Jakarta, CNN Indonesia -- Pemberitaan soal karut marut keikutsertaan Indonesia di Expo Milan 2015, Italia, yang mengemuka sepanjang dua pekan awal Mei ini mengerucutkan pembelajaran teramat bagi kita: pentingnya berkomitmen dalam menjalin kerja sama antarnegara.
Menurut Rieska Wulandari, warga negara Indonesia yang bermukim di Milan, dan mengawal keikutsertaan Indonesia di Expo Milan, negara partisipan seperti Indonesia terlebih dulu harus mengenal budaya negara yang diajak bekerja sama, dalam hal ini Italia.
“Kultur orang Italia, dan umumnya orang Eropa, sangat tertib dalam hal administrasi. Dokumentasi, surat-surat dan berkas-berkas mereka sangat rapi dan lengkap,” kata Rieska. “Sementara sebagian orang kita tak menganggap hal ini penting.”
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak heran bila kemudian beredar kabar soal properti pameran yang tertahan di kargo pelabuhan, atau visa yang gagal didapatkan oleh kru dan pengisi acara serta tanda pengenal yang tak kunjung dibagikan hingga menyulitkan akses.
Akibatnya, Paviliun Indonesia di awal pembukaannya mendapat keluhan dari pengunjung yang mengatakan kondisi paviliun tampak “nelangsa” dan sepi tanpa properti maupun peserta.
Berhadapan dengan kultur kerja dan sistem birokrasi Italia dan berdasarkan pengalamannya selama lima tahun bermukim di Milan masalah semacam ini sebenarnya dapat dihindari bila administrasi Indonesia rapi dan lengkap.
“Orang Italia, seperti negara negara Eropa umumya, terbiasa mempersiapkan sesuatu dalam jangka panjang, apalagi berkaitan dengan Expo yang merupakan momen lima tahunan," kata salah satu penulis kisah dalam buku
Kepak Sayap, 22 Kisah Perempuan Indonesia Menembus Batas Lima Benua.
"Mengingat persiapan yang panjang," ia melanjutkan, "mereka menganggap negara peserta dapat melengkapi semua kebutuhan dokumen dan administrasi dalam mempersiapkan pameran termasuk dalam hal pengiriman barang atau tim dan kru kegiatan."
Secara natural, menurut Rieska, orang Italia, juga Eropa pada umumnya, biasa bekerja sesuai ketentuan yang ditetapkan peraturan, apabila satu berkas tidak lengkap maka semua akan terhambat, atau dalam bahasa Italia disebut bloccato (tertahan).
Apabila negara peserta tidak memahami dan abai terhadap regulasi yang telah ditetapkan, maka bisa fatal akibatnya.
Kantor-kantor di Italia, termasuk kantor pemerintah, tidak dapat memaksa tenaga kerja untuk masuk kerja pada Sabtu dan Minggu apabila tidak mendapat persetujuan formal jauh-jauh hari sebelumnya.
Hal ini berkaitan dengan aturan ketat perlindungan tenaga kerja dan berkaitan dengan persetujuan pengeluaran anggaran negara.
Negara-negara Eropa lainnya juga memiliki sistem yang kurang lebih sama sehingga mereka mengantisipasi kondisi ini jauh-jauh hari.
Alumnus Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran ini mencontohkan keluhan jadwal
loading barang atau clearing lokasi yang tersendat karena petugas libur pada Sabtu Minggu.
"Semua kantor di Italia secara hukum wajib menginformasikan jadwal kegiatan kantor mereka secara terbuka kepada publik agar pengguna jasa dapat menyesuaikan diri dan mengatur manajemen
time line dan targetnya," kata kontributor sejumlah media di Indonesia ini. "Ketika hal ini tidak diperhatikan, maka partisipan sendiri yang menanggung akibatnya."
Partisipan tidak bisa memaksakan diri memasukkan barang pada Sabtu-Minggu, apabila kantor kantor telah secara resmi mengumumkan jadwal kerja mereka. Begitu juga pada saat
clearing lokasi, siapa pun dilarang masuk arena sekalipun sudah berbekal tanda pengenal resmi.
Demi melindungi negara peserta dari pihak pihak tak bertanggungjawab apalagi ekskalasi isu bom dan sabotase tengah memuncak, maka keamanan adalah hal yang paling utama, pihak
security tentu tidak dapat mengambil resiko. Sebagai
host yang bertanggungjawab, mereka harus melakukan
clearing sesuai standar keamanan internasional.
Negara-negara peserta lain sangat memahami situasi ini sehingga dalam memberikan informasi kepada masyarakatnya mereka memberikan
approach atau pendekatan yang gamblang dan jujur.
Sebetulnya kesulitan kesulitan dokumentasi, administrasi dan benturan dengan aturan ketenagakerjaan dan hari libur di Italia bukan spesifik milik Indonesia. Menurut Rieska, sebagian besar peserta pun sebenarnya mengeluhkan masalah yang sama.
Perbedaannya, sejak jauh-jauh hari mereka secara jujur aktif menginformasikan pada rakyatnya melalui media massa di negaranya masing-masing bahwa mereka menghadapi masalah di lapangan dan meminta masyarakat untuk memaklumi kondisi bahwa pada hari pertama pembukaan mereka belum 100 persen siap. Kondisi ini berbeda dengan pendekatan manajemen panitia Indonesia yang menginformasikan bahwa seluruh situasi seolah baik-baik saja.
Dengan begitu, pemerintah dan warganya bisa sama-sama mencari solusi, bukannya malah saling sikut. Contohnya Paviliun Belgia belum siap pada hari pembukaan, namun hal ini dimaklumi oleh warga Belgia, karena pemerintahnya sudah mengomunikasikan hal tersebut.
Perhelatan bertaraf internasional memang membutuhkan komitmen besar dari pemerintah, organisator dan segenap masyarakat. Dan dari contoh situasi pembukaan Paviliun Indonesia di Milan Expo ini kita mendapat pembelajaran berharga tentang pemberian informasi yang sejujurnya kepada publik. Expo Milan 2015 berlangsung per 1 Mei hingga 31 Oktober 2015.
(vga/vga)