Namun pertimbangan kepindahan tersebut masih belum dirasakan puas oleh pengelola Rumah Sakit hingga 1932, lantaran hanya berjarak beberapa puluh meter dari lokasi sebelumnya.
Pihak Yayasan Koningin Emma Stichting selaku pemilih rumah sakit, menginginkan masjid tersebut enyah dan berada lebih jauh lagi dari rumah sakit tempat mereka menyebarkan agama Kristen.
Tetapi keinginan misionaris tersebut ditentang oleh para tokoh Islam terkemuka kala itu seperti HOS Cokroaminoto selaku Ketua Sarekat Islam, Haji Agus Salim dan juga Abikusno Cokrosuyoso. Haji Agus Salim juga yang mendukung pembangunan secara permanen masjid tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kasus ini rupanya sanggup mempersatukan umat Islam kala itu. Dukungan dan pembelaan dari para tokoh juga menyulut pembelaan dari para jemaah.
Para jemaah kala itu bahkan rela bergantian menjaga masjid dengan golok agar pihak Belanda tidak mengusiknya.
Meski telah berbentuk permanen, rupanya masalah masih belum usai. Pihak Yayasan Rumah Sakit Cikini masih mempermasalahkan kepemilikan lahan yang digunakan oleh Masjid Al-Ma'mur.
Bukan hanya itu, Masjid ini pun sempat terancam tergusur oleh pembangunan penghijauan pinggir sungai oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Baru pada 1991, masalah sengketa antara Rumah Sakit Cikini dan Masjid Al-Ma'mur selesai. Pihak Yayasan Rumah Sakit menyerahkan sertifikat kepada pihak pengelola masjid yang kemudian dilakukan perluasan.
Kini, masjid Al-Ma'mur berdiri kokoh di tengah-tengah pembangunan kawasan Cikini yang semakin padat. Masjid yang pernah mendapatkan penghargaan sebagai perpustakaan masjid teladan ini terus melakukan berbagai aktivitas keagamaannya.
Masjid Al-Ma'mur kini memiliki sebuah yayasan pendidikan berbasis agama Islam setingkat Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar. Selain itu, masjid ini juga ramai oleh para jamaah yang masih setia menyejahterakan masjid dengan berbagai kegiatan keagamaan dan ibadah.
 Ornamen khas di Masjid Raden Saleh. (Detikcom Fotografer/Ari Saputra) |
(end/vga)