SUDUT CERITA

Berjuang Bersama si Buah Hati di Kamar Isolasi

CNN Indonesia
Jumat, 25 Des 2020 14:46 WIB
Menjalani masa isolasi sebagai pasien Covid-19 sambil mengurus anak bukan hal mudah bagi seorang ibu. Energi harus dibagi, untuk diri sendiri dan si buah hati.
Ilustrasi. Menjalani masa isolasi sebagai pasien Covid-19 sambil mengurus anak bukan hal mudah bagi seorang ibu. (iStockphoto/logolis)
Jakarta, CNN Indonesia --

Gandari menghela napas lega. Bunyi 'haahh..' keluar dari mulutnya. Puan, si buah hati yang baru berusia satu tahun, akhirnya bisa tertidur lelap meski dengan infus yang masih terpasang di tangan. Bayi kecil itu tertidur lelap setelah seharian tantrum tak henti-henti.

"Sehari itu, dia [Puan] bisa berkali-kali tantrum," ujar Gandari (32) pada CNNIndonesia.com, Selasa (22/12).

Terang saja Puan tantrum sampai berkali-kali. Dia mengamuk, kaget dengan kondisi dan suasana baru yang dihadapinya saat itu sebagai salah satu pasien positif Covid-19. Tangannya mendadak harus dimasuki jarum infus yang membuatnya tak nyaman bukan main.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Puan menjalani masa isolasi selama 12 hari bersama Gandari yang juga dinyatakan positif terinfeksi virus corona penyebab Covid-19 di sebuah rumah sakit swasta di Kota Bandung. Gandari sekeluarga, bersama juga sang suami, dinyatakan positif terinfeksi pada medio November lalu. Puan ditempatkan di kamar yang sama bersama Gandari, sementara sang suami dirawat di kamar yang berbeda.

Segala rasa campur aduk di dalam hati. Kecewa rasanya.

Gandari dan Puan tertular dari sang suami yang kebetulan harus menghadiri acara kantor di Jakarta selama lima hari. Seminggu setelah kembali dari Jakarta, sang suami mulai mengalami demam dan batuk. Dua hari setelahnya, berganti Gandari yang mengalami demam tinggi hingga 38 derajat Celcius. Sesekali juga Gandari merasakan sesak di dada hingga indera perasa yang menghilang. "Makan nasi Padang, tuh, rasanya kayak makan besi," katanya.

Singkat cerita, ketiganya lalu dinyatakan positif dan menjalani perawatan di rumah sakit.

"Enggak nyangka. Udah selama ini enggak ke mana-mana, sekalinya [suami] keluar, justru positif. Kesal juga, kok, bisa sih? Takut juga sama stigmanya [jadi pasien Covid-19]," ujar Gandari berkeluh.

Gandari jelas merasa kecewa. Rasa kecewa itu bercampur dengan rasa takutnya yang bukan main. "Takut mati," katanya. Butuh waktu beberapa hari bagi Gandari untuk akhirnya bangkit dari rasa terpuruk dan menerima kondisinya sebagai pasien positif Covid-19 bersama keluarga.

"Saya, sih, mikirnya ini harus dijalani, mau enggak mau. Apalagi ada anak yang jadi tanggung jawab juga. Kalau saya terus terpuruk, gimana sama Puan yang membutuhkan bantuan saya buat sembuh?"

Ya, Puan jelas menjadi salah satu tanggung jawab terbesar Gandari saat itu. Bayi kecil yang tak tahu apa-apa harus tersiksa karena kesalahan orang tuanya yang tak terlalu sigap. "Ngerasa bersalah. Apalagi anak umur segini belum punya pilihan," katanya.

Ilustrasi bayiIlustrasi. Menjalani masa isolasi sambil mengurus anak bukan perkara mudah bagi Gandari. (morgueFile/idahoeditor)

Gandari merasa bersalah karena tak sigap saat suaminya kembali ke Jakarta. Dia tak sigap untuk langsung memisahkan diri dan Puan dari suami untuk sementara waktu, sebagaimana yang dianjurkan dalam protokol kesehatan. "Itu, sih, yang saya sesali."

Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Gandari tak punya lorong waktu untuk kembali ke waktu sebelumnya untuk mengubah nasib. Mau tak mau, apa yang terjadi saat ini harus dihadapi, termasuk membagi energinya untuk dirinya sendiri dan si kecil Puan di masa isolasi.

Tak ayal, masa isolasi Gandari pun dihabiskan dengan mengurus Puan. Puan tak boleh sampai tak terurus, meski Gandari sendiri harus berjuang melawan penyakitnya, atau meski Gandari juga merasa stres dengan kondisi yang dihadapinya saat itu.

Selayaknya bayi, Puan mengalami tantrum sampai berkali-kali. Dua malam pertama di rumah sakit, bagi Gandari, terasa seperti mimpi buruk. Puan mengamuk, menangis, kakinya menendang-nendang ke segala arah. "Biasanya enggak pernah gitu," kata dia.

Dalam satu hari, Puan rata-rata mengalami tantrum dua sampai tiga kali dengan durasi 30 menit dalam setiap periode tantrumnya. Puan tampaknya kaget dengan suasana barunya.

"Saya tinggal buang air kecil, [Puan] nangis. Saya tidur, nangis. Pegal meganginnya," kata Gandari.

Gandari menduga, mungkin Puan stres akibat pemasangan infus di tangannya. Sebagaimana diketahui, pemasangan infus pada bayi lebih sulit dibandingkan orang dewasa karena pembuluh darahnya yang masih kecil.

"Jadi, itu, tuh, udah tusuk-tusuk berapa kali pas pasang [infus]. Belum lagi pengambilan darah. Ya, jelas Puan takut," kata Gandari.

Siang hari adalah saatnya periode stres Gandari memuncak. Saat energi mulai menurun di siang hari, ditambah udara panas di kamar isolasi, membuat kepala Gandari rasanya mau pecah saat Puan mengamuk.

"Kalau di rumah dia [Puan] nangis-nangis gitu, biasanya diemin aja. Tapi, kan, enggak mungkin di rumah sakit begitu juga. Banyak pasien lain [di kamar] yang lagi istirahat," kata Gandari.

Saat Puan mengamuk, Gandari mencari segala cara untuk menenangkannya. Selain menggendong dan memeluknya, Gandari juga berusaha berkomunikasi dengan Puan. 'Ibu ngerti ade marah, ya. Kesal, ya, tiba-tiba kayak gini. Boleh marah, tapi jangan nendang sama mukul, ya. Ibu temenin sampai lega.' Kalimat itu keluar dari mulut Gandari secara berulang setiap Puan mengamuk. Meski tak selalu berhasil, tapi Gandari tetap berusaha sabar. Gandari percaya pada kekuatan komunikasi antara ibu dan anak.

Ilustrasi Bayi dan IbuDalam kondisi isolasi, anak kerap kali mengalami tantrum. (hepatocyte/Pixabay)

Jika sudah tak tahan, Gandari memberikan video-video YouTube untuk Puan, meski sesungguhnya sedikit merasa tak rela. Mau tak mau, masa isolasi dan tantrumnya Puan, membuat Gandari menurunkan sedikit idealismenya. Di rumah, Gandari terbilang sangat jarang memberikan siaran video YouTube untuk si kecil. "Idealisme saya di rumah enggak bisa, tuh, dibawa ke RS. Jadi, try to be woles [santai] aja," katanya.

Gandari juga kerap memberikan beberapa kalimat afirmasi pada Puan. 'Ini, kan, lagi sakit. Jadi enggak bisa jalan-jalan dan lari-lari dulu, ya.' Begitu bunyi kalimat yang selalu dibisikkan Gandari. "Mengatasi kebosanan anak itu yang susah," katanya.

Selama masa isolasi, Gandari benar-benar mengurus Puan seorang diri. Di rumah sakit tempatnya dirawat, Gandari bukan pasien prioritas. Tak ada perawat yang berjaga di kamar isolasinya. Suami juga tak ada di samping Gandari. Alhasil, semua harus dilakukan seorang diri.

Sejujurnya, Gandari sedikit merasa cemburu pada sang suami yang bisa menjalani masa isolasi dengan tenang. Saat sang suami bisa beristirahat untuk melawan penyakitnya, Gandari justru sibuk menenangkan Puan yang kerap mengamuk.

"Stres terbesar karena enggak ada backup ngurus anak, sih. Agak cemburu dengan suami yang bisa istirahat dengan tenang. Saya, kalau mau istirahat, ya, susah, kan," keluh Gandari.

Gandari hanya bisa berusaha untuk menguatkan diri. "Saya? Ya, sok harus kuat," katanya.

Bagi Gandari, siapa lagi yang bisa membantunya jika bukan dirinya sendiri. Gandari sadar bahwa dirinya harus tetap kuat demi kesembuhan si buah hati yang masih membutuhkan bantuannya. "Kasihan juga anak ini, enggak tahu apa-apa, kena [Covid-19] dari orang tuanya," katanya.

Gandari juga mencoba berpikir positif bahwa setidaknya dirinya masih dikasih kesempatan mengurus langsung si buah hati. "Mungkin kalau [Gandari dan Puan] pisah ruang, saya bakal lebih stres," katanya. Rasa lelah dan stres memang tak bisa ditolak selama masa isolasi. Tapi, setidaknya Gandari bersyukur karena dia masih bisa mengurus dan melihat Puan kecilnya yang menggemaskan setiap hari.

Tidur siang di saat Puan terlelap dan mandi di malam hari jadi metode pelepasan stres yang dimiliki Gandari selama masa isolasi. "Meski ribet [mandi] pakai infus, tapi bantu banget buat stress release. Jadi pas mandi dan keramas, tuh, kayak ada beban yang terangkat," katanya.

Dua belas hari sudah Gandari habiskan waktu bersama Puan di dalam kamar isolasi. Rasa lega begitu bermekaran saat dokter menyampaikan bahwa Gandari sekeluarga sudah diperbolehkan pulang. "Selama 12 hari isolasi di rumah sakit itu nyiksa banget," katanya.

Kini, Gandari sekeluarga mulai kembali ke kehidupan biasanya di apartemen studionya di bilangan Ciumbuleuit, Bandung. Tapi, untuk sementara waktu, Gandari tak mau keluar rumah. Menjalani masa isolasi di rumah sakit sebagai salah satu pasien Covid-19 agaknya menimbulkan sedikit trauma baginya.

"Nanti, deh, coba [pergi] keluar lagi, kalau udah siap mental," pungkas Gandari.

(asr)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER