Jakarta, CNN Indonesia --
Masa kehamilan rasanya berjalan sempurna. Pemeriksaan rutin tidak menunjukkan tanda-tanda bahaya. Namun belum sampai usia kandungan 37 minggu atau 9 bulan, bayi terpaksa dilahirkan karena ibu mengalami preeklamsia.
Gangguan kehamilan ini bisa membunuh ibu dan juga janin yang dikandungnya. Preeklamsia menyumbang 76ribu kematian ibu dan kematian 500ribu janin di dunia tiap tahun.
Apa itu preeklamsia?
"Preeklamsia itu tekanan darah tinggi pada wanita hamil. Jadi hipertensi yang baru muncul setelah dia hamil di atas 20 minggu," jelas Aditya Kusuma, dokter spesialis kandungan di RSIA Bunda Menteng, saat sesi diskusi bersama Roche, Selasa (12/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Preeklamsia berasal dari kata bahasa Yunani 'eclampsia' yang berarti petir. Aditya berkata ini menggambarkan preklamsia yang datang tiba-tiba dan tidak bisa diprediksi sebelumnya karena semua dianggap baik-baik saja.
Selama kehamilan, pengecekan tekanan darah menunjukkan hasil baik, namun di pertengahan atau jelang akhir masa kehamilan tekanan darah mendadak tinggi. Preeklamsia bisa muncul sebelum atau sesudah 34 minggu usia kandungan. Konsekuensinya memang terbilang lebih besar saat preeklamsia muncul di usia kandungan sebelum 34 minggu.
"Riset kami di RS Harapan Kita terhadap 2 ribu wanita, 83 persen preeklamsia terjadi [saat usia kehamilan] di atas 37 minggu. Yang jarang sebelum 34 minggu, ini 1,2 persen. Konsekuensinya jauh lebih besar di awal. Tapi tetap saja preeklamsia entah itu dini atau lambat, konsekuensinya tidak ringan," imbuhnya.
Kenapa ibu hamil bisa mengalami preeklamsia?
Menilik teori lawas, preeklamsia dihubungkan dengan plasenta. Melansir dari Mayo Clinic, di awal kehamilan ada pembuluh darah baru yang berkembang dan berevolusi untuk mengalirkan darah ke plasenta secara efisien. Namun pada wanita preeklamsia, pembuluh darah tidak berkembang sehingga jumlah darah yang mengalir terbatas.
Akan tetapi, Aditya mengatakan teori ini tidak lagi dipakai. Dalam beberapa tahun terakhir ini preeklamsia tidak lagi dianggap masalah plasenta, tetapi disfungsi jantung atau penurunan fungsi jantung ibu hamil.
Selain itu, ada sejumlah faktor yang meningkatkan risiko preeklamsia antara lain:
- Kehamilan pertama,
- Riwayat tekanan darah tinggi atau mengalami preeklamsia pada kehamilan sebelumnya,
- Riwayat keluarga, ibu atau saudara perempuan pernah preeklamsia,
- Ibu hamil berusia di bawah 20 tahun atau di atas 35 tahun,
- Kehamilan kembar,
- Penyakit penyerta misal, gangguan ginjal, hipertensi, darah terlalu kental, autoimun, lupus,
- Berat badan ibu sebelum hamil tidak ideal (overweight) atau obesitas.
Gejala preeklamsia
Preeklamsia memiliki spektrum luas mulai dari tanpa gejala hingga gejala berat. Menurut Aditya, sebanyak 80 persen kasus preeklamsia tidak menunjukkan gejala. Hasil cek tensi terakhir bagus, ibu tidak mengalami keluhan berarti tetapi tiba-tiba tekanan darah meroket bak 'silent killer'.
Sedangkan pada kasus dengan gejala, hingga kini belum ada kategori pasti gejala ringan sampai berat. Namun umumnya gejala preeklamsia antara lain sebagai berikut.
1. Sakit kepala
2. Pandangan kabur
3. Tekanan darah tinggi
4. Kenaikan berat badan lebih cepat
5. Protein dalam urine
6. Bengkak pada tangan dan kaki berlebihan
Apa yang bisa dilakukan?
Preeklamsia hingga kini belum ditemukan terapi definitif. Jika ingin menurunkan tekanan darah, bayi harus dilahirkan. Aditya menurunkan ini kerap menimbulkan keraguan di kalangan tenaga medis.
"Yang repot itu [preeklamsia] sebelum 9 bulan, kalau dilahirkan, bayinya prematur. Ada keraguan di klinis untuk memastikan waktu yang tepat [untuk dilahirkan] mau saat ini atau ditunda. Ditunda itu harapannya memberikan waktu biar bayinya lebih sehat. Di sisi lain ada risiko ke ibu," jelasnya.
Melihat risiko preeklamsia
Preeklamsia menyumbang 76ribu kematian ibu dan kematian 500ribu janin di dunia tiap tahun. Aditya menambahkan laporan Riskesdas 2010 menunjukkan ada 32 persen kematian ibu akibat hipertensi dan sebanyak 20 persen akibat pendarahan.
