Jakarta, CNN Indonesia -- Memiliki atap tinggi, agaknya siapa pun tak akan mengira bila, pada masa lalu, bagian atas Masjid Jami Angke ternyata difungsikan sebagai menara pengintai.
Berlokasi di tengah permukiman, masjid ini tak terlihat dari tepi Jalan Pangeran Tubagus Angke. Tersembunyi di balik toko-toko yang berjajar di salah satu jalan besar di Jakarta Utara tersebut.
Masuk ke dalam gang, masjid ini memiliki atap genteng yang sekilas mirip dengan atap klenteng, tanpa aksen Tionghoa yang identik dengan cat merah. Dan pintu utama yang terbuat dari kayu jati bercat cokelat dan berukiran khas Jawa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Masjid ini dibangun, pada 1751, oleh para pejuang, untuk mengintai VOC, dan sebagai basis pertahanan," kata Muhammad Habib, Ketua Dewan Kemakmuran Masjid Jami Angke Al-Anwar kepada
CNN Indonesia, belum lama ini.
Muhammad Habib adalah keturunan ke-11 dari Pangeran Tubagus Angke. Ia mengetahui secara persis perkembangan daerahnya dari kisah yang dituturkan eyang buyutnya secara turun menurun.
Pada 1751, semasa awal Batavia berdiri, Angke merupakan kawasan pesisir. Tidak ada yang bermukim di situ selain kaum nelayan, dan para pelarian Batavia.
Kawasan Angke kala itu masih sepi, hanya berisikan kebun kelapa dan tanah-tanah yang lapang. Namun oleh para pejuang penentang VOC didirikan sebuah masjid yang berfungsi bukan hanya sebagai tempat ibadah, tapi juga persembunyian dan pengintaian.
"Masjid ini didesain oleh Liong Tan, ahli bangunan Tionghoa dan merupakan seorang muslim," kata Muhammad. "Masyarakat Tionghoa kala itu lari dari pemusnahan yang dilakukan VOC pada 1740,"
Kerabat dan masyarakat Tionghoa yang selamat dari pembakaran massal rumah mereka oleh VOC kabur ke luar Batavia dan sebagian dari mereka memilih menjadi mualaf untuk bergabung dengan penduduk gujarat dan pribumi, termasuk Liong Tan.
Dipercaya oleh para pejuang untuk membuat markas, Tan memilih mengombinasikan agama, falsafah budaya, kekuatan arsitektur, dan strategi militer di masjid tersebut. Masjid Jami Angke memiliki empat ornamen yang menghiasi arsitekturnya, Tionghoa, Eropa, Jawa, dan peleburan Hindu serta Islam. Dari segi atap, melambangkan budaya Tionghoa, dengan bentuk dua lapis undakan.
Aksen Eropa dapat ditemukan dalam bentuk pintu yang terletak di sebelah utara, selatan, dan timur. Bentuk pintu berupa dua daun pintu diapit tiang bergaya Eropa. Dengan total daun pintu yang ada, yaitu enam buah, menggambarkan rukun iman dalam agama Islam.
Ornamen Jawa terlihat dari empat tiang yang berada di dalam ruangan utama. Model tiang dengan fondasi berundak mirip seperti yang ada pada masjid-masjid peninggalan wali songo.
 Empat tiang dalam Masjid Jami Angke melambangkan empat sahabat Nabi Muhammad SAW. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo) |
Empat tiang yang ada juga menggambarkan empat khalifah yang sekaligus sahabat Nabi Muhammad, yaitu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Peleburan antara Hindu dan Islam sebagai bentuk gambaran akulturasi kala itu terlihat dari mimbar yang menyerupai bentuk candi Hindu. Menuju mimbar pun ada lima anak tangga yang menggambarkan rukun Islam, sama seperti pada tangga masuk masjid.
Gambaran agama juga diwakilkan oleh tiang dalam jendela yang menggambarkan sembilan wali untuk jendela di sebelah kiri, sepuluh sebagai lambang malaikat di sebelah timur, dan 20 buah yang merupakan sifat Allah SWT di sebelah barat.
Meski tak terlihat sebagai bangunan bertingkat dari luar, rupanya masjid ini terdiri dari tiga tingkat yang dihubungkan dengan tangga jati sederhana tanpa pegangan.
Lantai dasar digunakan untuk beribadah, sedangkan untuk lantai kedua digunakan sebagai loteng. Dan bagian pengintai berada di lantai paling atas yang merupakan pucuk atap masjid.
Yang menarik, meski sempat mengalami renovasi dengan bantuan pemerintah, juga penambahan atap di selasar sebagai penahan panas, konstruksi atap masih mempertahankan peninggalan bangunan asli yang terbuat dari kayu jati.
Meski sudah berusia ratusan tahun, kayu tersebut masih kuat dan sanggup menahan beban, termasuk beban atap maupun pengurus yang susah payah membersihkan debu teba setiap pekannya.
"Dahulu, dari bagian atas ini setiap sudut Jakarta dapat terlihat, tetapi sekarang sudah tidak bisa," kata Muhammad.
Dan benar saja, dari bagian paling atas masjid ini, terlihat pemandangan sekitar seperti dari atas menara namun tidak terlihat dari luar. Jelas fungsi bangunan seperti ini sangat berguna untuk lokasi pertahanan menghadapi musuh, VOC.