Flo hanya 106 centimeter. Dia berjenis kelamin perempuan, dan berusia antara 25 – 30 tahun. Volume otak Flo kurang lebih 380 cc saat diukur dengan biji mustard.
Sementara, ketika diamati dengan CT (computed tomoghraphy) scans, volume otak Flo kurang lebih 417 cc. Beberapa ciri fisiknya mengingatkan kita pada manusia purba. Tulang alis menonjol, kening melandai, tidak memiliki dagu, serta rahang kokoh.
Untuk menemukan Flo, sentimeter demi sentimeter tanah disisir oleh para arkeolog bersama masyarakat terampil di lingkungan Liang Bua, kata seorang petugas museum menjelaskan.
Mereka mengangkut tanah ke permukaan gua, memilah temuan, dan dicatat dengan teliti. Ada yang mulai mengayak dengan cara basah, yakni menggunakan air untuk mengguyur tanah dan dugaan temuan.
Tujuannya, untuk memilah temuan dengan tanah sampai didapatkan hasil optimal sebelum mereka memulai pekerjaan analisis. Demikianlah awal perjumpaan manusia dengan manusia purba yang lebih dulu ada.
Rembesan air dari langit gua jatuh ke tanah. Menciptakan kolam kecil di tengah-tengah gua. Suara tetesan air ke kolam kecil di dasar gua terdengar cukup kuat. Gua batu kapur yang luas dan tinggi ini akan menciptakan efek gema bagi setiap bunyi yang melintas. Bahkan napas manusia sekalipun akan terdengar kencang.
Tik tik tik, suara air yang menetes jatuh terdengar keras ke sudut-sudut gua.
Hawa di Liang Bua terasa sejuk, semakin lembap jika makin masuk ke dalam gua. Di bagian belakang di dalam gua, ada bukit kecil dengan tumpukan batu-batu besar.
Ada ruangan kecil dan sempit di atas gua. Konon, itu adalah kamar Flo si manusia purba. Lubang kecil itu menyempil di sudut paling dalam gua.
Untuk menengok kamar manusia purba, harus melewati lorong kecil bebatuan yang sesak. Satu-satunya cara melewati lorong sempit ini adalah dengan cara merangkak.
Saat merambat masuk, jangan sembarangan menaruh pijakan kaki, cari pijakan yang tepat agar tidak terpeleset, bebatuan yang ditetesi air dari waktu ke waktu membuat lumut tumbuh subur dan jadi sangat licin. Alat bantu penerangan pun sangat dibutuhkan di sini.
Hitam pekat. Tak setitik cahaya pun singgah di ruangan gua, kamar Flo ribuan tahun lalu. Ruangan batu ini tidak besar, tingginya kira-kira hanya tiga meter dengan luas paling tidak sekitar 3 x 3 meter juga.
Mereka yang memiliki claustrophobia, fobia berada di ruangan sempit, dan achluophobia, fobia berada di kegelapan, sebaiknya menunggu cerita saja di luar. Sebab, oksigen semakin menipis di ruangan sempit dan gelap ini.
“Ini adalah kamar manusia purba zaman dahulu, karena dulu banyak binatang buas sehingga mereka memilih untuk berlindung di sini,” kata seorang pemandu wisata, penduduk setempat.
Menurut informasi dari petugas museum Liang Bua, sejauh ini telah ditemukan sekitar enam individu manusia purba, meskipun tidak ditemukan secara lengkap, hanya berupa bagian tubuh tertentu, seperti rahang, kaki, dan seterusnya.
Karena ciri-cirinya berbeda dari homo erectus dan homo sapiens, untuk sementara mereka dimasukkan ke dalam kelompok spesies tersendiri, dan dijuluki sebagai homo floresiensis.