Preeklamsia pun memberikan aneka konsekuensi pada ibu maupun bayi, yakni:
1. Kelahiran prematur
Karena tekanan darah ibu tinggi, bayi terpaksa dilahirkan sebelum waktunya atau prematur. Bayi yang lahir prematur membawa konsekuensi baik jangka pendek maupun jangka panjang. Saat bayi bisa bertahan hidup, risiko jangka panjang biasanya menyangkut kondisi kesehatan anak ke depan di usia 30-40 tahun.
2. Kematian janin
Preeklamsia bisa merenggut nyawa bayi sehingga kondisi ini tidak hanya menyangkut ibu.
3. Berat badan lahir rendah
Bayi tidak memiliki kesempatan lebih lama di rahim sehingga lahir dalam kondisi berat badan kurang. Konsekuensi jangka pendek, tentu bayi harus dirawat intensif (NICU). Kemudian jangka panjang, ada risiko mengalami diabetes, obesitas atau kelainan kardiovaskular.
4. Solusio plasenta
Solusio plasenta artinya plasenta lepas sebelum waktunya. Normalnya, plasenta lepas setelah bayi lahir. Namun karena preeklamsia, plasenta lepas sebelum waktunya dan ini bisa berbahaya buat janin. Solusio plasenta juga berisiko menimbulkan pendarahan hebat pada ibu.
5. Eklamsia (kejang)
Ibu bisa mengalami kejang sehingga harus menjalani perawatan intensif.
Deteksi dini lewat biomarker sFlt-1 dan PlGF
Preeklamsia memang sulit diprediksi. Namun perkembangan riset dan teknologi di dunia medis kini memungkinkan Anda mendeteksi preeklamsia lebih awal. Solusi terbaik saat ini adalah dengan mengecek biomarker sFlt-1 (soluble fms-like tyrosine kinase 1) dan PlGF (placental growth factor).
Sebelumnya, lanjut Aditya, preeklamsia ditandai dengan tiga variabel yakni bengkak pada tangan dan kaki, kandungan protein pada urin dan tekanan darah tinggi. Seiring perkembangan riset, bengkak dan protein pada urin tidak lagi dimasukkan dalam variabel.
Bengkak pada tangan dan kaki bisa dialami ibu dengan preeklamsia maupun tidak sehingga variabel tidak spesifik. Ini juga terjadi pada protein urine.
"Kalau ada protein pada urin, itu belum tentu preeklamsia. Bisa jadi infeksi saluran kencing (ISK) dan ada protein di urin. Kalau pun protein negatif (tidak ditemukan protein pada urin), belum tentu negatif preeklamsia. Ada keadaan tensi ibu sudah tinggi, sudah preeklamsia, tapi protein negatif," jelasnya.
Biomarker sFlt-1 dan PlGF saat ini jadi standar emas deteksi dini preeklamsia. Ibu hamil dianjurkan untuk mendeteksi kemungkinan preeklamsia di usia kandungan 11-13 minggu atau bisa dilakukan di trimester 2 dan 3. Aditya berkata tes ini dilakukan layaknya tes darah pada umumnya.
Preeklamsia dideteksi dari perubahan kadar protein angiogenik sFlt-1 dan PlGF sebelum gejala preeklamsia terjadi. Rasio sFlt-1/PlGF kemudian digunakan untuk memprediksi dan mendiagnosis preeklamsia.
- Rasio >85: pathologic, preeklamsia atau disfungsi plasenta lainnya sangat mungkin terjadi.
- Rasio 38-85: intermediate, peningkatan risiko mengembangkan disfungsi plasenta dalam waktu 4 minggu.
- Rasio
Studi pada 2018 menemukan upaya pemeriksaan ini ternyata mampu menurunkan biaya kesehatan. Saat tidak ditemukan risiko preeklamsia, ibu tidak perlu dirawat berlebihan (over treatment) dan mengeluarkan biaya yang tidak seharusnya. Kemudian jika ditemukan prediksi preeklamsia, bisa ditindaklanjuti dengan menurunkan risiko preeklamsia dengan pemberian aspirin. Studi lain menunjukkan pemberian aspirin bisa menurunkan kejadian preeklamsia hingga 90 persen.
Di samping deteksi dini, upaya-upaya lain yang bisa dilakukan ibu adalah menjaga gaya hidup tetap sehat. Karena preeklamsia berkaitan dengan kardiovaskular khususnya jantung, Aditya menyarankan untuk selalu menjaga kesehatan jantung.
"Gaya hidup seperti apa [untuk memperkecil risiko preeklamsia]? Sama kayak kalau kita mau jantung kita sehat misal, olahraga, membiasakan diri makan selektif, makan bukan hanya jenis makanan tapi how atau gimana makanan diolah, when atau kapan makannya, how much atau seberapa banyak juga," katanya.