Jakarta, CNN Indonesia -- Hari ini merupakan peringatan Hari Anak Perempuan Internasional. Dikutip dari laman resminya, PBB secara khusus mencanangkan 11 Oktober untuk menyoroti kebutuhan dan tantangan yang dihadapi anak perempuan sedunia, sekaligus pemberdayaan anak perempuan dan pemenuhan hak-hak mereka.
Secara khusus, kelompok End Child Prostitution, Child Pornography and Trafficking of Children for Sexual Purposes (ECPAT) Indonesia melakukan riset mengenai eksploitasi seksual komersial anak (ESKA). Jaringan global organisasi non-pemerintah ini melakukan pendataan sejak September 2016 hingga September 2017. Mereka menemukan, 508 anak telah menjadi korban ESKA. Mirisnya, 67 persen di antaranya adalah anak perempuan.
"Kalau dari hasil pemantauan kita, kita masih merasa anak perempuan masih jadi objek ESKA," kata Deden Ramadani, Koordinator Riset ECPAT Indonesia saat dihubungi CNNINdonesia.com pada Rabu (11/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasarkan rilis ECPAT, sebanyak 339 anak perempuan menjadi korban ESKA dengan mayoritas kasus pornografi anak, yakni sebesar 50 persen. Sebanyak 28 persen kasus prostitusi anak dan 21 persen kasus perdagangan anak untuk tujuan seksual.
Menurut data ECPAT, anak perempuan menjadi target utama para predator pornografi anak. Salah satu kasus besar yang pernah diungkap Polda Metro Jaya ialah kasus pornografi dengan pelaku berinisial ABC pada Oktober 2016 lalu. Korban mencapai 150 anak perempuan.
"Kami mendata secara manual baik melalui jaringan di wilayah, pemantauan di media juga pencatatan kasus. Trennya masih sama, anak perempuan jadi korban utama. Walau sebenarnya beberapa tahun terakhir trennya anak laki-laki (yang jadi korban)," ujar Deden.
Sementara itu, pemerintah sebenarnya sudah menandatangani
Optional Protocol to the Convention on the Rights of the Child on the Sale of Children, Child Prostitution and Child Pornography atau Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak pada 24 September 2001.
Protokol ini kemudian diratifikasi melalui Undang-Undang No.10 Tahun 2012 tentang Konvensi Hak Anak.
"Masalahnya, hingga tahun ini pemerintah belum memberikan laporan ke PBB mengenai implementasi protokol, apa-apa saja yang sudah dilakukan pemerintah. Kami juga sebagai lembaga masyarakat memberikan pandangan alternatif ke PBB, tapi masih menunggu dari pemerintah," katanya.
Menurut Deden, seharusnya laporan diberkan dua tahun sejak ratifikasi sehingga ECPAT serta lembaga masyarakat lain dapat menyusul dengan memberikan laporan alternatif.
Selain mengenai protokol, ECPAT juga memberikan catatan bahwa selama ini penanganan kasus prostitusi masih minim dan belum ada pedoman khusus.
bPadahal, lanjutnya, proses rehabilitasi kasus prostitusi dengan kasus kekerasan seksual itu berbeda. Korban prostitusi sudah terpapar materi dan gaya konsumtif, sementara korban kekerasan seksual berbeda.
Selama ini, kata Deden, penanganan kasus prostitusi hanya sampai ke level mucikari. Padahal, merujuk pada Protokol Opsional Konvensi Hak-hak Anak, orang yang membeli pun bisa dipidana.
"Sebenarnya yang menarik di UU No.10 Tahun 2012, pemerintah Indonesia menghapus kata-kata mempidanakan pembeli . Di terjemahan asli masih ada tapi di penjelasan UU kata-kata ini hilang," jelasnya.
(rah/rah)