Jakarta, CNN Indonesia -- 'Membaca' Jakarta memang sangat membosankan jika hanya dikaji lewat pandangan mata saat ini, sebab Jakarta tak lebih dari perkara polusi dan ambisi yang tak bertepi. Namun Jakarta akan 'sedikit mengasyikkan' jika ditilik lewat jalur sejarah.
Jika mencari pusat pemerintahan Jakarta zaman dulu, atau yang disebut Batavia, biasanya akan mengarah ke kawasan Kota Tua di Jakarta Utara. Namun kegagahan kota yang dilingkupi benteng itu tidak abadi. Beberapa alasan menyebabkan Gubernur Jendral terakhir VOC, Gerardus van Overstraten, memutuskan kawasan Weltevreden (Gambir dan sekitarnya) menjadi pusat pemerintahan yang baru.
Mengutip situs Badan Perencanaan Kotamadya Jakarta Pusat, Weltevreden bukanlah sebuah wilayah baru dalam peta Batavia karena kawasan ini sudah terbentuk sejak abad 17. Peradaban di kawasan ini bermula saat Anthonij Paviljoun membangun vila-vila peristirahatan, di atas lahan pemberian pemerintah kolonial tahun 1648 dengan nama Weltevreden.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Komplek perumahan inilah yang merupakan cikal bakal kawasan Weltevreden, letak kompleks tersebut saat ini berada disekitar Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto.
Kawasan Weltevreden mulai berkembang saat Justinus Vinck membangun dua buah pasar besar di dalamnya (saat ini Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang). Pasar-pasar tersebut dihubungkan oleh De Grote Zuiderweg (sekarang Jalan Kebon Sirih sampai Jalan Kramat Kwitang)
Pada tahun 1905, Gemeente Batavia mengambil alih tanggung jawab atas pengelolaan seluruh wilayah kota Batavia. Rencana perluasan kota yang lebih terstruktur dicanangkan. Kawasan seperti Menteng dan Gondangdia dialihfungsikan, dari wilayah perkebunan menjadi wilayah perumahan.
Sementara, wilayah seputar Koningsplein (saat ini kawasan Medan Merdeka) dikembangkan besama Weltevreden sebagai pusat pemerintahan, perkantoran, dan hiburan berdasarkan rencana induk kota Batavia 1937. Pola ini masih dilanggengkan hingga saat ini.
 Dua jalur di Jalan Jaksa sepanjang 400 meter yang kini sepi. (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Beberapa bangunan bersejarah masa lalu di kawasan Weltevreden seperti Istana Koningsplein (Istana Merdeka), Volksraad (Gedung Pancasila), Indische Woonhuis (Galeri Nasional), Museum Royal Batavian Society of Arts and Sciences Batavia (Museum Nasional), Willemkerk (Gereja Immanuel), Waterloplein (Kawasan Lapangan Banteng), dan Stasiun Weltevreden (Stasiun Gambir) masih dirawat dengan cukup baik.
Tempat-tempat itu akhirnya menjadi destinasi bersejarah bagi para turis asal Belanda untuk berziarah ke Jakarta. Pada tahun 1960-an, turis Belanda mulai ramai memasuki kawasan Jalan Jaksa untuk menjadi lokasi menginap dalam rangka wisata ziarah.
Jarak dari Jalan Jaksa menuju lokasi-lokasi itu tidaklah jauh, biasanya turis berjalan kaki untuk menyambangi lokasi-lokasi tersebut.
Namun tidak dengan saya. Saya memilih menggunakan sepeda motor untuk menjelajah kawasan Weltevreden dari Jalan Jaksa.
Berikut ini ialah pengalaman saya berkeliling di kawasan itu seharian:
Berlanjut ke halaman berikutnya...
08.00 - Saudagar KopiKedai kopi ini berada di kawasan Jalan Sabang, sentra kuliner malam yang jaraknya terpaut beberapa ratus meter dari Jalan Jaksa.
Saudagar Kopi buka sejak jam sarapan pagi. Seperti namanya, tempat ini menyajikan beberapa menu kopi.
Pagi itu saya memutuskan untuk memesan Piccolo dan Singkong Garlic. Piccolo kurang lebih seperti espresso, namun rasa kopinya jauh lebih menyenangkan.
Pada dasarnya Piccolo adalah Ristretto shot yang berasal dari ekstrak Espresso yang menghasilkan cairan sekitar 15-20 ml.
Ristretto merupakan bagian terbaik dari proses ekstraksi Espresso karena teksturnya lembut dan kadar asamnya pun sedikit akibat lamanya proses ekstraksi.
Singkong dengan aroma bawang putih, menjadi penyeimbang selera saya pagi itu yang agak ke 'barat-baratan'.
[Gambas:Instagram]10.00 - Museum Nasional
Usai berdamai dengan perut yang kelaparan, saatnya saya mengunjungi lokasi pertama yaitu Museum Nasional atau yang biasa disebut Museum Gajah.
Komplek Museum Nasional dibangun di atas tanah seluas 26.500 meter persegi dan hingga saat ini mempunyai dua gedung.
Museum Nasional menyimpan sekitar 160 ribu benda-benda bernilai sejarah yang terdiri dari tujuh jenis koleksi prasejarah, arkeologi masa klasik atau Hindu-Budha, numismatik dan heraldik, keramik, etnografi, geografi, dan sejarah.
Barangkali museum ini adalah salah satu yang pengelolaannya cukup baik di Indonesia.
 Pemandangan di dalam Museum Nasional. (Gunawan Kartapranata/Wikipedia) |
12.00 - Monumen Nasional
Sebelum mengambil kendaraan yang sengaja saya parkir di kawasan Museum Nasional, saya putuskan untuk masuk ke Monumen Nasional alias Monas.
Terakhir kali saya ke tempat ini barangkali lebih dari 15 tahun silam, saya sendiri sudah lupa seperti apa tata letaknya selain pemandangan dari puncak Tugu Api dan naskah asli Proklamasi.
Di bagian dasar Monas terdapat Museum Sejarah Nasional Indonesia yang memajang diorama perjuangan pahlawan Indonesia.
 Monas yang selalu ramai setiap harinya. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Berlanjut ke halaman berikutnya...
14.00 - Jalan Jaksa
Siang itu saya sengaja mengarahkan kendaraan ke Jalan Jaksa karena berniat mengamati hiruk pikuknya, namun ternyata kondisi jalanan tersendat. Dari gerbang masuk kawasan Jalan Jaksa, kemacetan sudah terjadi.
Awalnya saya berniat untuk mencari makan di pinggiran namun apa daya, matahari sangat congkak hari itu. Saya pun memutuskan untuk masuk ke dalam Memories Cafe, ikon Jalan Jaksa yang di ambang masa penghabisan.
Melihat spanduk bertuliskan 'Rumah dan Tanah ini Dijual' selera makan saya menjadi berkurang, yang tadinya niat memesan beberapa menu untuk makan siang akhirnya berujung pada mie goreng dan minuman berkarbonasi.
16.00 - Gambir
Sembari menunggu momen matahari terbenam, saya putuskan untuk menuju Stasiun Gambir. Setelah memarkir kendaraan di area parkir stasiun, saya berjalan kaki ke arah Galeri Nasional, Gereja Immanuel, dan berakhir di Lapangan Banteng.
Sambil berjalan saya amati bangunan-bangunan tua peninggalan Belanda itu, pertanyaan dalam benak saya berhenti di persoalan "Seperti apa rupa Gambir sebelum terjamah pembangunan dan menjelma sebagai kawasan pusat pemerintahan?" Mungkin saja macan dan buaya masih menjadi jagoan sekitar yang disegani oleh semua makhluk.
Membayangkan ada sebuah villa di kawasan ini, bisa dipastikan kalau Gambir jauh dari paparan polusi.
Foto aerial rangkaian kereta rel listrik Commuter Line melaju di Stasiun Gambir dengan latar belakang deretan gedung bertingkat di Jakarta. (ANTARA FOTO/Andika Wahyu) |
19.00 - Bakmi Roxy
Setelah cukup lelah berjalan kaki di kawasan Gambir, saya memutuskan untuk makan di Bakmi Roxy di Jalan Sabang.
Meskipun terkenal sebagai pusat sate dan nasi goreng, tapi saya tidak terlalu menyukai kedua makanan itu kecuali jika terpaksa.
Bakmi Roxy berada persis di seberang Saudagar Kopi, setelah melewati kepulan asap yag dihasilkan oleh beberapa gerobak sate akhirnya saya bisa tiba di Bakmi Roxy dengan sedikit aroma daging ayam dan kambing terpanggang.
Saya memesan seporsi kwetiaw pangsit dan bakso sapi kuah. Saya tidak merasakan ada yang istimewa di tempat ini, sebenarnya setelah melihat tekstur bakso saya agak sedikit berharap terhadap rasanya namun pada akhirnya tidak memenuhi ekspektasi.
20.00 - Memories Cafe
Perjalanan hari ini saya akhiri di Memories Cafe, yang tadi siang saya kunjungi untuk makan siang. Namun malam itu hanya terlihat satu orang WNA saja, sisanya wajah-wajah lokal.
Hanya ada sekitar 10 orang di tempat itu. Saya beruntung bisa bertemu dengan pemilik Memories cafe dan bercerita panjang lebar tentang sejarah jalan jaksa hingga persoalan politik.
Dua botol bir ukuran besar pun kandas sebagai pengiring obrolan kami. Lagu 'Hotel California' milik Eagles mengiringi langkah kaki saya keluar dari kafe tertua di Jalan Jaksa itu.
 Ruangan bagian dalam Memories Cafe. (CNN Indonesia/Safir Makki) |