LIPUTAN KHUSUS

Makkette, Tradisi Sakral Sunat Perempuan Penyempurna Islam di Bone

Tiara Sutari | CNN Indonesia
Selasa, 31 Jan 2023 11:30 WIB
Andi Ika Mardita masih ingat betul saat dia mendampingi kedua putrinya yang menjalani ritual sunat perempuan, tradisi sakral Bugis untuk menyempurnakan agama.
Ilustrasi. Makatte merupakan salah satu ritual sunat perempuan yang masih terus dilakukan oleh masyarakat Bugis hingga saat ini.
Jakarta, CNN Indonesia --

Dua tahun lalu, kedua anak perempuan Andi Ika Mardita (33) terlihat berbeda dengan make up tebal.

Bibir pucat kedua putrinya jadi merah merekah, kedua pipinya pun dibubuhi warna pink terang, dengan kelopak mata diberi warna hijau dan kuning. Sebenarnya, dandanan yang cukup tebal untuk anak usia 4 dan 6 tahun.

Ika masih ingat betul, pagi itu setelah salat Idulfitri 2019 di Bone, kedua putrinya terlihat bahagia. Mereka didandani oleh salon yang cukup termahsyur di kampungnya. Keduanya tampak bahagia, terutama ketika diajak memakai tujuh lapis baju bodo yang berwarna-warni.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ini bukan tampilan mereka biasanya, apalagi untuk sehari-hari. Tapi hari itu bukan hari biasa untuk ketiganya. Perempuan yang disapa Ika ini juga sedikit bersolek untuk menemani putri-putrinya melakukan salah satu tradisi paling sakral bagi masyarakat Bugis, makkatte.

"Jadi sebelum di-makkatte, didandani dulu. Kemudian anak-anak itu dipakaikan baju bodo tujuh lapis. Ini wajib, memang harus baju bodo," kata Ika kepada CNNIndonesia.com, awal Januari lalu.

Makkatte, tradisi adat masyarakat Bugis yang wajib dilakukan setiap perempuan dengan niat untuk menyempurnakan ke-Islam-an mereka. Makkatte juga merupakan sebutan khitan atau sunat perempuan.

Jika sunat perempuan disebut makkatte, maka sunat laki-laki disebut massunna.

Jerit Tangis di Tangan Sanro

Saat tiba waktunya anak pertama Ika disunat, Sanro (penyunat) sudah duduk di atas tempat tidur.

Putri Ika yang pertama itu sudah didudukkan di atas bantal berlapis sarung sutra. Matanya tampak berbinar, entah rasa takut, khawatir atau bingung karena banyak orang yang mengelilinginya.

Dua orang wanita bergamis dan berjilbab memegangi tangan anak perempuan Ika yang mulai panik saat Sanro akan memulai ritual sunat.

Sanro di sini bukan dari kalangan medis. Bukan bidan, mantri, apalagi dokter. Dengan kata lain, Sanro adalah dukun, orang pintar yang memang memiliki kemampuan menyunat. Ilmu sunatnya pun didapat secara turun-temurun. Namun, Sanro umumnya seorang wanita.

"Tidak, mereka [Sanro] tidak ada lisensi kesehatan. Jadi yang sudah dipercaya saja oleh keluarga dan memang sudah biasa [menyunat perempuan]," kata dia.

"Setiap keluarga, kan, punya orang seperti Sanro yang dipercaya. Tapi Sanro bukan bagian dari keluarga."

Tangis anak itu makin menguat. Tapi perempuan-perempuan yang mendampingi tak patah arang. Anak perempuan itu 'dipaksa' ikut berkomat-kamit melafalkan dua kalimat syahadat yang diucapkan Sanro dengan keras.

"Nak ayo nak, bersyahadat, ikuti yang diucapkan Sanro." Suara seorang ibu menuntun anak perempuan yang kini berwajah panik itu. Air matanya nyaris keluar, rasa takut terlihat jelas di mukanya yang penuh make up.

Anak Ika yang berusia 4 dan 6 tahun itu kemudian sadar hal yang menyakitkan akan segera terjadi. Seketika, jeritan anak perempuan itu memenuhi ruangan. Namun, hal itu tak membuat Sanro berhenti melakukan ritual sunat.

Ika dan suaminya tampak saling berpegangan tangan di pintu kamar. Keduanya menyaksikan dari jarak yang agak jauh, takut tidak sanggup menahan pedih saat anaknya menjerit kesakitan.

Setelah anak pertamanya selesai disunat, Ika dan suami harus menghadapi kembali jeritan putri keduanya yang menangis.

"Sebenarnya saat anak menangis saya juga tidak tega, tapi memang ini harus dilakukan. Jadi saya percaya saja sama Sanro. Toh saya juga saat kecil disunat," ujarnya.

Setelah prosesi selesai, kedua putrinya pun diberi angpau dan kembali bermain, melanjutkan aktivitas mereka. Ika menyebut tak ada obat yang dioleskan ke bekas goresan luka tersebut.

Lagi pula kata Ika, pada dasarnya sunat yang dilakukan dalam tradisi makatte ini tidak berbahaya. Sunat dilakukan dengan memberikan sedikit goresan pada klitoris si anak dengan pisau, mengambil kotoran untuk kemudian disatukan dengan darah dari jengger ayam jago.

Tapi hingga kini, Ika juga tidak tahu apa maksud darah dari jengger ayam jago dengan goresan di kemaluan anak perempuannya.

"Karena tradisinya begitu, jadi berjalan seperti itu," kata dia.

Sunat perempuan memang telah menjadi bagian dari tradisi yang berkembang di Indonesia sejak lama. Karena ini pula, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tak memasukkan sunat perempuan ke dalam kategori tindakan medis yang harus diaturnya.

"Sunat [perempuan] itu merupakan satu tradisi yang secara budaya turun temurun yang mengacu pada keyakinan yang dianut kelompok tertentu, bukan tindakan medis," ujar Direktur Kesehatan Usia Produktif dan Lanjut Usia Perempuan, Kemenkes, Kartini Rustandi pada CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu. Hal ini pula yang membuat Kemenkes tak melarang praktik sunat perempuan secara gamblang.

Meski tak dilarang, namun Kemenkes tidak merekomendasikan orang tua untuk menyunat anak perempuannya. Selain karena tidak memberikan manfaat apa pun, lanjut Kartini, sunat perempuan juga bisa memicu risiko kesehatan seperti bengkak, pendarahan, dan masalah jaringan parut.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri mendefinisikan praktik sunat perempuan atau female genital mutilation (FGM) sebagai prosedur menghilangkan sebagian area tertentu pada organ intim anak perempuan. Termasuk juga di antaranya menggores area klitoris yang banyak diterapkan pada praktik sunat perempuan di Indonesia.

Berlanjut ke halaman berikutnya...

Kepercayaan Tak Jadi Wanita Sundal

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER