Jakarta, CNN Indonesia --
Panggil saja saya Isya (bukan nama sebenarnya), seorang karyawan swasta yang merasakan pusingnya punya kantor yang saya sebut super toxic.
Semua bermula pada dua tahun lalu ketika seorang teman menawarkan pekerjaan tersebut pada saya untuk menjadi kepala bagian. Usai pikir panjang dan menimbang matang-matang, saya ambil tawaran tersebut.
Di bulan-bulan pertama saya masih merasakan bahagianya kantor baru, meski saat itu saya sedikit banyak mulai merasakan ada hal-hal ganjil di sana. Dimulai dari rekan-rekan kerja yang perlahan bisik-bisik tetangga membicarakan saya dan cara saja bekerja yang selalu duduk saja di depan laptop tanpa 'gerak' ke mana-mana.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ya, saya sih sadar kalau orang-orang biasanya membicarakan orang lain yang memang punya cara kerja yang berbeda dengan mereka. Tapi selama semua pekerjaan saya beres, saya tak mau ambil pusing.
Saya coba tutup kuping, tapi sialnya, ada saja teman saya yang setiap malam menelpon untuk update kehidupan kantor yang berujung pada 'eh, si A ngomongin lo, katanya bla bla bla." Ini membuat saya tak awalnya tak peduli jadi gondok sendiri tentang apa yang orang pikirkan soal saya.
Sekali, dua kali, tiga kali semua masih terkendali. Namun lama-lama omongan itu mulai menjadi-jadi. Bahkan bos saya ikut-ikutan terpengaruh. Tak jarang dia memanggil saya untuk klarifikasi masalah tersebut sampai-sampai ikut menilai saya tak bekerja. Padahal dia tahu apa yang saya kerjakan, wong semua pekerjaan dia yang kasih dan selalu saya laporkan padanya.
Saat itu saya kesal dan akhirnya menumpahkan semua unek-unek saya padanya. Mulai dari janji-janji untuk pengembangan divisi yang dulu diming-iming pada saya yang tak kunjung diwujudkan sampai soal cara kerja saya. Tapi, ucapan orang-orang sudah merasuk dan menempel di otaknya bak parasit. Dia tak mau dengar ucapan saya dan bahkan dia judge kepribadian saya.
Dia bilang saya nyolot, saya tak mau membantu orang, tak bisa kerja, saya menolak pekerjaan, kerja asal-asalan, sampai dia bilang saya harus belajar kepribadian ubah pola pikir dan belajar bicara. Saya tak habis pikir dan kebingungan, apa sih yang sudah saya lakukan sampai orang-orang bicara buruk soal saya. Kalau mau bicara data kerjaan, kerjaan saya selalu beres tepat waktu, soal bicara dan nada bicara, saya saja jarang ngobrol dengan orang-orang itu. Saya pulang kerja tepat waktu karena memang pekerjaan saya sudah selesai .
Terus terang, saya memang pernah beberapa kali nyolot tapi itu pun ada alasannya. Sesuai perjanjian awal dari kantor saat saya masuk kerja di kantor ini, saya mendapat libur di weekend. Wajar dong kalau saya mempertanyakan mengapa tiba-tiba saya harus masuk di weekend ? Dengan entengnya, HRD justru hanya bilang, 'karena kantor cabang lain begitu.'
Tapi saya tahu, itu hanya akal-akalan. Saya kenal teman-teman dengan posisi sama dengan saya di kantor cabang, dan mereka semua bilang bahwa mereka libur saat weekend. Jadi apa dasar?
Tak jarang saya juga jadi korban fitnah. Semua hal-hal yang dikomplain klien selalu disebut-sebut sebagai kesalahan saya, bahkan komplain fiktif sekalipun, dan ironisnya semua menyebar lewat gosip.
"Kamu menghadap saya sekarang karena Si A komplain, si B komplain, dan kamu harus jelaskan ke saya," bunyi pesan singkat dari bos ke saya.
"Baik pak, saya telusuri dulu kasusnya," jawab saya.
Nyatanya setelah ditelusuri kasusnya, semua bermula hanya dari masalah sepele yang dibesar-besarkan dan secara logika mereka juga tahu kalau itu bukan kesalahan saya, tapi si klien yang punya permintaan tak masuk akal. Mereka juga tahu kalau permintaan klien itu memang dilarang oleh perusahaan karena alasan keamanan.
Kompornya adalah salah satu rekan kerja saya beda divisi. Saya tak menyalahkan dia ketika bos mempertanyakan soal komplain itu. Sebaliknya saya hanya menjelaskan dan merunut kasusnya satu per satu. Tak dinyana, bos tak peduli penjelasan saya dan malah bilang kalau saya yang harus memperbaiki kesalahan tersebut. Baik, saya telan saja.
Beberapa waktu kemudian, saya kembali berusaha untuk mempertanyakan janji kantor untuk menambah rekan setim saya. Tapi dengan santainya dia bahkan bilang, tak ada budget dan bahwa dia tak pernah menjanjikan hal itu melainkan HRD yang janji.
