Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Kepolisian Daerah Bali menyatakan pelarangan seluruh sesi 1965 di
Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) yang bakal digelar 28 Oktober-1 November dilakukan atas pertimbangan Kapolres Gianyar selaku penanggung jawab keamanan di lokasi acara digelar.
“Kapolres selaku pembina kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat) menyampaikan diskusi (1965) itu tidak sesuai dengan agenda pokok acara, yakni kesenian,” kata Kapolda Bali Inspektur Jenderal Sugeng Priyanto kepada CNN Indonesia, Minggu (25/10).
Kapolres Gianyar, menurut Sugeng, menghadiri langsung rapat dengan panitia penyelenggara UWRF. “Saya sendiri tidak menghadiri rapat itu. Tapi saya diundang ke pembukaan (UWRF). Tidak ada tekanan (kepada Kepolisian). Sama sekali tak ada tekan-menekan,” ujar Sugeng.
Setahu dia, acara UWRF mencakup pameran seni. “Acara berkesenian, kok tiba-tiba ada diskusi tentang PKI dan 1965. Saya tidak tahu kalo ada acara diskusi PKI dan politik di dalamnya,” kata Sugeng.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kapolres Gianyar, kata Sugeng, memiliki pertimbangan yang tentu disesuaikan dengan kondisi keamanan di wilayahnya.
“Kapolres lapor ke saya, acara itu (diskusi 1965) tidak terlalu relevan. Dia tahu persis kenapa, dan mengimbau acara itu ditiadakan,” ujar Sugeng.
Deretan acara bertema 1965 yang ditiadakan di UWRF meliputi tiga diskusi panel, satu pemutaran film, pameran, dan peluncuran buku. Tiga diskusi yang telah dibatalkan itu berjudul
1965, Bearing Witness;
1965, Writing On; dan
1965, Bali.
Sementara film yang batal diputar ialah
The Look of Silence (Senyap) karya Joshua Oppenheimer. Seluruh pembatalan ini, menurut Direktur UWRF Janet DeNeefe, merupakan tamparan besar bagi panitia. Ia menyebut sensor dari otoritas ini sebagai hal kejam yang baru pertama kali terjadi sepanjang 12 tahun penyelenggaraan UWRF.
Tema 1965 sebelumnya menjadi bahasan terbuka di
Frankfurt Book Fair. Namun di Indonesia, diskusi soal ini menjadi sensitif lantaran tahun ini bertepatan dengan peringatan 50 tahun G30S.
Pelarangan diskusi-diskusi 1965 ini turut menuai kecaman dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Hal ini disebut sebagai pengekangan terhadap hak asasi manusia untuk berpendapat dan berekspresi, serta berpotensi mendorong Indonesia kembali ke era Orde Baru.
Pada 1965, pembunuhan massal terjadi di berbagai daerah di Indonesia yang dipicu oleh peristiwa G30S, yakni tragedi berdarah pada 30 September malam di mana tujuh perwira tinggi militer Indonesia beserta beberapa orang lainnya dibunuh.