Hidup dengan Stigma AIDS di Afrika Selatan

Windratie | CNN Indonesia
Selasa, 01 Des 2015 11:07 WIB
Dalam dekade terakhir pengobatan AIDS di Afrika Selatan telah membaik, tapi stigma AIDS masih merupakan persoalan besar.
Ilustrasi AIDS Candlelight Memorial 2015 di San Francisco. (REUTERS/Jose Cabezas)
Jakarta, CNN Indonesia -- Tahun lalu Eunice Khanyile membuka dapur umum di sebuah desa di Afrika Selatan untuk membantu warga dengan HIV positif mendapatkan nutrisi agar mereka tetap sehat. Namun, tak satu orang pun yang datang.

Jika menyangkut AIDS, stigma masih merupakan persoalan besar, katanya. “Orang-orang yang mengidap virus (HIV) tidak ingin kelihatan datang ke sini. Banyak yang tidak ingin membuka diri tentang status mereka.”

Senin (30/11), lebih dari 200 orang makan siang di sebuah dapur yang dicat kuning di Qudeni. Mereka 'ditarik' oleh semerbak harum butternut dan lentil yang dimasak di panci dan wajan. Dapur itu sekarang menyediakan makanan bagi siapa saja yang lapar, meskipun Khanyile percaya bahwa banyak juga di antara mereka yang positif menderita HIV.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Beberapa positif. Beberapa tidak. Mereka hanya tidak ingin mengungkapkan,” kata perempuan bertutup kepala yang sedang sibuk menjalankan dapur sokongan pemerintah itu.

Dilaporkan oleh Reuters, selama dekade terakhir ini, diagnosis HIV-positif di Afrika Selatan telah berubah dari sebuah hukuman mati menjadi penyakit yang bisa dikelola. Ini disebabkan karena pengobatan antiretroviral yang murah dan tersedia luas.

Afrika Selatan adalah negara dengan epidemi AIDS terbesar di dunia. Hampir 20 persen orang dewasa di negara terebut mengidap HIV positif, dan lebih dari 2,7 juta, dari sekitar 6,3 juta orang, yang hidup dengan virus ini sekarang menjalani pengobatan.

Namun, stigma yang menempel pada penyakit ini tak pernah menurun, khususnya di daerah pedesaan seperti Qudeni, sebuah desa terpencil di KwaZulu Natal Afrika Selatan, tempat di mana ratusan anak menjadi yatim piatu karena virus tersebut.

Di sebuah klinik kesehatan, seorang ibu menolak suplemen gizi untuk anak-anaknya yang kurang gizi karena orang-orang percaya, jika Anda mengonsumsi suplemen maka Anda mengidap HIV positif, kata suster Jacqueline Nludla pengelola klinik.

Sementara itu, upaya membentuk grup dukungan untuk hampir sekitar 300 orang pengguna perawatan antiretroviral di klinik sedang dilakukan. “Saya tidak tahu mengapa ada stigma yang besar untuk penyakit ini,” kata Nludla, pasien yang sedang mengantri bersama pasien lainnya di ruang tunggu klinik.

Para pekerja masyarakat berpikir, ada keengganan untuk membicarakan virus HIV karena penyakit ini dikaitkan dengan penyakit menular seksual. Themba Mchunu, pemimpin tradisional Qudeni berpikir, keragu-raguan itu juga karena mereka tidak ingin kehilangan muka.

“Dalam budaya kami, orang tidak ingin membocorkan penyakit Anda. Ini tentang kebanggaan. Seperti di budaya saya, ketika saya besar, Anda tidak akan pernah berkata kepada orang mengatakan, 'Saya lapar', katanya.

Namun, Mamtombi Shange, satu-satunya pengidap HIV positif  di Qudeni yang secara terbuka berbicara tentang statusnya, mengatakan, stigma tersebut bermuara pada satu hal, ketakutan menjadi sendirian.

“Orang-orang berpikir, 'apa yang akan dikatakan pasangan saya? Apakah dia meninggalkan saya? Apakah saya akan menemukan yang baru?” katanya.

(win/win)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER