Berpentas Tanpa Naskah Miss Tjitjih Diteriaki Penonton

Endro Priherdityo | CNN Indonesia
Minggu, 30 Agu 2015 15:38 WIB
Hingga saat ini, Miss Tjitjih masih kerap menerima permintaan 'perpanjangan waktu' tampil ketika mereka pentas di daerah-daerah.
Spanduk pertunjukkan Miss Tjitjih. (CNN Indonesia/ Endro Priherdityo)
Jakarta, CNN Indonesia -- Kepiawaian Nyi Tjitjih dalam menarik perhatian para kompeni dan masyarakat Sunda di kala 1928 sudah tak terbantahkan. Kepiawaian berakting, menari, dan bernyanyi mojang Sumedang tersebut menjadikan Kelompok Sandiwara Miss Tjitjih mencapai puncak kejayaannya.

Kini, setelah sekian puluh tahun sejak Nyi Tjitjih meninggalkan kelompok sandiwara tersebut lantaran TBC, kepiawaian para penerusnya masih menjadi andalan dari kelompok yang kini berada di bawang naungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tersebut.

"Dari dahulu kami tidak pernah menggunakan naskah," kata Eneng, anggota Komunitas Sandiwara Miss Tjitjih ketika ditemui CNN Indonesia di kawasan Miss Tjitjih di Jalan Kabel Pendek, Cempaka Baru, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengaku tidak pernah menggunakan naskah selama hidup pementasan Miss Tjitjih, kelompok yang menjadi salah satu opera tertua di Jakarta ini hanya menggunakan sinopsis cerita dari yang dikarang oleh sang sutradara.

Cerita yang semua hanya berada dalam otak sang sutradara, lalu diceritakan kepada seluruh anggota, tanpa adanya naskah. Diceritakan per bagian, lalu semua tim mengerjakan kebutuhan per bagian, dan tanpa disuruh oleh sang sutradara.

"Cuma diceritakan benang merahnya saja, langsung latihan, bila ada yang belum sreg oleh sutradara tinggal evaluasi," kata Eneng. "Seluruh bagian pementasan adalah impovisasi dari pemain."

Meski tanpa naskah, namun jangan kira penampilan Miss Tjitjih berantakan. Kualitas penampilannya kadang lebih baik dibandingkan dengan yang menggunakan naskah. Eneng mengaku opera Jawa Barata mengakui keunggulan Miss Tjitjih ini.

Kisah yang dituturkan oleh Miss Tjitjih tergolong akrab bagi 'urang' Sunda yang memang menjadi penonton setianya. Cerita rakyat seperti Sangkuriang, Sumur Bandung, menjadi favorit dari para penonton. Namun, kisah asli Jakarta seperti Si Manis Jembatan Ancol pun juga dibawakan apik dengan bahasa Sunda oleh Miss Tjitjih.

"Kami di sini semuanya tidak ada yang belajar khusus teater, tidak ada yang dari sanggar ataupun sekolah, mulai dari pemain hingga pendekor semuanya belajar sendiri, dari Miss Tjitjih ini," kata Eneng.

Dua anggota komunitas Miss Tjitjih sedang mempersiapkan properti pertunjukkan. (CNN Indonesia/ Endro Priherdityo)

Cerita-cerita tersebut sekali lagi tanpa didokumentasikan dalam bentuk tulisan, semua berasal dari pemikiran sang sutradara, Imas, yang memikirkan setiap bagian-bagian pementasan, alur cerita, pemeran karakter, lalu kemudian memonitoring serta mengevaluasi bila ada kekurangan.

Namun baru setahun terakhir, naskah mulai dibuat oleh Miss Tjitjih. Hal itu disebabkan untuk memenuhi pertanggungjawaban dana hibah yang mereka gunakan dari Pemprov DKI Jakarta. Pelaporan tersebut mensyaratkan dokumentasi berupa naskah, hingga spanduk.

"Dahulu mah kalau spanduk hilang ya bodo amat, sekarang tidak bisa, spanduk-spanduk masih teteh simpan hingga menumpuk, karena akan ditanya saat audit," kata Eneng. "Bukan cuma yang tercetak, sekarang ada juga yang berbentuk video."

'Insiden' Monas

Salah satu bukti yang menunjukkan kepiawaian sandiwara dan pementasan tanpa naskah oleh Miss Tjitjih adalah reaksi penonton setiap kali kelompok ini manggung, baik di daerah ataupun di tengah kota Jakarta.

Eneng menceritakan bahwa sambutan penonton sangat baik setiap kali Miss Tjitjih tampil, pilihannya adalah penonton yang membludak atau Miss Tjitjih tidak diperkenankan untuk turun dari panggung, bila tak ingin mendapatkan hujan protes dari penonton.

"Pernah Miss Tjitjih tampil di Monas pada 2014 kemarin, penontonnya tidak ingin kami turun panggung, pas udah selesai dan ingin turun kami malah diteriaki oleh penonton untuk tetap di panggung dan main terus, mau turun malah diancem," kata Eneng.

'Insiden' Monas tersebut bermula ketika Miss Tjitjih harus mengisi acara panggung di pesta rakyat yang digelar di Silang Monas pada 2014 silam. Miss Tjitjih kedapatan jadwal pentas pukul 20.00 WIB setelah dua hari sebelumnya pentas di Bandung dan baru menuju Jakarta pada pagi hari.

Setelah mengisi cerita Gagak Solo dan usai pukul 23.00 WIB, para pemain Miss Tjitjih niatnya ingin berpamitan undur diri, namun bukan tepuk tangan yang diterima justru teriakan untuk tetap di panggung dan terus main hingga penonton puas.

Melihat permintaan 'sangar' tersebut, Miss Tjitjih pun menambah cerita, dengan mendadak dan improvisasi, hingga pukul 24.00 WIB. Namun penonton menginginkan Miss Tjitjih tetap di panggung dan terus main, meskipun pihak penyelenggara sudah menyudahi pertunjukkan.

Namun pihak penyelenggara pun tak dapat berbuat banyak akibat 'todongan' penonton yang tak terbendung dengan alasan jarang melihat Miss Tjitjih tampil. Hingga akhirnya, Miss Tjitjih rela kembali mentas hingga pukul 2.00 WIB dini hari.

"Penonton justru 'ngatain' penyelenggaranya 'enggak bener'," kata Eneng sembari tertawa.

Hingga saat ini, Miss Tjitjih masih kerap menerima permintaan 'perpanjangan waktu' tampil ketika mereka pentas di daerah-daerah. Namun, karena semua dilakukan atas dasar cinta kepada Miss Tjitjih, para pemain tidak ada yang merasa keberatan ataupun letih dan bosan dengan opera Sunda dari zaman kolonial yang pernah menjadi persembunyian pejuang kemerdekaan ini.

(end/utw)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER