Jakarta, CNN Indonesia -- Rumah susun sederhana itu terletak tak jauh di bagian belakang Gedung Pertunjukan Miss Tjitjih yang sempat disebut Nji Tjitjih. Sebuah bangunan batako tanpa plester berlantai dua tertutup rindangnya pepohonan dan alunan dangdut pantura dari warung di depannya.
Di gedung itulah, para anggota Kelompok Sandiwara Miss Tjitjih berlindung dari panas dan hujan.
(Baca juga: Cerita Istri Ke-dua yang Jadi Primadona Grup Sandiwara Sunda)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gedung rusun itu dibangun oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menampung para pemain kelompok sandiwara tua yang sudah ada sejak zaman kolonial Belanda tersebut.
Pemprov menempatkan mereka di Jalan Kabel Pendek, Cempaka Baru, Cempaka Putih, Jakarta Pusat setelah menggusur pemukiman asli mereka di Angke pada 1987.
Berdiri di tengah-tengah pemukiman padat penduduk Cempaka Putih, rusun kediaman pemain Miss Tjitjih tampak ibarat sebuah desa tersendiri yang semua penghuninya berkerabat dan 'urang Sunda' asli yang berasal dari berbagai kota di Jawa Barat.
"Semua penghuni di sini betah tinggal di Miss Tjitjih, sudah cinta," kata Eneng ketika ditemui CNN Indonesia, Jumat (28/8).
Eneng adalah salah satu pemain yang bergabung dengan Miss Tjitjih pada 2004, kala itu, rusun ini sudah berdiri tegak. "Kalau ada yang ingin tinggal di luar dipersilahkan, tetapi mereka tetap aktif di Miss Tjitjih.”
Cukup banyak anggota Miss Tjitjih yang tinggal di luar rusun. Jelas saja, dari 20 unit kamar yang tersedia, tak cukup untuk menampung seluruh anggota Miss Tjitjih sejumlah 80 orang, yang kebanyakan adalah turun menurun hingga tiga generasi.
 Dua orang personel Miss Tjitjih sedang mempersiapkan properti untuk pementasan di rusun tempat tinggap personel Miss Tjitjih. (CNN Indonesia/Endro Prihedityo |
Yang tinggal di rusun itu saja sudah cukup mencengangkan. Masing-masing unit kamar berukuran kisaran 30 meter persegi dapat berisikan lebih dari satu Kepala Keluarga. Masing-masing unit hanya difasilitasi ruang untuk tidur, dan kamar mandi di dalam unit.
"Yang tinggal di sini ada 30 Kepala Keluarga, dahulu saat 2004 cuma ada 17 KK, lalu kemudian berkembang. Kalau malam, banyak yang tidur di selasar rusun karena tidak muat di dalam kamar," kata Eneng. "Semuanya di sini bareng-bareng, senang sedih dijalani bersama-sama sudah seperti keluarga.”
Selamat Datang di Kawasan Miss TjitjihPernyataan Eneng terbukti bila melongok ke selasar lantai dua dari rusun tersebut. Beberapa memang menaruh kasur kapuk di selasar depan pintunya sebagai persiapan untuk menjadi tempat tidur bagi para anggota Miss Tjitjih yang masih lajang.
Kondisi rusun pun tak dapat dibilang istimewa. Kesan berantakan dan kotor menjadi pelengkap kalimat 'Wilujeng Sumping' atau 'Selamat Datang' yang tertulis di langit-langit lobi rusun. Banyak barang yang tua dan tak terpakai tergeletak di sudut-sudut rusun.
Tak perlu mengintip ke dalam unit rusun untuk melihat padatnya di dalam. Sebagian besar penghuni di sini secara terbuka membuka pintunya agar udara segar dapat masuk ke ruangan mereka yang penuh dengan barang, mulai dari lemari, televisi, kasur, properti Miss Tjitjih, bahkan barang-barang kuno yang kini menjadi sarang debu tebal.
Menaiki tangga menuju lantai dua, kadang tercium aroma pesing sedikit tengik. Beberapa tempat di langit-langit terlihat berlubang dan tak lagi terpasang lampu.
Padahal, banyak anak kecil dan balita yang tinggal di gedung ini. Tak terbayang, selasar sempit menjadi kamar tidur setiap malamnya bagi para pemuda Miss Tjitjih.
