Destinasi wisata bahari Alor juga diminati wisatawan, baik domestik maupun wisatawan mancanegara.
Pulau Alor memiliki sejumlah spot selam terbaik, seperti Half Moon Bay dan Crocodile Rock.
Namun, keindahan Pulau Alor tidak sebatas pada dunia bawah lautnya saja. Alor juga memiliki warisan kebudayaan leluhur yang unik, yang mungkin tidak ditemukan di belahan dunia lain.
Warisan kebudayaan dalam bentuk adat istiadat ini menjadikan Alor lebih dulu dikenal wisatawan dengan sebutan pulau yang memiliki sebuah kampung dengan aktifitas kehidupan tradisional.
Aktifitas tersebut hingga kini bisa kita jumpai pada sebuah kampung budaya bernama Kampung Takpala.
Kampung Takpala mulai dikenal sejak tahun 1973, ketika seorang wisatawan asal Belanda menampilkan foto-foto tentang kehidupan tradisional warga kampung tersebut pada sebuah kalender.
Sejak saat itu, kampung Takpala tak pernah sepi pengunjung. Kebanyakan yang datang ialah wisatawan pecinta sejarah dan budaya.
Pada tahun 1980, kampung ini meraih juara II pada ajang Desa Tradisional di Indonesia. Selanjutnya, pada tahun 1983 Pemerintah Kabupaten Alor menjadikan Kampung Takpala sebagai ikon pariwisata.
"Saat ini Kampung Takpala oleh 13 Kepala Keluarga warga dari Suku Abui. Suku Abui yang artinya orang gunung ini, merupakan suku terbesar di Alor," kata Kadis Pariwisata Alor Ati Obidje, seperti yang dikutip dari ANTARA pada Selasa (2/8).
Pada mulanya, suku ini tinggal di daerah pedalaman wilayah pegunungan Alor. Kemudian mereka dipindahkan ke area perbukitan agar memudahkan kegiatan pemungutan pajak yang dilakukan oleh petugas kerajaan yang diperintah raja Alor pada saat itu.
Kata Takpala sendiri berasal dari kata 'tak' dan 'pala'.
Kata 'tak' berarti 'ada batas' dan kata 'pala' berarti 'kayu', sehingga kata Takpala diartikan "kayu pembatas".
Rumah adat Takpala
Untuk menjangkau kampung ini tidaklah sulit.
Kampung Adat Takpala terletak di dusun III Kamengtaha, Desa Lembur Barat, Kecamatan Alor Tengah Utara, Kabupaten Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Jika ditempuh melalui Bandar Udara Mali, hanya butuh waktu sekisar 15 menit perjalanan, dan 25 menit jika ditempuh dari Kalabahi, pusat kota Kabupaten Alor dengan menggunakan kendaraan roda dua atau empat.
Rute perjalanan menuju Kampung Takpala yaitu menyusuri jalur pesisir pantai dengan menawarkan pemandangan hamparan laut biru yang menawan dan mengagumkan.
Warga Kampung Takpala mendiami 13 rumah adat Fala Foka, sebutan rumah adat panggung berbentuk limas, beratapkan alang-alang, berdinding dan berlantaikan anyaman bambu yang ditopang oleh empat buah kayu merah yang kokoh.
Rumah adat ini terbilang unik, karena terdapat empat tingkatan di dalam tiap rumah adat ini. Tingkat pertama, atau yang biasa disebut Liktaha, adalah tempat untuk menerima tamu atau berkumpul bersama.
Tingkat dua, biasa disebut Fala Homi, yakni ruang tidur dan ruang untuk masak.
Tingkat tiga adalah Akui Foka yakni tempat untuk menyimpan cadangan bahan makanan, seperti jagung dan ubi kayu.
Sementara tingkatan paling atas disebut Akui Kiding, yakni tempat untuk menyimpan mahar dan barang berharga seperti Moko.
Moko merupakan barang berharga di Pulau Alor, terbuat dari tembikar dan biasanya digunakan sebagai belis atau mahar perkawinan.
Satu buah Moko bernilai sangat fantastis, sehingga sering dikatakan satu buah Moko mampu meminang tiga orang anak gadis.
Di antara 13 rumah Fala Foka, terdapat dua rumah adat yang memiliki ukuran sedikit lebih kecil.
Meski memiliki ukuran lebih kecil, dua rumah adat yang biasa disebut Lopo ini memiliki tingkat kesucian lebih tinggi dibandingkan rumah Fala Foka.
Dari segi bentuk, rumah Lopo memiliki dinding yang terbuat dari anyaman bambu dengan ditopang oleh enam buah kayu merah.
Pada atap rumah terdapat sebuah mahkota yang menandai kesakralan dua bangunan ini. Rumah Lopo memiliki dua jenis, yakni Kolwat dan Kanuruat.
Perlakuan terhadap dua rumah adat ini juga pun berbeda.
Kolwat yang memiliki arti perempuan, memiliki ciri dinding didominasi oleh warna putih dan bisa dimasuki oleh semua warga kampung.
Sementara Kanuruat yang memiliki arti laki-laki, berdinding corak kehitaman dan hanya bisa dimasuki oleh orang tertentu saja seperti tetua adat.
Setiap satu tahun sekali, pintu rumah Kanuruat akan dibuka untuk kepentingan ritual adat dan hanya bisa dibuka oleh tetua adat melalui proses ritual adat pula.
Di depan rumah adat Kolwat dan Kanuruat, terdapat sebuah susunan batu yang dibuat melingkar yang biasa digunakan untuk menyimpan benda-benda sakral seperti Moko, Gong atau peralatan berburu saat melakukan ritual adat.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
[Gambas:Photo CNN]
[Gambas:Infografis CNN]
Cara berkunjung ke kampung Takpala
Rutinitas keseharian warga kampung ini bagi pria adalah berladang serta berburu.
Sementara kaum perempuan, khususnya ibu-ibu, akan menenun dan membuat kerajinan tangan seperti kalung, gelang, cincin yang terbuat dari kenari hutan, biji lamtoro, akar bahar, serta tas yang terbuat dari anyaman bambu yang disebut Fu'ulak dan Kamol.
Tas Fu'ulak merupakan tas bagi wanita yang berbentuk persegi panjang, sementara Tas Kamol untuk pria berbentuk persegi empat yang terbuat dari anyaman bambu.
Kedua jenis tas ini biasa digunakan untuk menyimpan uang atau sirih pinang. Hasil kerajinan tangan ini biasanya akan dijual kepada wisatawan yang berkunjung dengan harga yang bervariasi.
Selain menikmati kehidupan tradisional, posisi Kampung Takpala yang berada di atas bukit akan memberikan wisatawan panorama keindahan alam pesisir Pulau Alor yang indah, berikut suasana teduh dan sejuk dari perkampungan yang rimbun pepohonan ini.
Tarian Lego Lego menjadi penyambutan wisatawan yang datang ke kampung Takpala, jika sebelumnya telah menginformasikan jadwal kedatangan kepada tetua adat.
Saat pementasan tarian ini, semua penghuni kampung akan mengenakan pakaian adat yang disertai dengan ornamen, seperti panah dan busur serta parang bagi pria, dan tas fuulak serta gelang pada kedua kaki bagi wanita.
Ati menambahkan, ada hal menarik ketika wisatawan berkunjung ke kampung Takpala, karena wisatawan diperbolehkan untuk berfoto dengan menggunakan pakaian adat beserta dengan setiap atribut yang dimiliki.
Ada biayanya, tetapi itu tergantung kesepakatan antara wisatawan dengan pemilik pakaian.
Ati menceritakan, saat menyambut wisatawan biasanya jenis tarian yang digunakan adalah tarian Lego Luh, dilanjutkan dengan tarian perang yang disebut Lego Cakalele Dokak yang diperagakan dua pria dewasa sambil memegang busur dan anak panah serta pedang yang seolah-olah hendak bertarung.
Saat tarian penutup yang dilakukan oleh seluruh anggota keluarga, wisatawan akan diijinkan untuk bergabung dalam tarian ini sambil bergandengan tangan berputar mengelilingi Batu Mesbah.
Di tengah pandemi virus Corona, perjalanan wisata masih dikategorikan sebagai perjalanan bukan darurat, sehingga sebaiknya tidak dilakukan demi mencegah penyebaran dan penularan Covid-19, terutama di daerah yang masih minim fasilitas kesehatannya.
Jika hendak melakukan perjalanan antarkota atau antarnegara, jangan lupa menaati protokol kesehatan pencegahan virus Corona, dengan mengenakan masker, mencuci tangan, serta menjaga jarak fisik antarpengunjung. Jangan datang saat sakit dan pulang dalam keadaan sakit.
[Gambas:Photo CNN]
[Gambas:Infografis CNN]