Banyuwangi, CNN Indonesia -- “Kunjungi Banyuwangi, Anda pasti ingin kembali.” Begitulah semboyan yang saya baca saat melihat situs Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Pertama kali membacanya, saya agak ragu, karena merasa kalau baru Bali dan Yogyakarta yang membuat saya ingin kembali.
Ada dua alasan utama yang membuat saya ingin kembali ke sebuah daerah wisata. Pertama, sudah pasti keindahan objek wisatanya. Kedua, ketersediaan fasilitas dan layanan bersantai yang menunjang. Intinya, untuk apa kembali berwisata ke tempat yang indah bak lukisan, jika sampai di sana saya malah tidak bisa bersantai?
Keyakinan saya untuk berkunjung ke Banyuwangi juga karena tahu kalau daerah paling timur di Pulau Jawa ini merupakan tempat lahir Menteri Pariwisata Arief Yahya, sosok yang selama ini dikenal sangat bersemangat meningkatkan kualitas wisata suatu daerah. Jika yang lain kualitasnya ditingkatkan, sudah pasti ia menerapkan yang terbaik untuk kampung halamannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jadilah saya mengunjungi Banyuwangi pada akhir pekan kemarin. Terbang dari Jakarta selama satu jam, pesawat saya akan transit di Surabaya selama satu jam, lalu terbang ke Banyuwangi selama satu jam. Agak merepotkan memang. Tapi, setelah 16 Juni 2017, wisatawan yang berencana datang sudah bisa menikmati penerbangan langsung dari Jakarta ke Banyuwangi tanpa transit di Surabaya.
 Bandara Blimbingsari Banyuwangi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Selain mendarat di Bandara Blimbingsari Banyuwangi, dari Jakarta wisatawan juga bisa datang melalui Stasiun Banyuwangi Baru (perjalanan delapan jam) atau Pelabuhan Ketapang (perjalanan 45 menit). Bagi yang menggunakan kereta api bisa tidur dengan nyenyak tanpa harus khawatir melewatkan stasiun untuk turun. Karena Stasiun Banyuwangi Baru merupakan stasiun paling akhir di Pulau Jawa.
Dari atas pesawat, keindahan alam Banyuwangi sudah terlihat. Pantai berair biru kehijauan dengan pasir putih bersanding dengan rimbunnya hijau pepohonan. Pulau-pulau di ujung Indonesia memang selalu diberkahi kondisi alam yang demikian.
Sesampainya di Bandara Blimbingsari Banyuwangi, jangan kaget kalau bangunan bandara sangat kecil dan sederhana, mirip minimarket. Hanya ada satu belt bagasi yang digunakan untuk mengantar koper penumpang. Peluh pun bercucuran karena harus berdesakan bersama penumpang lain di dalam ruangan. Setelah keluar bandara, terlihat bangunan bandara yang baru akan segera beroperasi.
 Bangunan baru bandara yang masih dibangun dengan konsep ramah lingkungan. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Dalam hati hanya bisa tertawa, sepertinya saya salah tanggal untuk datang ke Banyuwangi, karena belum sempat merasakan penerbangan langsung maupun bandara baru.
Dari bandara, saya dijemput oleh pemandu dan supir dari situs perjalanan wisata www.lovelybanyuwangi, Kisma dan Oni. Dengan ramah mereka menyapa dan langsung memberikan berbagai informasi terkait wisata di Banyuwangi.
Banyuwangi disebut juga Bumi Blambangan, karena jejak Kerajaan Hindu Blambangan yang pernah ada. Seluas 5,7 juta kilometer persegi dengan penduduk 2,1 juta orang, kota yang dipimpin oleh Bupati Abdullah Azwar Anas ini bisa dibilang majemuk.
Seluruh ras dan agama hidup dengan rukun di sini, bahkan memiliki kampung-kampung sendiri. Suku Osing merupakan suku asli yang tinggal di Desa Kemiren. Jadi bahasa Osing yang masih sering digunakan, selain bahasa Jawa, Indonesia dan daerah lainnya.
