Kini, hidup Ayu berganti ceria. Status HIV positif tak menutup pintu jodoh. Seorang pria HIV negatif menerima kondisi Ayu dan melamar pada 2014. Kini, keduanya tinggal di Bandung.
Ayu pun masih sehat dan rutin menjalani terapi anti-retroviral (ARV) untuk menekan jumlah virus dalam tubuhnya. Bahkan, jumlah CD4 atau sel darah putih Ayu disebut dokter 'mubazir'.
Saat berbincang dengan CNNIndonesia.com November lalu, Ayu tengah berbadan dua. Kandungannya berusia 12 pekan dan dalam kondisi sehat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini perjuangan sekali," komentar Ayu menanggapi kehamilannya dengan bahagia. "Suami saya negatif, dan saya butuh sesuatu yang netral biar tidak bicara tentang HIV terus," selorohnya.
"Hamil ini karena ada perencanaan. Mestinya bukan hanya perempuan dengan HIV yang butuh perencanaan hamil, semua perempuan harus. Bedanya, kalau dengan HIV perlu lebih banyak perhatian," kata Ayu.
Ayu dan sang suami, menjalani berbagai persiapan dan rangkaian program kehamilan. Mereka memang berencana memiliki anak antara 2016 hingga 2017.
Keduanya berkonsultasi kepada lebih dari satu dokter, mengikuti serangkaian prosedur dan terapi medis, pemeriksaan laboratorium, koordinasi dengan rumah sakit, hitung masa subur, hingga uji coba berhubungan tanpa kontrasepsi dengan segala risiko yang mungkin muncul.
Saat merencanakan kehamilan, Ayu dan suami harus memperhitungkan waktu yang paling tepat agar pembuahan efektif dan efisien.
Sebiasa mungkin Ayu menjaga diri agar tidak sakit. Ia pun memikirkan proses persalinan dan pemberian air susu ibu (ASI) serta berkonsultasi dengan dokter serta rumah sakit.
Ayu memilih untuk melahirkan secara
caesar meski mampu secara normal. Menurut Ayu, ia ingin menurunkan risiko pendarahan dan tidak ingin menunggu lama untuk menurunkan risiko kepada bayi.
Meski banyak yang harus dipikirkan, Ayu bersyukur memiliki suami setia menemani semua proses kehidupan baru mereka. Keduanya saling bertukar pendapat dan menghadapi kondisi apa pun bersama-sama, termasuk saat Ayu terkena tumor payudara sebelum hamil.
"Yang jelas hamil bagi perempuan HIV bisa banget dan memungkinkan. Teman-teman saya 70 persen pasangannya negatif dan anak-anaknya sehat," kata Ayu.
"Kalau menganggap semua prosesnya repot, jadinya repot. Kalau sayang keluarga dan hidup, tidak terasa repot karena ikhlas," kata Ayu.
"Obat yang saya minum tidak ada selain ARV, paling hanya tambah vitamin karena saya juga harus menjaga nyawa lain di kandungan saya, sisanya semua sama seperti orang hamil biasa," lanjutnya.
Ayu bahkan sudah merencanakan apa yang akan ia katakan kepada anak-anaknya nanti saat sudah besar. Ia beranggapan bahwa kunci utama penerimaan anak-anak adalah para orang tua sadar mereka bukan pihak superior.
Ia juga berjanji akan menyediakan segala informasi yang dibutuhkan sang anak kelak dewasa, mulai dari reproduksi hingga HIV.
Dengan memahami tubuh, Ayu yakin si anak lebih menghargai dan menjaga diri sendiri. Termasuk Ayu yakin HIV dapat dijelaskan semudah memberi tahu penyakit lain.
Kini, Ayu mengisi kegiatan sehari-hari dengan menjadi penggiat sosial kampanye HIV/AIDS. Pengalaman menjadi pendamping sebaya ODHA sejak 2010, memberikan banyak motivasi bagi Ayu untuk kuat dan lebih semangat.
Menurut Ayu, ada banyak perubahan positif saat ini tentang HIV di Indonesia bila dibandingkan saat pertama kali dirinya menyandang status ODHA, meski masih banyak persoalan yang membutuhkan diskusi bersama berbagai lintas sektor dan pihak terkait.
"Ada memang kelompok yang memandang segala sesuatunya negatif. Namun kelompok yang lebih cerdas, lebih bijak, juga tumbuh makin banyak," kata Ayu.
"Kebanyakan ODHA yang saya kenal masih banyak menutup diri karena stigma tinggi dan berharap tidak ketahuan. Banyak yang lebih memilih berbohong karena agar dapat kehidupan yang aman," kata Ayu.
"Untuk para ODHA, jangan pernah merendahkan diri sendiri karena HIV. Semua bisa berkarya dan memberikan manfaat ke orang lain. Bagaimana orang ingin menghargai bila tidak bisa menghargai diri sendiri."