Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Pariwisata dan Kementerian Kelautan dan Perikanan membuat nota kesepahamam terkait dengan kerja sama pengembangan wisata bahari. Kerja sama itu diharapkan mampu meningkatkan pendapatan negara yang bersumber dari pariwisata di sektor kelautan.
Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan, potensi pariwisata bahari saat ini belum dikembangkan dengan maksimal. Sebagai negara kepulauan, wisata bahari dinilai mampu memberi pemasukan yang cukup signifikan bagi Indonesia.
“MoU ini penting untuk meningkatkan pemasukan bagi negara. Saat ini wisata bahari masih belum maksimal,” ujar Arief di Kantor KKP, Jakarta, Selasa (7/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arief menuturkan, kontribusi pendapatan negara dari wisata bahari saat ini baru sekitar 10 persen dari total devisa sebesar US$12,6 miliar yang diterima selama tahun 2016. Persentase itu, kata dia, jauh tertinggal dengan Malaysia yang mampu memperoleh pemasukan dari wisata bahari sebesar US$8 miliar per tahun.
“Malaysia delapan kali lipat Indonesia. Padahal Indonesia memiliki garis pantai terpanjang ke-dua di dunia,” ujar Arief.
Ia menuturkan, kekayaan bahari Indonesia amat beragam. Selain pantai, 70 persen jenis koral yang hidup di dunia terdapat di Indonesia. Sayangnya, kelebihan itu belum dikelola dengan baik, sehingga tidak memberi dampak positif bagi perekonomian negara dan kesejahteraan masyarakat.
Lebih lanjut, Arief menyatakan, pemerintah menargetkan wisata bahari mampu memberi pemasukan bagi devisa negara sebesar US$4 miliar atau 10 persen dari target US$20 miliar pada tahun 2019.
“Ini angka yang tidak kecil dan tidak mungkin bisa direalisasikan dengan cara yang biasa,” kata Arief.
Sementara itu, ia menyampaikan, hambatan utama dalam merealisasikan target itu terletak pada regulasi. Sampai saat ini, regulasi di sektor pariwisata terlalu berbelit-belit dan tumpang tindih.
Contoh kasus soal kebijakan terjadi pada perizinan kapal pesiar yang hendak masuk ke Indonesia. Di Thailand, Singapore, dan Malaysia, kata Arief, hanya butuh waktu satu jam, sementara di Indonesia membutuhkan waktu 21 hari.
“Pendekatan pariwisata Indonesia juga masih berbasis keamanan. Padahal di semua negara pendekatannya pelayanan,” ujar Arief.
Dalam kesempatan yang sama, Menteri KKP Susi Pudjiastuti mengaku senang dengan adanya kerja sama tersebut. Namun, ia menegaskan, kerja sama itu harus dilakukan dengan serius dan tidak terputus di tengah jalan.
“Saya harap kerja sama ini jangan hanya tandatangan MoU saja tidak ada
follow up. Biasanya banyak MoU hanya masuk laci kerja,” ujar Susi.
Susi menuturkan, masih ada sejumlah permasalahan yang terjadi di sektor perikanan, misalnya tidak terawatnya tempat pengolahan ikan. Hal itu mengurangi nilai tambah pariwisata kelautan.
“
Attitude juga perlu diubah menjadi lebih baik agar bisa mendapatkan uang lebih banyak daripada wisata darat,” ujarnya.
Selain itu, Susi menambahkan, pihaknya berharap ke depan Indonesia tidak lagi terfokus pada sektor produksi kelautan sabagai sektor pemasukan negara. Ia menyebut, sektor pariwisata bahari yang berbasis pelayanan wajib dimaksimalkan.
Salah satu kawasan pariwisata kelautan yang bisa dijadikan contoh, kata Susi, adalah Maldives (Maladewa). Dengan keluasan pulau yang kecil, kawasan itu bisa mendapatkan pemasukan wisata bahari sebesar US$2 miliar.
“Memang Indonesia harus bisa mengarah pada jasa dan pelayanan. Jangan hanya produk dan komoditas saja pasti kita akan dapat uang banyak,” ujar Susi.
(ard)