Jakarta, CNN Indonesia -- Berawal dari tugas akhir sang vokalis, kini band pendatang baru ini mulai merintis jalan panjang dunia musik Indonesia. Sebagai pendatang baru, Elephant Kind memiliki potensi menyajikan menu yang berbeda dari band pop pada umumnya di Indonesia.
Sebelumnya nama Elephant Kind belum pernah terdengar di hiruk pikuk dunia musik di Indonesia. Namun nada-nada yang mereka sajikan sanggup memunculkan rasa penasaran untuk mengetahui lebih lanjut dari band yang semua liriknya berbahasa Inggris ini.
Penampilan mereka jauh dari necis dan kerupawanan para band papan atas Indonesia. Tak ada yang memiliki rambut mengkilap dan klimis, tak ada wangi parfum mahal yang tercium dari kejauhan. Hanya selayaknya band anak kampus pada umumnya, berantakan dan acak-acakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi buku yang bagus memang tak dapat dinilai dari sampulnya, begitu pula band. Bam Mastro, Bayu Adisapoetra, John 'Choky' Patton, dan Dewa Pratama sangatlah ramah dan hangat, sehangat dan sejujur nada-nada yang mereka bawakan.
Ketika Bam Mastro kuliah jurusan Musik di Australia, ia menulis tugas akhir berupa sebuah proyek musik dan ia memilih untuk sebuah band dan menggunakan nama Elephant Kind (EK). Saat Bam akhirnya pulang ke Indonesia karena visanya habis di negeri Kangguru, ia masih terbayang-bayang akan band impiannya tersebut.
"Saya ingin sekali band ini benar terwujud, dan karena saya kenal Bayu, Choky, Dewa karena main di Neonomora, jadi ya cabut-cabut aja dari sana," kata Bam ketika ditemui dalam sebuah kesempatan oleh CNN Indonesia.
Bam sebelumnya telah menjadi produser penyanyi pendatang baru, Neonomora. Dan band yang mendampingi sang biduan juga telah dikenalnya dengan sangat baik. Bayu menggambarkan mereka semua sudah saling tertarik untuk bersama membuat band terpisah dari Neonomora.
Bam enggan mencampurkan antara Neonomora dan Elephant Kind. Menurutnya keduanya sudah saling berbeda konsep. Neonomora ingin ia bentuk dengan konsep diva, sedangkan EK memiliki konsep cross genre.
Pilihan nama Elephant Kind diakui Bam terinspirasi dari sebuah kicauan di twitter tertulis, "An elephant can die from a broken heart". Selain itu ia juga mengaku kagum akan kekuatan makhluk bergading tersebut yang masih sanggup berdiri meski telah mati.
"Kami ingin buat musik untuk orang-orang yang patah hati, bukan hanya karena masalah percintaan, tetapi juga patah hati karena urusan kerja dan yang lainnya," kata Bam.
Ketika lagu EK dilantunkan dan didengar dengan seksama, maka akan terdengar beragam campuran instrumen lintas genre yang tercampur secara ajaib menjadi lagu yang enak didengar.
Hal ini lantaran masing-masing personelnya memiliki kecenderungan musik saling bertolak belakang. Bam memiliki kegemaran mendengarkan rap dan hip hop, Bayu menyukai aliran punk, Dewa asik dengan EDM, dan Choky dengan gaya 1970-an.
"Makanya suka ribut kalau sedang mengendarai mobil bareng, tidak ada yang mau saling dengar lagu satu-sama lain, peluangnya bisa satu banding sepuluh ribu kayaknya," kata Bam sambil tertawa. "Tapi kami lebih senang disebut band bergenre pop," lanjutnya.
Bayu dan kawan-kawan memilih untuk mengurusi semuanya sendiri. Mulai dari menghasilkan lagu, produksi album, hingga menjualnya ke pasaran. Namun meskipun mereka memilih untuk menjadi indie, namun mereka juga belajar dari musisi major/label.
"Kami belajar bisnisnya dari pihak label, tapi tidak dengan cara mereka memperlakukan seni," kata Bam. "Lagipula era teknologi saat ini memungkinkan indie untuk menyebarluaskan karya mereka," tambah Bayu.
Ilmu bisnis yang mereka pelajari bukan hanya sekedar teori. Mereka mencobanya sendiri terhadap karya mereka melalui album pertama mereka yang berbentuk album mini, Scenarios: A Short Film by Elephant Kind pada November 2014 yang lalu.
Rilisnya album tersebut diakui usaha penjajakan mereka meraba keinginan pasar musik di Indonesia. Mereka memulainya dengan memproduksi 1000 keping cakram padat (CD) dan menjualnya di beberapa gerai toko indie seperti di Pasar Santa ataupun di Blok M Square.
Selain menjual dengan bentuk CD, mereka juga mencoba menyentuh pasar melalui bentuk digital seperti pada iTunes.
Usaha mereka tak sia-sia. Terhitung April kemarin, 1000 keping yang diluncurkan November 2014 hanya tinggal menyisakan 300 keping. Sedangkan dari iTunes, telah terunduh lebih dari 1500 kali unduhan.
Kesuksesan mereka sejauh ini dapat dikatakan disebabkan konsep mereka yang cenderung berbeda ketimbang band indie pop lainnya. Secara cepat, mereka rupanya telah menyiapkan album pertama hingga ketiga secara bersamaan.
"Kami memilih untuk lebih menguatkan konsep untuk membedakan kami dengan band yang lain," kata Bayu. "Kami berkarya untuk membuat pasar baru, membuat alternatif baru itu goal utama, dan tidak pernah terpikir akan laku atau tidak,"
Konsep yang mereka angkat adalah mengenai kisah seseorang yang patah hati lalu kemudian memilih untuk mengakhiri hidupnya. Namun bukan berarti EK akan mengajarkan pendengarnya melakukan tindakan melanggar hukum tersebut, namun justru mencegah semakin banyaknya aksi bunuh diri.
Album kedua nanti rencananya akan berhubungan dengan sebelumnya, lalu kemudian akan dirangkum dalam sebuah film pendek. Kemudian album ketiga akan muncul dengan konsep kembali pada album pertama.
Konsep mereka rupanya banyak diminati oleh pecinta musik indie. Hal ini terbukti ketika mereka mengikuti rangkaian konser musik indie di Singapura, selepas itupun mereka kebanjiran pesanan album dan mulai bertambah pengikut di sosial media.
"Kami tidak ingin menyebut mereka fans, mereka menyukai seni yang sama dengan kami," kata Bayu. "Bahkan kalau sedang di-stalking, pengikut mereka lebih banyak ketimbang kami." tambah Bam sembari tertawa.
Saat ini, Elephant Kind memang belum banyak wara-wiri di layar televisi. Meski begitu, tawaran manggung masih terus datang kepada mereka yang juga memiliki pekerjaan lain di luar band. Dengan niat murni untuk berkarya dan menyalurkan hasrat bermusik, Bam dan kawan-kawan akan terus berjalan bersama band baru ini untuk menjadi sekuat dan sebesar gajah.