 Foto: iStockphoto/golubovy ilustrasi kantor toxic |
Ketika komplain saya sempat mampir ke bosnya bos, dia malah bilang kalau tim saya tak perlu tambahan orang karena 'saya saja tidak ada kerjanya,' Duh, seandainya dia benar-benar tahu apa yang sehari-hari saya kerjakan.
Dia bahkan juga sempat berucap kalau dia tahu saya tidak pernah bekerja karena saya tak pernah terlihat menenteng kertas dan bolpen untuk mencatat semua hal. Menurut dia, itulah yang harus dilakukan dan dibawa orang dengan pekerjaan seperti saya.
Oh tidak, bukankah sekarang ini ada teknologi yang bernama notepad di ponsel pintar? atau juga dengan laptop super ringan dan bahkan tablet yang mumpuni untuk mencatat? Maaf bukan sombong, tapi saya punya itu semua dan memang saya pakai untuk mencatat semua pekerjaan yang saya lakukan. Alangkah piciknya berpikir saya tak pernah kerja dengan benar ketika saya tidak terlihat secara fisik menenteng alat kerja sesuai keinginannya? Lagi-lagi saya hanya bisa elus-elus dada.
Mendengar dan mengalami hal ini, rekan satu tim saya pun tak tahan. Dia memilih untuk segera keluar dari kantor. Kantor bahkan tak menahan kepergiannya sedikit pun, padahal gaji yang diterimanya bahkan ada di bawah UMR.
Kantor dan sistemnya semakin toxic buat saya setiap harinya, terutama bagi karyawan yang sakit. Saya pernah terkena covid-19 tahun lalu. Beruntung saya tak alami gejala apapun dan bahkan tak merasakan apapun. Dokter bilang kemungkinan hanya karena sisa-sisa jasad virus dalam tubuh yang terdeteksi PCR kala itu.
Beberapa rekan lain juga banyak yang terinfeksi, maka grup support untuk pasien covid-19 di kantor pun dibentuk. Sayangnya, dengan nama 'grup support' grup ini sama sekali tidak mendukung si sakit. Sebaliknya hanya sebagai informasi bagi orang yang sudah sembuh, harus masuk kerja lagi, atau bahkan info seputar pekerjaan. Ah, kesal.
Beberapa orang sudah sempat ngoceh dan mengeluhkan soal grup ini. Tapi tak ada respons balik dan perbaikan dari admin tim support. Lima hari setelah dinyatakan terinfeksi covid-19, saya diharuskan PCR kembali di rumah sakit karena saya isolasi mandiri di rumah. Sehari kemudian HRD langsung menginformasikan ke grup support soal hasil PCR. Saya sudah dinyatakan negatif.
Seketika itu juga, saya 'ditendang' dari grup support dan dijapri oleh bos HRD.
"Kamu sudah negatif, besok masuk kerja lagi."
Tak habis pikir, saya lantas membalas pesannya dengan aturan wajib Covid-19 dari pemerintah tentang menyelesaikan isolasi mandiri sampai 2 minggu. Kantor tak setuju.
Akhirnya saya memutuskan untuk ambil cuti demi menyelesaikan masa isoman saya sampai tuntas. Saya tak mau ambil risiko.
Kembalinya ke kantor dan berbekal ongkos PCR sendiri (saat itu masih sekitar Rp700 ribuan) yang tak bisa reimburse kantor, omongan-omongan soal saya masih tak surut. 'Kok bisa sih dia kena? kan dia enggak ngapa-ngapain?"
Capek hati ini mendengarnya. Akhirnya hari demi hari saya masih kembali bekerja. Demi bisa kerja lebih baik, saya memutuskan untuk sedikit bergeser meja ke dekat teman-teman saya di beda divisi.
Melihat itu, bos HRD menghampiri dan menegur saya. Saya sempat bilang kalau saya butuh konsentrasi kerja dan tak bisa bekerja di open space di mana banyak orang yang membicarakan saya di belakang.
"Keluar saja." katanya saat itu saat dia mendengar saya tak bisa bekerja di meja itu.
Panas kuping dan hati saya mendengar itu. Saya pindah kursi hanya sementara dan demi menyelesaikan kerjaan. Saya tak ngobrol atau buang-buang waktu duduk di situ. Apa salah saya?
Kondisi makin menjadi ketika salah seorang rekan kerja saya meninggal dunia. Managemen kantor seolah tak peduli, uang santunan didapat dari uang sumbangan kawan-kawan yang berduka saja. Sekadar ucapan dan bunga dukacita saja, atau sekadar mereka menunjukkan batang hidungnya pun mereka tak mau.
Kalau Anda masih bingung kenapa saya masih bertahan kerja di sini, jawabannya sederhana, belum ada pekerjaan baru. Klise memang, tapi ya mau gimana?
Nyatanya, ketika saya bicara ini ke orang tua, mereka masih belum merestui saya untuk pindah kerja karena belum mendapat pekerjaan yang baru. Jadi sampai saat ini saya masih bertahan sembari mencari-cari kesempatan baru agar terbebas dari kantor dan orang-orang yang toxic ini.