Jakarta, CNN Indonesia -- Duka mendalam atas berpulangnya Ferrasta Soebardi, yang lebih populer dengan nama Pepeng, tak hanya dirasakan oleh keluarga dan kerabatnya. Namun juga mereka yang pernah mengenal dekat sang pembawa acara
Kuis Jari-jari di sebuah stasiun televisi swasta, pada 1992.
Satu hal paling mencolok dari Pepeng adalah semangatnya yang luar bisa besar untuk menyelesaikan studi hingga jenjang doktor. Bahkan ketika penyakit multiple sclerosis mulai menyerang dan membuatnya tak bisa banyak bergerak, Pepeng tak lantas mundur dari sorotan publik.
Dia lebih sering menanggapi segala hal dan pertanyaan orang tentang sakitnya dengan candaan saja. Saat tampil bersama Ustad Yusuf Mansyur di sebuah stasiun televisi, yang rekamannya masih bisa dilihat di YouTube, Pepeng mengatakan, rasa sakit yang dideritanya bisa terasa dari kepala sampai ke kaki.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Belum lagi kram sakit perutnya ketika muncul, rasanya sepeti
gludug-gludug,” katanya. Mendengar ini, agaknya siapa pun akan merasa ngilu, tapi Pepeng sendiri malah tersenyum.
Saat serangan itu datang, Pepeng mengatakan lebih memilih berdiam diri dan berdialog dengan Sang Pencipta. “Apa setelah berdoa sakit saya yang sudah
terminal (
illness) ini hilang? Ya, enggak juga. Cuma penderitaannya yang terasa lebih ringan.”
Dia mengakui, saat itu, yang sering dikatakannya adalah bahwa dia yakin tak akan ditinggalkan Tuhan. Sekaligus sebuah permohonan rasa sakit yang diderita tak sampai membuatnya kesepian.
“Kenapa? Karena saya tahu bahwa orang sakit itu perilakunya bisa sangat menjengkelkan orang lain. Kalau saya rewel mungkin sudah sejak lama saya ‘dibekap’ istri saya,” kata Pepeng sembari tertawa.
Keengganan untuk mengeluhkan rasa sakit dan kondisinya menjelang akhir hayatnya harus menggunakan kursi roda dalam beberapa kali penampilan justru dijadikannya candaan.
“Saya ini orang yang tidak ingin merepotkan orang lain. Karena saya ke mana-mana bawa kursi sendiri. Nggak perlu menyediakan buat saya,” kata Pepeng tertawa.
Demikian pula saat membicarakannya keseharian berada di atas tempat tidur karena kondisi kesehatannya. “Saya ini
bed man,” katanya. Bahkan dari atas tempat tidur pula Pepeng berhasil menyelesaikan studi doktoralnya.
Penyakit yang menderanya tak pernah dijadikan alasan Pepeng untuk berhenti melakukan apa yang menjadi renjananya. Pepeng sering kali ditanya mengapa sekolah melulu. Menurutnya, kita harus sekolah terus. “Ketika kita ada di satu tempat maka kita harus segera menyelesaikannya.”
Bukan menjadikan penyakit sebagai penghalang, Pepeng menjadikannya sebagai bahan penelitiannya saat S3. Dia memilih topik tentang
pain dan sickness. “Saya kan, dari atas ke bawah sakit semua ini.
Sakit memang nyeri, tapi penderitaannya itu yang merupakan psikologis,” katanya. Menurut Pepeng, rasa sakit yang sifatnya psikologis itulah yang bisa diringankan dengan kacamata iman seseorang.
Pepeng menyebut dari sinilah kesabaran itu semestinya muncul. Dengan menenangkan diri dan mendekat pada Ilahi. “Kalau hati tenang, tidak ada yang galau. Allah itu tidak pernah ribet, kita saja yang ribet. Jadi menurut Freud, kalau orang sakit, apalagi
terminal illness, biasanya akan menolak. Dia akan berteriak ‘
Oh God, why me.’ Terus kalau Tuhan bilang ‘
Why not?’ Skak mat. Emang lo
siape?” kata Pepeng tertawa.
Pepeng membandingkan kesabaran dengan teori Sigmund Freud, ilmuwan psikologi. “Kata Freud begini—tabok saja saya kalau salah—'Kesabaran itu bermula dari penolakan dulu, lalu ada sublimasi. Tapi kacamata iman tidak demikian. Kesabaran harus dimulai dari awal.”
(utw/vga)