Jakarta, CNN Indonesia -- Bagi seorang ibu, berada di sisi anaknya adalah momen berharga. Namun tidak semua ibu dapat mewujudkan keinginan itu selama 24 jam sepanjang hidupnya.
Sebagian ibu di era modern harus membagi 24 jam dalam sehari untuk bekerja, jauh dari anak mereka. Mereka melakukan ini bukan karena tak ingin dekat dengan sang buah hati, melainkan atas nama masa depan anak.
Kegalauan mereka tak terucap demi melihat anak tumbuh dengan aman dan baik di masa depan. Beberapa ibu pekerja bersedia menceritakan kepada CNNIndonesia.com sebagian kegalauan mereka ketika harus berpisah dengan sang buah hati demi masa depan anak yang lebih baik dari orang tuanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ine Noor tahu betul rasanya tidak bisa melihat anak kembarnya selama 24 jam. Dahulu, ketika ia masih menjadi pegawai swasta bidang keuangan, ia bahkan harus menginap di kantor dan baru pulang esok pagi.
Sejak menikah pada 2000 dan mendapatkan sepasang anak pada 2001, Ine memang sudah memutuskan untuk tetap bekerja meski sudah ada tanggung jawab anak. Sang suami pun setuju.
Namun sebagai seorang eksekutif muda yang memiliki jadwal serta wewenang cukup besar, Ine sadar ia harus membagi waktu untuk pekerjaan, rumah tangga, dan anak-anak.
Saat pagi, ia tetap mengurus suami dan anak-anak. Sebelum berangkat beraktivitas, Ine menyempatkan diri bermain piano dengan anak untuk membangun kedekatan. Kala malam, usai beraktivitas, ia masih membacakan buku pengantar tidur untuk anak.
Ia dan suami—saat masih bersama—berkomitmen tidak menggunakan bantuan baby sitter saat akhir pekan dan liburan. Ine selalu memegang prinsip, tidak ada yang lebih penting dibanding anak.
Namun ia tidak berkeinginan berhenti bekerja dan menjadi ibu rumah tangga. Dia selalu teringat pesan sang ibunda yang ditanamkan kepadanya semasa kecil.
"Saya selalu diajarkan oleh ibu, bahwa sebagai perempuan itu harus punya identitas diri. Saya diajarkan kalau orang kenal bukan karena istri seseorang, tapi dari karya saya," kata Ine.
"Saya beritahu anak-anak ketika mereka beranjak remaja. Alasannya, ya selain ekonomi, sebagai perempuan harus bisa mandiri dalam baik dalam ilmu atau ekonomi," kata Ine. "Namun juga tidak boleh sok pinter karena pada hakikatnya tetap harus mengabdi pada suami."
Kini, Ine menjadi pengusaha furnitur dan orang tua tunggal. Meski begitu, ia tetap berkegiatan dengan mengikuti berbagai organisasi sosial macam Lion's Club dan Perhimpunan Perempuan Lintas Profesi Indonesia.
Membesarkan anak, yang masih berusia tiga tahun dan tengah aktif belajar segala sesuatu, tentu tak ingin dilewatkan oleh ibu mana pun. Tak terkecuali Dian Priharyaningsih, pegawai negeri sipil di Kelurahan Karet, Jakarta Selatan.
Dian memutuskan tetap bekerja ketika akan menikah pada 2011. Kebetulan, saat itu, ia sudah tercatat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Sang suami pun mengizinkan dia tetap bekerja sebagai tanda pengaplikasian ilmu yang ia kenyam.
Dan saat putri tercinta lahir tiga tahun silam, waktu yang Dian punya selama 24 jam sehari seolah tidak cukup.
Pekerjaan dan pengabdian sebagai Kasatlak Pelayanan Terpadu (PTSP), ditambah mengurus suami dan anak, memaksa Dian untuk 'haram' merasa lelah.
"Waktu 24 jam itu tidak cukup buat mengurus semuanya. Sudah di kantor penuh pekerjaan, harus tetap mengecek yang di rumah. Ketika pulang, sudah capek, namun tetap harus mengurus anak yang masih ingin main," kata Dian.
Dibesarkan oleh seorang ibu pekerja, Dian sebenarnya sudah terbiasa mandiri dan tidak bergantung pada orang tua. Namun melihat perjuangan ibu untuk tetap menjadi ibu rumah tangga dan profesional, justru itu yang jadi inspirasi bagi Dian.
Dian juga sempat berpikir untuk mundur dari pekerjaan. Namun seiring berjalan waktu dan kedewasaan, dia sadar anak dan jaminan masa depan sama-sama penting.
Dian terbiasa berkomunikasi dengan keluarga dan suami untuk sama-sama mengurus sang anak. Setidaknya, beban sedikit terasa ringan di pundak Dian.
Dia pun tak ingin kehilangan momen penting dari sang anak, misal dalam mengambil rapor perkembangan anak di sekolahnya. Sejauh ini, Dian bersyukur tidak melewatkan momen penting sang putri.
"Ya yang saya lakukan selama ini dan seterusnya hanya untuk putri saya. Saya hanya berharap dia dapat jadi anak yang bermanfaat dunia dan akhirat," kata Dian.
"Baik jadi ibu bekerja atau pun rumah tangga, tidak ada yang salah. Setiap orang memiliki kondisi dan situasi berbeda, tidak bisa disamaratakan dan dibanding mana yang lebih baik. Bagi saya, semua ibu penting dan berharga," katanya.
Tidak pernah terpikirkan oleh Widha Rukmi, ia akan segera hamil dua pekan setelah melangsungkan pernikahan. Di usia 25, kini ia sudah menggendong seorang bayi tiga bulan.
Keinginan mundur dari jabatan staf marketing dan menjadi ibu rumah tangga sempat terlintas dalam benak Widha. Apalagi ketika teman-teman sebayanya memilih menjadi ibu rumah tangga dibanding ibu pekerja.
"Tapi saya kan kerja juga demi pendidikan anak, demi masa depan anak. Jujur saya galau tidak bisa sering bersama anak bila bekerja, tapi di sisi lain kalau tidak bekerja ya repot juga," kata Widha.
Meski baru masuk kembali kerja sepekan, Widha sudah mengalami beragam drama. Ia bahkan sempat melakukan simulasi untuk melihat reaksi anaknya saat ia pergi. Beruntung, lama-lama sang buah hati tampaknya mengerti Widha pergi kerja untuk masa depannya.
Menjadi ibu pertama kali di usia yang masih tergolong muda adalah sebuah pembelajaran besar bagi Widha. Ia pun selalu mengingatkan diri sendiri bahwa tujuan dia bekerja adalah untuk anak.
"Segala perasaan campur aduk. Sedih karena harus meninggalkan dia untuk kerja, namun senang karena dia mau mengerti. Hati saya remuk melihat dia nangis kejer karena saya tidak ada di sampingnya," kata Widha.
"Saat masuk kerja pun, tetap banyak dramanya. Hari pertama kerja, yang ikut bantu justru pulang kampung. Jadinya saya bangun pagi, nyetrika, mandiin, makan, beri ASI sebentar lalu berangkat. Pulangnya, beri ASI lalu bersih-bersih, terus ya kadang terbangun tengah malam untuk ganti popok, dan lain-lain," lanjutnya.
"Namun bahagia sih, apalagi saat pulang kerja bertemu anak, capek langsung hilang. Tidak ada rasa lelah sama sekali melihat anak senyum," kata Widha.
Meski saat ini memilih menjadi ibu pekerja, Widha menilai baik ibu rumah tangga ataupun pekerja sama-sama memiliki pekerjaan berat dalam mengurus keluarga dan anak. Mereka juga harus dapat mengerjakan beragam hal secara bersamaan dan dituntut selalu ada untuk keluarga.
Walau masih balita, Widha pun memiliki harapan bagi sang anak. Tersimpan dalam hati, Widha, dan para ibu di luar sana selalu berdoa untuk anak mereka agar memiliki masa depan yang lebih baik dari orang tua mereka.
"Tidak banyak yang kami pinta nak, hanya berjuang apa untuk apa yang kalian ingin capai dan selalu menjadi orang yang bertanggung jawab. Ibu tahu, lelaki kadang suka bandel. Namun jagalah hatimu, jangan terlalu meninggi. Ingatlah pada sesama. Selalu ajarkan kami, orang tuamu, agar bisa selalu lebih baik lagi,"
"Maaf kalau kami belum bisa memberikan yang terbaik, tapi kami akan selalu berusaha demi kamu, demi masa depan kamu. Grow healthy kiddo, keep happy, always inspiring us. Love you in my deepest heart, now I know what love before met someone, and it's you kid."