Jakarta, CNN Indonesia -- Apa yang terbayang ketika kita bicara tentang kesehatan jiwa? Schizofrenia? Kelainan bipolar? Kecemasan? Semua itu memang tergolong kelainan jiwa berat yang diperingati sedunia pada hari ini, 10 Oktober.
Tapi sebenarnya masalah kesehatan jiwa sangat luas cakupannya. Bukan hanya masalah kejiwaan yang berat saja. Namun termasuk juga yang ringan dan dengan mudah kita temui sehari-hari.
Misalnya, stres dan depresi. Dua cabang kesehatan jiwa ringan yang berhulu pada masalah ketegangan itu juga bukan dominasi orang dewasa saja. Tapi juga para remaja dan anak-anak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan data Riset kesehatan dasar (Riskesdas) Kementrian Kesehatan 2014 disebutkan bahwa terdapat sekitar satu juta jiwa pasien yang mengalami gangguan jiwa berat dan 19 juta pasien yang mengalami gangguan jiwa ringan di Indonesia.
Sebanyak 385.700 jiwa di antaranya atau sebesar 2,03 persen pasien gangguan jiwa tersebut terdapat di Jakarta dan berada di peringkat pertama nasional.
Agak sulit mencari data berapa dari jumlah mereka yang mengalami gangguan jiwa ringan itu yang masih berusia remaja. Namun bagaimanapun kondisi remaja dengan gejala-gejala depresi itu memang ada.
Misalnya, yang terjadi pada Renita (17), ketika ditanya kapan terakhir merasakan ketegangan yang tinggi hingga merasa tak punya harapan.
“Baru semalam
nangis-nangis lama banget. Masalahnya lebih karena merasa enggak punya waktu istirahat, sih. Sabtu Minggu juga kepakai buat mengerjakan tugas,” kata siswa sebuah SMA di Jakarta Selatan itu.
“Bayangkan aja dalam semalam harus bikin lima karya tulis sekaligus belajar buat ulangan paginya, itu bukan karena saya menunda-nunda tugas.”
Renita mengatakan karena orang tuanya sering bilang tak baik sering mengeluh, dia lebih sering memendam sendiri masalahnya. “
Nangis sendiri di kamar sampai migrain, pernah sampai
kepikiran untuk bunuh diri,” katanya.
Selain Renita, Dendy (16) siswa SMA di Jakarta Utara, juga mengatakan sering merasakan tekanan yang sama.
“Sejak masuk SMA lah,” kata Dendy.
“Biasanya bawaannya jadi pingin berkhayal yang tak masuk akal. Seolah semua ini tak terjadi pada kita, atau tiba-tiba ingin melakukan sesuatu yang diatas kemampuan manusia.”
Tak seperti Renita yang menganggap berat masalahnya, Dendy yang menyebut sumber stresnya seringkali adalah masalah pelajaran dan pertemanan tak mau larut dalam masalah, tapi juga tak mau berbagi dengan siapa pun.
“Anggap biasa sajalah. Kayak jelangkung, dia datang enggak diundang tapi pergi juga enggak diantar,” kata Dendy.
Dendy mungkin bisa menata hatinya, tapi tidak dengan Yuri (17) siswa SMA di Jakarta Selatan. “Saya tuh paling takut kalo sampai
explode lagi, kalau sampai depresi lagi, sedih lagi,” katanya.
Yuri mengatakan memang paling rentan terhadap konflik batinnya sendiri. “Ya soal masa lalu, konflik keluarga. Kadang bikin emosi tinggi, mau bunuh diri … bunuh orang,
kesel sama semua orang,” kata Yuri.
“Kalau sudah puncak emosi biasanya marah besar,
usually involves lempar-lempar barang sama teriak-teriak.”
Seperti Dendy yang memilih tidak bicara apa pun masalahnya ke orang tuanya, Yuri juga demikian. Ada kalanya dia berbagi cerita ke teman yang sangat dipercaya.
“Ke orang tua sih paling beberapa hal aja dan itu biasanya bantu sih. Tapi sering enggak tahu juga, jadi ya enggak dibantu.”
(utw/utw)