Jakarta, CNN Indonesia --
Tak hanya di Indonesia, kecemasan pelaku bisnis pariwisata mengenai konsep pariwisata premium juga ikut melanda Thailand, yang juga dikenal sebagai destinasi wisata murah, khususnya untuk kalangan backpackers.
Keresahan mengenai ide konsep wisata premium yang dicetuskan pemerintah Negara Gajah Putih pada beberapa pekan lalu dialami pelaku bisnis wisata di kota Chiang Mai.
Kota Tua di Chiang Mai Thailand adalah gang-gang dengan kuil Buddha kuno yang berdiri berdampingan dengan wisma dan hotel mewah, bar dan restoran, dan bisnis lain yang melayani jutaan turis yang biasanya berduyun-duyun ke sana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sekarang, sejumlah bisnis ini tutup, dan bar sebagian besar sepi di tengah larangan penjualan alkohol untuk mengekang penyebaran virus corona di negara Asia Tenggara yang sebagian besar ditutup untuk turis asing sejak Maret 2020.
Mulai 1 November, Thailand akan membebaskan karantina untuk pengunjung yang divaksinasi penuh dari 10 negara berisiko rendah dan secara bertahap lebih banyak, dalam upaya untuk menghidupkan kembali ekonominya yang terpukul - berikut dengan fokus pada wisatawan premium yang menurut pihak berwenang akan lebih bermanfaat.
"Daripada mengandalkan 40 juta wisatawan untuk menghasilkan pendapatan 2 triliun baht (sekitar Rp859 triliun), kami akan beralih fokus pada wisatawan berkualitas yang mampu belanja lebih banyak," kata Supattanapong Punmeechaow, wakil perdana menteri dan menteri energi.
"Ini akan baik untuk lingkungan dan sumber daya alam negara," katanya pada konferensi pers, menambahkan bahwa negara berharap untuk menarik sekitar 1 juta pengunjung sebelum April, tanpa menentukan bagaimana, atau siapa wisatawan yang masuk dalam kategori berkualitas.
Setelah rekor 40 juta pengunjung asing pada 2019 yang pengeluarannya mencapai 11,4 persen dari produk domestik bruto, Thailand kehilangan sekitar US$50 miliar (sekitar Rp712 triliun) dalam pendapatan pariwisata tahun lalu - penurunan 82 persen - dan hanya mengharapkan sekitar 100 ribu wisatawan tahun ini.
Tetapi ketika negara itu bersiap untuk buka kembali untuk musim ramai turis dari November hingga Maret, hotel murah dan bisnis lain yang bergantung pada backpacker dan mereka yang bepergian dengan harga murah takut ditinggalkan dengan fokus baru pada turis premium.
"Chiang Mai selalu mendapatkan semua jenis turis, jadi fokus hanya pada turis dengan pengeluaran tinggi tidak tepat - bagaimana dengan kita, bisnis yang melayani kalangan lain," kata Rachana, seorang manajer guesthouse di Kota Tua.
"Semua bisnis harus memiliki peluang yang sama ketika kami membuka kembali," katanya kepada Thomson Reuters Foundation.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Menggagas ulang pariwisata
Pandemi corona menghentikan penerbangan dan menutup bisnis di seluruh dunia, dan telah mendorong pihak berwenang dari Amsterdam ke Bali untuk menjanjikan model wisata yang lebih berkelanjutan, yang tidak terlalu bergantung pada pariwisata massal yang telah merusak lingkungan dan membuat marah penduduk setempat.
Di Bali, yang dibuka kembali pekan lalu untuk pengunjung dari sekitar 20 negara dengan karantina lima hari, pihak berwenang akan lebih selektif, kata Luhut Pandjaitan, menteri koordinator urusan maritim dan investasi, yang mengawasi pembukaan gerbang internasional.
"Kami akan menyaring wisatawan," katanya kepada wartawan. "Kita tidak mau backpacker datang agar Bali tetap bersih, di mana orang yang datang harus berkualitas."
Pulau yang terkenal dengan pantai berpasir dan kuil-kuil Hindu, menerima lebih dari 6 juta pengunjung pada tahun 2019 dan bergantung pada pariwisata untuk lebih dari setengah pendapatannya.
Tetapi muncul reaksi dari kalangan wisatawan, termasuk apa yang disebut digital nomad (pengembara digital), yang telah dibujuk datang oleh banyak negara untuk menutupi lesunya pariwisata.
Awal tahun ini, seorang warga Amerika dideportasi dari Bali setelah mengunggah cuitan di Twitter yang memicu reaksi keras atas "hak istimewa orang Barat" yang dia rasakan dan kurangnya kesadaran akan budaya Indonesia.
Sekarang, persyaratan visa termasuk penjamin dan asuransi kesehatan yang besar, dapat membuat para pelancong dengan anggaran terbatas dan "menghabisi" usaha kecil di pulau itu, kata Nyoman Sukma Arida, dosen pariwisata di Universitas Udayana di Bali.
"Pertama-tama kita harus mengklarifikasi arti pariwisata premium dan pariwisata berkualitas: pemahaman pemerintah kita tentang pariwisata berkualitas hanyalah seseorang yang membayar harga tinggi," katanya.
"Tapi wisatawan yang berkualitas adalah mereka yang peduli dengan pelestarian lingkungan, menghormati budaya lokal dan masyarakat lokal. Ini persyaratan sekarang - bukan hanya uang," tambahnya.
Artikel ini masih berlanjut ke halaman berikutnya...
Turis bujet lebih royal
Hampir setiap negara memberlakukan pembatasan perbatasan untuk memerangi penyebaran corona, dan perbedaan besar dalam peluncuran vaksin telah menyebabkan strategi pembukaan kembali yang berbeda.
Di Thailand, yang membuka pulau Phuket untuk turis mulai 1 Juli dengan beberapa pembatasan karantina, ada kritik terhadap program vaksin pemerintah yang awalnya memprioritaskan provinsi yang bergantung pada pariwisata.
Sekarang, pemerintah berencana untuk mempromosikan Phuket ke turis "berkualitas tinggi" saat membuka kembali negara itu pada 1 November, bahkan ketika mayoritas warga Thailand menentang pembukaan tersebut, dengan mengatakan itu terlalu berisiko dengan hanya sekitar sepertiga dari populasi yang divaksinasi sepenuhnya.
Penundaan pembukaan adalah "kesempatan sekali seumur hidup" untuk memikirkan kembali pariwisata, tetapi konsep Thailand dan Indonesia untuk membuka kembali "tidak menunjukkan mereka berencana untuk melanjutkan pembicaraan mereka," kata Stuart McDonald, pendiri dari situs perjalanan Asia Tenggara Couchfish.
Dalam memprioritaskan apa yang disebut turis premium, pihak berwenang secara keliru menyamakan kualitas dengan pengeluaran yang lebih tinggi dan dampak lingkungan yang terbatas, katanya.
"Tentu saja masuk akal bahwa suatu negara harus fokus pada wisatawan berkualitas, tetapi itu tidak harus berarti wisatawan dengan pengeluaran besar. Pariwisata kelas atas sejauh ini memiliki dampak lingkungan tertinggi, dan paling rentan terhadap kekacauan ekonomi," kata McDonald.
"Sementara pelancong dengan anggaran terbatas sering kali bisa jadi memulihkan angka kunjungan, menempatkan uang langsung ke tangan bisnis kecil dan menengah yang dimiliki dan dikelola secara lokal. Mereka juga cenderung bepergian jauh lebih sering, dan tinggal lebih lama di sebuah destinasi."
Di Chiang Mai, ketiadaan wisatawan paling terlihat di malam hari, dengan hanya beberapa etalase toko yang menyala, dan tidak ada hiruk pikuk yang biasanya memenuhi kota bahkan di luar musim turis.
"Kami tidak tahu apa yang diharapkan - apakah turis reguler masih akan datang," kata Rachana di wismanya yang mengiklankan penurunan tarif tetapi hampir kosong.
"Bagus jika turis menghabiskan banyak uang. Tapi kami ingin semua jenis turis datang, karena kami sudah sangat menderita."