'Saya Itu Mengidap Gangguan Bipolar, Bukan Kerasukan Jin'
Perjalanan saya bersama gangguan bipolar memang tak mudah. Namun saya, Afina Syifa Biladina, berani bilang bahwa saya bangga akan diri saya, apa pun kondisinya.
Tenang, saat ini kondisi saya stabil. Kemarin sempat relapse alias kambuh akibat kehabisan obat. Gangguan bipolar memang membuat saya akrab dengan obat, psikolog, dan psikiater.
Kini saya tengah mengambil studi pascasarjana. Untungnya, teman-teman menerima kondisi saya dan memberikan dukungan.
Saya didiagnosis mengalami gangguan bipolar semasa kuliah, tepatnya pada tahun 2018 lalu. Sebelumnya, saya juga didiagnosis memiliki attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) pada usia 7 tahun.
Sedari SMA, saya merasa semua orang membenci saya. Beruntung ada sahabat yang berusaha meyakinkan bahwa anggapan saya salah.
Akan tetapi, rasa tidak nyaman itu terus bertahan. Puncaknya, akhir 2017 saya mencoba menyakiti diri sendiri setelah ada cekcok dengan salah satu anggota keluarga.
Saya juga sempat mengurung diri di kamar kos selama tiga hari pada awal 2018. Lagi-lagi, karena saya merasa tak ada yang menyayangi saya.
Rasanya bingung, sedih. Tapi tak tahu kenapa. Saya cuma menangis.
Sempat terpikir untuk mengakhiri hidup. Saya mencoba mencari cara mengakhiri hidup melalui mesin pencari di internet.
'How to kill myself without hurt myself'
Astagfirullah! Tidak sampai membaca hasil penelusuran, saya 'menginjak rem'. Allah seperti mengingatkan saya bahwa ini tidak benar.
Terima kasih, Abah!
Sadar harus ke tenaga profesional, saya buru-buru mencari psikolog di kawasan Bandung. Voila! Saya menemukan Klinik Tanaya. Kemudian tanpa babibu, saya langsung reservasi untuk konsultasi.
Saya cerita dari A sampai Z. Jika diperas dalam sebuah kalimat, saya ibarat tersedot dalam ruangan kecil dan bingung mau ke mana.
"Ke psikiater mau enggak?" psikolog saya bertanya.
Kondisi saya mau tidak mau perlu ditangani psikiater. Hanya saja, konsultasi dengan psikiater harus mendapat izin dari orang tua. Psikolog pun membantu dengan menjelaskan kondisi saya pada orang tua, terutama Abah.
Abah, begitu saya menyapa ayah, adalah seorang dokter yang sadar akan kesehatan mental. Berkat izin Abah, saya konsultasi dengan psikiater dan melalui rangkaian tes hingga muncul diagnosis gangguan bipolar.
Abah adalah orang pertama yang menerima kondisi saya.
"Dik, Abah tahu apa yang Adik rasain. Diminum obatnya, dijalani terapinya. Apa pun yang Adik alami, Abah tetap sayang sama Adik," kira-kira begitu yang dikatakan Abah.
Rasanya 'nyes' banget. Seperti ada setitik kesejukan di tengah 'kemarau'.
Apakah keluarga inti langsung menerima? Jawabannya, tidak.
Ibu, misalnya, yang menganggap saya kerasukan jin. Akhirnya, saya diminta untuk mengambil jalan rukiah.
Saya itu mengidap gangguan bipolar, bukan kerasukan jin. Masak saya diperlakukan seperti ini? Saya biarkan air mata ini mengalir.
Orang-orang masih melihat bahwa pengidap gangguan bipolar sama halnya dengan 'orang gila', kurang iman, kurang bersyukur, dan kurang-kurang lainnya.
Salah seorang anggota keluarga besar bahwa pernah berkata, "Cantik-cantik, tapi sakit".
Simak cerita orang dengan gangguan bipolar selengkapnya di halaman berikutnya..