 Suku Osing di Desa Kemiren. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Agama Islam menjadi agama mayoritas, selain Hindu, Kristen dan lainnya. Penduduk Banyuwangi sudah terbuka menerima kedatangan wisatawan, terbukti dengan mereka yang selalu memberikan senyum ketika bertatapan muka.
Berbeda dengan Surabaya dan Bali, dua kota yang mengapit, suhu udara di Banyuwangi bisa dibilang lebih teduh.
Selain becak atau ojek, ada dua jenis angkutan umum yang sering bisa digunakan, yaitu Angkot Kuning dan Angkot Biru. Kalau ingin lebih nyaman bisa menggunakan mobil sewa, dengan tarif mulai dari Rp500 ribu per hari berikut supir.
Ada banyak pilihan tempat penginapan di Banyuwangi, mulai dari homestay sampai hotel bintang lima. Saya memilih untuk menginap di Hotel Ketapang Indah, karena suasananya asri dan menenangkan. Tarif per malamnya mulai dari Rp500 ribu.
 Suasana asri Hotel Ketapang Indah. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Saya menghabiskan waktu lima hari di Banyuwangi, karena begitu banyak pilihan objek wisata yang ingin dikunjungi. Tapi, bagi yang hanya ingin mampir, tetap bisa merasakan suasana wisata dalam sehari.
Bersambung ke halaman berikutnya...
06.00 - Matahari Terbit dari Ikon BanyuwangiHotel Ketapang Indah yang berada di Jalan Gatot Subroto, searah dengan Pelabuhan Ketapang, merupakan pilihan tepat bagi wisatawan yang ingin berbulan madu atau sekedar bermalas-malasan.
Bergaya resor, hotel ini berada di pinggir pantai yang berseberangan langsung dengan Selat Bali. Bangun pagi dan meninggalkan komplek hotel yang tenang jadi hal tersulit yang dilakukan di sini.
 Bermalas-malasan jadi kegiatan paling menarik di Hotel Ketapang Indah. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Setelah sarapan di hotel, saya beranjak menyaksikan pemandangan matahari terbit dari ikon Banyuwangi, Monumen Tari Gandrung, yang tak berada jauh dari Pelabuhan Ketapang.
Setelah menempuh perjalanan sekitar sepuluh menit, sampailah saya di bawah patung penari Gandrung. Saya memilih duduk di tepian monumen, yang berbatasan langsung dengan perairan Selat Bali.
The Sunrise of Java, begitu kota ini disebut, karena menjadi kota di Jawa yang pertama kali disinari matahari terbit.
Pagi itu matahari bersinar malu-malu. Sinarnya pelan-pelan memperlihatkan Pulau Bali di seberang yang terasa sangat dekat.
Walau bukan di restoran mahal, menikmati pemandangan pagi itu sambil menyeruput kopi seduh ternyata sama nikmatnya.
Bersambung ke halaman berikutnya... 07.00 - Terkagum dengan Pantai Teluk HijauKisma mengatakan kepada saya kalau selama perjalanan ke Pantai Teluk Hijau saya bisa melanjutkan tidur dalam mobil, karena perjalanan akan berlangsung selama dua jam. Jaraknya tidak terlalu jauh, namun medan Taman Nasional Meru Betiri Banyuwangi yang berbatu membuat mobil harus melaju pelan.
Jalanan di taman nasional sepertinya haram untuk diaspal, karena dianggap mengganggu kelestarian alam. Kondisi yang sama juga dirasakan saat saya mengunjungi Pantai Plengkung di Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi pada hari sebelumnya.
Saya hanya bisa berharap pengelola memberikan kelonggaran atas atuan tersebut, mengingat tidak semua wisatawan memiliki tulang ekor yang tahan dengan guncangan roda mobil saat menggerus bebatuan besar.
Pemandangan desa, sawah, pasar, kebun dan hutan membuat rasa sabar saya lebih panjang. Sampai di pintu gerbang Meru Betiri, kami diminta membayar tiket masuk Rp5000 per orang dan Rp10.000 per mobil. Untuk wisatawan asing jadi Rp150 ribu per orang.
Syamsul, pemandu wisata dari Meru Betiri langsung mengabarkan berita buruk bagi wisatawan yang jarang berkeringat seperti saya. Ombak hari itu sedang besar, sehingga menuju Pantai Teluk Hijau harus dilakukan dengan mendaki bukit selama satu jam, bukan dengan kapal sewa yang biasanya mengantar selama 25 menit.
Hati dan kaki langsung gentar mendengar kata mendaki, namun iming-iming cerita keindahan pemandangan saat mendaki dari Syamsul membuat saya sedikit merasa kuat.
 Pendakian dengan iming-iming pemandangan indah. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Rasa kuat itu itu hanya bertahan sekitar sepuluh menit, karena napas mulai memendek karena medan bukit yang naik turun. Tapi Syamsul tak mengingkari janjinya, karena pemandangan memang sangat indah.
Ada dua pantai berbatu yang kami lewati. Di salah satu Pantai Teluk Batu, Syamsul malah mengajak saya melakukan ritual permohonan kepada Tuhan dengan cara berdoa lalu melempar tiga batu. Tentu saja, keberuntungan dalam hal jodoh dan dompet ada dalam permintaan saya.
 Pantai Teluk Batu, salah satu tempat paling pas berdoa kepada Tuhan untuk urusan jodoh dan dompet. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Sudah tak terhitung berapa kali saya bertanya kepada Syamsul berapa lama lagi kami sampai di Pantai Teluk Hijau. Di pertanyaan kesekian, Syamsul hanya menjawab dengan senyum paling manis dan tangan menunjuk ke arah depan.
Pantai Teluk Hijau ada di depan mata. Saya berjalan lebih cepat, karena yang ada di pikiran hanya untuk segera membeli minuman di warung terdekat.
Ternyata tidak ada warung di sana. Hanya ada perairan jernih biru kehijauan dengan pasir putih halus. Karang besar menjadi latar belakangnya. Saya terkagum dan langsung melupakan rasa lelah pendakian.
 Ingatlah, tidak ada warung di Pantai Teluk Hijau. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Syamsul menyuruh saya membasuh wajah di Air Terjun Bidadari, yang ada di sudut pantai sebelum berenang di pantai yang serasa milik pribadi.
Dari cerita Syamsul, Pantai Teluk Hijau memang tidak dibuat komersil, karena ingin dijaga kelestariannya. Wisatawan yang datang diharapkan ikut membantu menjaganya, dengan tidak membuang sampah sembarangan.
 Serasa milik sendiri karena tidak ada wisatawan lain di Pantai Teluk Hijau. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Syamsul malah punya doa, agar pantai ini selalu sepi dari wisatawan sehingga alamnya tetap asli. Saya tertawa, tapi dalam hati juga ikut berdoa yang sama.
Bersambung ke halaman berikutnya... 13.00 - Magis di Pulau MerahPulang dari Pantai Teluk Hijau, saya kembali mendaki untuk sampai ke mobil. Dua jam pendakian membuat seluruh anggota badan saya seakan minta penggantian suku cadang.
Kisma menyuruh saya kembali tidur dalam mobil, karena Pulau Merah berjarak satu jam dari Pantai Teluk Hijau. Saya sebenarnya curiga karena selalu disuruh tidur, karena merasa gentar jika harus kembali disuruh mendaki.
Tapi tidak ada pendakian di Pulau Merah. Yang ada hanya homestay dan warung ikan bakar. Suasana wisata langsung terasa, apalagi setelah melihat banyak wisatawan mancanegara yang menenteng papan selancar.
Turun dari mobil, mata disambut hamparan pantai berpasir putih dengan latar belakang baru karang berpohon besar. Hampir mirip Phi Phi Island dalam film ‘The Beach’.
 Karang besar yang menyambut. (CNN Indonesia/Ardita Mustafa) |
Yang membedakan, di film itu Leonardo DiCaprio tidak makan ikan bakar dengan sambel ulek beserta lalap yang menjadi santapan saya siang itu. Sedap!
Pulau Merah masih masuk bagian Taman Nasional Betiri, hanya saja ada Area Komersial yang diperuntukkan, sama seperti di Pantai Plengkung. Hal itu dikarenakan semakin banyak wisatawan yang datang, sehingga dibuat fasilitas dan layanan penunjang.
 Wisatawan seakan lupa waktu berselancar di Pantai Merah. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Suasananya mirip seperti di Pantai Canggu, Bali, hanya saja minus tempat makan modern.
 Senja di Pantai Merah. (CNN Indonesia/Ardita Mustafa) |
Saya memilih duduk-duduk di pinggir pantai sambil membaca buku dan menyesap bir, sambil melihat orang-orang yang berselancar. Tak terasa langit memerah, tanda sore mau tutup.
Bersambung ke halaman berikutnya...
17.00 - Berburu Tajil dan KopiBagi yang berpuasa, Jalan Brigjen Katamso dekat Kantor Bupati Banyuwangi bisa dijadikan pilihan untuk berburu makanan berbuka puasa atau tajil.
Menu berbuka puasa yang khas di Banyuwangi adalah Petulo, Percet dan Kolak Roti.
Petulo mirip dengan Kue Putu Mayang. Dalam satu kemasan terdapat dua kue, berwarna hijau dan merah muda serta satu bungkus santan.
Percet sedikit mirip Biji Salak, namun dibuat berulir kecil seperti mie, yang direndam gula jawa.
Sedangkan Kolak Roti merupakan roti yang direndam santan manis dan ditambahi candil lalu dibungkus daun pisang.
Harga ketiga menu tersebut masing-masing sebesar Rp5000. Namun, untuk mencarinya, harus sering-sering melongok ke meja penjual, karena tak semuanya masih menjajakan menu lokal tersebut.
Selain ketiga menu itu, saya juga memesan Nasi Bungkus Daun dan Es Kelapa Durian.
 Es Kelapa Durian yang menggoda. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Rata-rata makanan di sana dijual mulai dari Rp5000.
Usai merasakan hawa Ramadan, saya diajak Kisma membeli oleh-oleh di Osingdeles yang terletak di Jalan KH Agus Salim.
 Macam oleh-oleh yang tersedia. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Selain kaos, batik, pajangan, camilan dan kopi khas Banyuwangi, toko ini juga memiliki restoran di lantai dua.
 Restoran di lantai dua bernuansa cukup modern dengan konsep di atas atap. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Menyesap Kopi Robusta Gunung Raung menjadi pilihan saya sambil bersantai memandang jalanan dan kali di seberang.
Bersambung ke halaman berikutnya... 19.00 - Sate Bakar Pak SalehSama seperti senja, kelezatan ikan bakar di Pulau Merah sudah tenggelam dalam damai. Kisma lalu mengajak saya makan di warung Sate Pak Saleh di Jalan Jember Kalibaru.
Kawasan ini dekat dengan Kampung Arab, sehingga banyak kuliner khas Timur Tengah yang tersaji.
Menunya tak berbeda jauh dengan warung sate yang ada di Jakarta, hanya saja racikan bumbunya lebih banyak rempah.
Saya memesan menu Sate Kambing dan Sup Kaldu Kambing. Harga satu menu berkisar mulai dari Rp20.000, dengan satu porsi sate berjumlah sepuluh tusuk. Yang menarik, supnya ternyata menggunakan kacang hijau rebus, sehingga kuah lebih kental dan manis.
 Sup Kaldu Kambing. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Jika ingin mencicipi makanan laut, bisa juga datang ke restoran Ikan Bakar Pesona di Jalan Tole Iskandar. Harga satu menu berkisar mulai dari Rp35.000.
Banyuwangi memang jadi salah satu penghasil ikan terbesar di Indonesia, tepatnya di Pelabuhan Muncar. Di sana, industri perikanan bisa dibilang sibuk, mulai dari nelayan sampai pabrik pengolahan ikan kalengan.
 Pelabuhan Muncar di Banyuwangi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Malam di Banyuwangi tidak panjang, karena hampir tak ada bar, tempat karoke atau kelab malam yang buka usaha di pinggir jalan.
Sang Bupati memang ingin kotanya tidak identik dengan hal tersebut, apalagi saat ini ia sedang mengembangkan wisata halal. Namun keriaan sejenis masih bisa ditemukan di sejumlah hotel yang memberikan fasilitas tersebut untuk tamunya.
Usai makan dan berbincang, saya akhirnya memutuskan pulang ke hotel.