Lobi rusun memang kadang digunakan untuk memproduksi properti dekorasi yang dibutuhkan ketika pentas, misal membentuk sterofoam untuk dipasang sebagai pemercantik panggung. Bila membutuhkan tempat untuk mengeringkan cat sterofoam tersebut, halaman belakang yang menjadi gudang terbuka menjadi pilihan yang diandalkan.
Halaman belakang tersebut penuh dengan tumpukan kayu, sampah barang yang tak lagi terpakai, jemuran pakaian, hingga kandang monyet. Untuk berjalan saja, membutuhkan usaha jongkok guna menghindari tali-tali jemuran pakaian sekaligus sterofoam dekor. Jangan kaget bila kadang melihat tikus got yang burik seukuran musang melintas santai di siang bolong bersembunyi di antara barang-barang berserakan.
Kondisi Gedung Pertunjukan lebih baik daripada rusun yang ditempati oleh para anggota Miss Tjitjih. Kondisi panggung, meski berantakan dengan properti sandiwara dan juga berdebu, namun setidaknya tidak berbau tengik bila melintas di antaranya.
Namun berhati-hatilah bila akan duduk di dalam Gedung Pertunjukkan yang tiket menontonnya hanya Rp 10 ribu tersebut, salah-salah penonton akan jatuh karena kursi yang lapuk.
 Suasana panggung opera Miss Tjitjih di Jalan Kabel Pendek Cempaka Baru Cempaka Putih. (CNN Indonesia/ENdro Priherdityo) |
Bagian lengan kursi banyak yang sudah tak lagi bersatu dengan kerangkanya, begitu pula ada kursi yang total tak dapat digunakan namun masih terpasang di dalam barisan kursi penonton.
Sebenarnya Gedung Pertunjukkan ini memiliki konsep teater yang cukup baik, hanya dengan kapasitas duduk sekitar 200 kursi, dan panggung yang cukup luas, dapat memberikan kenyamanan dalam menonton pertunjukkan. Namun sayang, dari 200 kursi yang ada, paling banyak hanya 50 kursi yang benar-benar diduduki penonton saat pementasan.
Atas Nama Cinta Miss TjitjihAtas nama cinta dan kesetiaan kepada Miss Tjitjih, para anggota ini bertahan, meskipun pendapatan mereka dari pementasan Miss Tjitjih terbilang sangatlah sedikit, sekitar Rp 75 hingga 300 ribu sekali pentas.
Itupun bila ada pementasan. Sejak Januari hingga Agustus ini, Miss Tjitjih mati suri lantaran dana hibah untuk operasional dari Pemprov DKI belum kunjung cair.
Untuk mengakali kebutuhan yang semakin mahal, para anggota ini memiliki pekerjaan lain di luar sebagai anggota opera, mulai dari tukang ojek, pengamen, pegawai negeri, hingga membuka usaha. Tetapi, bila ada panggilan dari Miss Tjitjih, semua anggota siap melakukannya.
"Anak-anak pun diajarkan harus ikut Miss Tjitjih oleh orang tuanya, supaya tidak sekedar numpang tidur saja di sini," kata Eneng.
Seluruh komponen anggota Miss Tjitjih dipastikan mendapatkan tugas dari sutradara Miss Tjitjih, Imas Darsih, yang juga keturunan dari Sayyed Aboebakar Bafaqih, pendiri kelompok ini. Imas lah yang bertugas memilih orang untuk memerankan peranan ataupun menjalankan tugas untuk pementasan.
Kelompok Miss Tjitjih tidak pernah melakukan perekrutan anggota baru. Bila mereka memiliki tenaga yang kurang untuk sebuah pementasan, pihak Miss Tjitjih lebih memilih merekrut para remaja di sekitar lokasi untuk menjadi pemeran tambahan dalam pementasan Miss Tjitjih.
Eneng pun pada awalnya bukan menjadi bagian dari Miss Tjitjih. Namun sang suami yang menjadi anggota Miss Tjitjih sejak 1997 lalu diangkat menjadi pegawai Pemprov menikahinya pada 2004, secara otomatis Eneng menjadi bagian dari Miss Tjitjih. Pun dirinya memanfaatkan kesempatan itu untuk memperdalam Miss Tjitjih.
Sekarang Eneng pun telah menjadi bagian dari Miss Tjitjih lebih dari 10 tahun. Ia pun merasakan pentingnya Miss Tjitjih dalam kehidupan ia dan keluarganya meski kondisi yang ada jauh dari yang diinginkan. Bagi para anggota ini, selama Miss Tjitjih masih dapat tampil, segala kondisi siap untuk dihadapi, apapun yang terjadi.
(end/utw)