Cara Personel Miss Tjitjih Bertahan dan Putar Otak Demi Grup

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Minggu, 30 Agu 2015 15:09 WIB
Menurut Eneng, meski kemampuan organisasi Miss Tjitjih 'terseok-seok', namun untuk kualitas pentas, Miss Tjitjih belum terkalahkan.
Salah satu bagian panggung pementasan Miss Tjitjih. (CNN Indonesia/Endro Priherdityo)
Jakarta, CNN Indonesia -- Berada dalam lindungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 1987 ternyata tak menjadi jaminan kelompok sandiwara Miss Tjitjih dapat bernafas lega. Mereka masih berusaha bernafas dan berkegiatan, seadanya dan semampunya.

"Dana hibah sering terhambat, kami baru main saat Agustus ketika dana turun. Dari Januari hingga Agustus itu ya kami mati, tidur dulu," kata Eneng, anggota Kelompok Sandiwara Miss Tjitjih  ketika ditemui CNN Indonesia di kawasan Miss Tjitjih di Jalan Kabel Pendek Cempaka Baru, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Jumat (28/8).

Akibat keterlambatan anggaran yang cair, menyebabkan jadwal pementasan mereka menjadi super padat. Bila normalnya pementasan dilakukan setiap pekannya, akibat keterbatasan waktu, maka dalam satu pekan, terpaksa ada beberapa pementasan di lokasi yang berbeda-beda.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak jarang, mereka harus bekerja ekstra lebih keras agar pelaksanaan pementasan yang masing-masing berdurasi tiga jam dapat dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan supaya pada anggaran selanjutnya Miss Tjitjih tidak mendapatkan pemotongan anggaran lantaran ada dana yang tidak terserap.

"Ya dari pada uangnya dikembalikan dan dikurangi tahun depan, mending untuk kami, biar sedikit itu rezeki," kata Eneng. "Tampil hari ini di Jakarta besok beda kota sudah biasa, dari dulu seperti itu.”

Masa-masa berat rasanya sudah kepalang menjadi makanan sehari-hari bagi Eneng dan para pemain Miss Tjitjih yang lain. Ketika masa vakum terjadi setiap Januari hingga Agustus pun disikapi oleh para pemain yang berasal dari seluruh penjuru Jawa Barat ini dengan bijaksana.

Meski masing-masing dari para pemain ini memiliki pekerjaan sampingan lain mulai dari tukang ojek, pengamen, dan lain-lain, mereka tetap mengutamakan Kelompok Sandiwara legendaris ini tetap berjalan.

Kediaman para anggota Miss Tjitjih, Jalan Kabel Pendek Cempaka Baru Cempaka Putih. (CNN Indonesia /Endro Priherdityo)
"Kami kemarin pentas saja dulu biar tidak ada duit, dari pada bete nungguin uang tidak datang-datang, yang penting Miss Tjitjih tetap ada dan tetap jaya," kata Eneng. "Walaupun tidak ada penontonnya, yang penting main dengan happy," katanya sembari tersenyum.

Ya. Tidak jarang pementasan Miss Tjitjih sepi atau dapat dikatakan tidak ada penonton yang melihat. Eneng mengungkapkan, jumlah penonton terbanyak Miss Tjitjih pada umumnya adalah 50 orang, dan yang tersedikit tidak ada sama sekali, dan seringkali terjadi. Padahal, harga tiket hanyalah Rp10 ribu.

But show must go on. Itulah yang dipegang oleh Eneng dan kawan-kawan. Jiwa Miss Tjitjih yang meninggal akibat penyakit tubercolusis (TBC) puluhan tahun silam menjadi penyemangat penerusnya untuk tetap memberdayakan cerita-cerita rakyat tanah Sunda untuk tetap pentas menghibur rakyat.

Properti pertunjukan pementasan Miss Tjitjih masih tersimpan rapi. (CNN Indonesia/Endro Proherdityo)
Kalah Kualitas SDM

Kondisi Kelompok Sandiwara Miss Tjitjih yang kelewat bergantung kepada uluran dana pemerintah bukan tidak disadari oleh para anggotanya. Namun keterbatasan ilmu yang dimiliki oleh para anggotanya untuk mencari sumber dana lain menjadi salah satu faktor terhambatnya sponsor datang.

"Bukannya tidak mau mencari sponsor, tetapi bingung nyarinya bagaimana," kata Eneng. "Lagipula, Miss Tjitjih masih ada masalah terkait cara pengelolaannya.”

Eneng mengakui, ego masing-masing menunggu uluran tangan pemerintah masih kental di dalam kelompok sandiwara ini. Hal ini berbeda dengan kelompok sandiwara lainnya, misalnya  kelompok Wayang Barata, yang berasal dari orang Jawa.

Sekarang ketika Pak Ahok menjabat, memang ada kenaikan signifikan tapi bapaknya belum pernah menengok ke Miss Tjitjih, dahulu, Pak Sutiyoso dan Pak Fauzi Bowo sudah pernah datang melihat Miss Tjitjih,”Eneng, personel kelompok sandiwara Miss Tjitjih.
Menurut Eneng, Barata memiliki kemampuan organisasi yang lebih baik dibandingkan Miss Tjitjih. Mereka sanggup mendapatkan sponsor dengan kekuatan jaringan yang mereka miliki. Bagi Barata, ketersediaan uang bukan menjadi hal utama keberlangsungan teater. Bila tidak ada uang, maka akan dipikirkan setelah pementasan.

Ternyata kedua kelompok sandiwara tersebut sudah saling mengakui kehebatan dan kelemahan keduanya. Menurut Eneng, meski kemampuan organisasi Miss Tjitjih 'terseok-seok', namun untuk kualitas pentas, Miss Tjitjih belum terkalahkan.

Kini Miss Tjitjih masih tetap menjalankan roda sandiwara yang berjalan sejak puluhan tahun silam. Mereka telah mengalami berbagai kepemimpinan Jakarta, dan terus berharap semakin baik dari waktu ke waktu.

"Sekarang ketika Pak Ahok menjabat, memang ada kenaikan signifikan tapi bapaknya belum pernah menengok ke Miss Tjitjih, dahulu, Pak Sutiyoso dan Pak Fauzi Bowo sudah pernah datang melihat Miss Tjitjih,” kata Eneng mengenang.

(end/utw)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER