Jakarta, CNN Indonesia -- Menonton
The Look of Silence alias Senyap, film dokumenter ke-dua Joshua Oppenheimer yang masih menceritakan peristiwa 1965, kini tak perlu lagi sembunyi-sembunyi. Kalau pemutaran film itu di beberapa lokasi, termasuk di Yogyakarta dan Bali, dibubarkan aparat, kini publik yang penasaran bisa menontonnya gratis.
Sejak Kamis (10/12) pukul 19.00 WIB, Joshua menggratiskan film dokumenter yang berbicara lewat kaca mata Adi Rukun sebagai anggota keluarga korban peristiwa 1965 itu.
The Look of Silence bisa diunduh bebas di situs web-nya, pun ditonton di YouTube. Sebelumnya, film itu baru bisa ditonton jika meminta DVD ke Anonymous, distributor di Indonesia.
Digratiskannya
The Look of Silence bertepatan dengan momen Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia yang jatuh setiap 10 Desember. Berbicara peristiwa 1965 memang tak bisa lepas dari HAM. Sekian banyak korban dibunuh hanya karena dicap Partai Komunis Indonesia (PKI), tanpa pernah diketahui siapa pelaku pembunuhnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara keluarga yang tak tahu menahu, tak bisa "hidup normal" dengan cap yang menghantui mereka.
Saya tidak berencana membuat diptych The Act of Killing dan The Look of Silence menjadi sebuah trilogi. Jika ada babak ke-tiga, dan babak ke-empat, dan babak-babak selanjutnya, maka babak itu adalah milik orang Indonesia.Joshua Oppenheimer |
Setelah 50 tahun terpendam, Joshua merasa masyarakat dan pemerintah Indonesia seharusnya sudah siap untuk memperbincangkan peristiwa itu secara terbuka agar tak selamanya terjebak dalam trauma masa lalu.
The Look of Silence, seperti film sebelumnya
The Act of Killing, berupaya memulihkan trauma itu.
Joshua ingin filmnya disebarluaskan melalui seluruh saluran, agar dapat ditonton sebanyak-banyaknya masyarakat Indonesia. Ia bahkan tak berharap imbalan, karena seperti yang pernah ia katakan, "Film ini adalah surat cinta saya untuk masyarakat Indonesia. Jadi sudah seharusnya diperuntukkan bagi Indonesia."
CNN Indonesia mewawancarai Joshua, yang kini berada di Los Angeles dan belum menginjakkan kaki lagi di Indonesia sejak filmnya dirilis, melalui surat elektronik. Berikut hasil wawancara dengan sutradara muda yang film dokumenternya pernah menjadi nomine Academy Awards itu.
Apakah ada alasan merilis The Look of Silence secara gratis di Indonesia sekarang, setahun setelah pemutaran perdananya di Taman Ismail Marzuki?
The Act of Killing diluncurkan lewat streaming YouTube pada Desember 2013, sementara rilisnya 10 Desember 2012. Indonesia menonton The Look of Silence pada 10 Desember 2014. Dan kami memilih peringatan hari HAM Sedunia sebagai momentum dan pengingat kepada penonton mengenai pentingnya penghargaan terhadap hak asasi manusia. Kami berusaha mendekatkan film kami pada pesan kemanusiaan yang dibawanya.
Kami baru meluncurkan film The Look of Silence lewat internet setahun sesudah program "Indonesia Menonton Senyap" berjalan, agar memberi kesempatan terlebih dahulu bagi pemutaran dan diskusi yang mempertemukan penonton secara fisik. Sehingga, film kami tidak semata-mata menjadi sebuah tontonan tetapi juga menjadi ruang perbincangan.
Apakah Anda punya data pasti sudah berapa orang yang menonton The Act of Killing dan The Look of Silence?
Di Indonesia, sejak 10 Desember 2014 sampai hari ini telah terselenggara sekitar 2.000 pemutaran film The Look of Silence. Lebih dari 300 di antaranya adalah pemutaran terbuka, di 118 kota/kabupaten di seluruh provinsi di Indonesia dan menjaring lebih dari 70.000 penonton.
Film The Act of Killing, di Indonesia, kurang lebih telah menjangkau jumlah penonton yang sama lewat pemutaran dan diskusi film, sekalipun pemutaran terbuka yang diselenggarakan lebih sedikit. Lewat unduhan gratis dan streaming di YouTube, The Act of Killing telah mencapai kurang lebih satu juta penonton.
Jika Anda melihat video The Act of Killing, angka di sana menunjukkan 710.000 penonton. Angka tersebut adalah unggahan yang ke-tiga. Sebelumnya, ketika angka penonton sudah mencapai 150.000-an, video kami dihapus oleh YouTube dan gagal kami pulihkan. Maka kami mengunggahnya kembali.
Apakah Anda tidak merasa takut ada sensor dari pemerintah, mengingat di Ubud Writers and Readers Festival 2015 film The Look of Silence dibatalkan?
Saya kira tidak mungkin pemerintah Indonesia menutup akses masyarakat Indonesia ke YouTube seperti yang dilakukan terhadap Vimeo atau Reddit. Kami memanfaatkan semua saluran terbuka yang sulit dikendalikan atau dihalangi oleh pemerintah seperti Twitter, Facebook, juga YouTube.
Anda bekerja sama dengan Drafthouse Films, Participant Media, VHX, dan Final Cut for Real ApS serta Anonymous dari Indonesia yang membagikan film itu gratis, bagaimana semua bisa setuju?
Kami semua setuju, sejak awal proses produksi, sewaktu masih dalam proses pengambilan gambar, bahkan sebelum selesai penyuntingan, bahwa film apa pun yang dihasilkan dari proses produksi ini harus bisa dinikmati oleh masyarakat di Indonesia secara gratis.
Apa yang Anda harapkan dengan membagikannya secara gratis? Anda punya harapan lebih pada film ini?
Kami berharap bahwa dengan menyebarkan secara gratis, baik lewat distribusi DVD, kopi ke flashdisk, streaming, dan unduhan, kedua film kami dapat ditonton lebih banyak orang di Indonesia sehingga terbuka ruang yang lebih luas lagi bagi perbincangan mengenai trauma masa lalu serta bagaimana menghadapi serta mengatasinya hari ini dan di masa depan. Kami berharap, dengan demikian, film kami dapat membantu memulai sebuah proses penyembuhan.
Saat produksi maupun distribusi, apakah Anda pernah mendapat tekanan dari pemerintah, mengingat film ini mengangkat isu sensitif?
Tekanan dari pemerintah, lewat aparat di desa saya terima terus-menerus pada saat saya membuat film dan melakukan pengambilan gambar. Terutama jika saya melakukan pengambilan gambar bersama korban pembantaian massal 1965.
Secara langsung, saya tidak pernah mendapat tekanan dari pemerintah Indonesia sesudah film saya diluncurkan karena saya tidak pernah kembali lagi ke Indonesia. Saya sendiri tidak tahu apakah masih aman bagi saya untuk kembali ke Indonesia saat ini.
Di pihak lain, lembaga negara seperti Komnas HAM justru mendukung upaya kami dalam menyebarluaskan film The Look of Silence di Indonesia sebagai bagian dari program pendidikan dan penyuluhan hak asasi manusia.
Apakah Anda pernah mendapat kritik dari sesama sineas karena membuat film ini? Bagaimana dengan dukungan keluarga atau orang terdekat?
Saya bisa bertahan selama lebih dari satu dekade membuat dua film tentang kekejaman yang terjadi di Indonesia justru karena dorongan dari pembuat film lainnya—terutama dari produser eksekutif kami yang sangat berpengalaman dan terpandang di dunia perfilman yaitu Werner Herzog dan Errol Morris.
Selain itu, ayah dan ibu saya adalah seorang akademisi dan aktivis hak asasi manusia. Mereka sangat mendukung saya sepanjang perjalanan panjang ini, apalagi mengingat kakek dan nenek saya adalah penyintas yang lolos dari maut pembantaian NAZI Jerman pada Perang Dunia II.
Saya dibesarkan dalam keluarga yang berpandangan bahwa tujuan akhir dari semua politik, kesenian, dan moralitas adalah untuk mencegah kekejaman luar biasa seperti Holocaust berulang kembali di mana pun, kapan pun, dan kepada siapa pun.
Jika film Anda dibagikan secara gratis, lantas dari mana Anda dapat untung?
Proses pembuatan The Act of Killing dan The Look of Silence tidak didanai dengan model pembiayaan komersial, tetapi dengan pendanaan dari lembaga penelitian, seperti misalnya Royal Arts & Humanity Council (semacam LIPI di Inggris untuk ilmu humaniora).
Sejak awal, film kami memang tidak pernah berencana menjadikannya film komersial di Indonesia, dan kami tidak akan mengambil keuntungan atau meminta bayaran dari siapa pun di Indonesia. Oleh karena itu, untuk membiayai program distribusinya kami mengalihkan sebagian dari keuntungan distribusi film di luar Indonesia yang dijual lewat DVD atau dari tiket bioskop.
Selain itu film The Act of Killing dan The Look of Silence mendapatkan banyak penghargaan, dan sebagiannya berupa uang; dan ini tentu saja sangat membantu kami dalam mendistribusi film keduanya secara gratis di Indonesia.
Sebagai profesional, apa apresiasi yang ingin Anda dapat? Apakah penonton yang membuncah saja sudah cukup untuk Anda?
Apresiasi terbesar bagi saya adalah ketika penonton tersentuh oleh karya yang saya buat dan hal itu kemudian mengubah keadaan menjadi lebih baik. Saya ingin orang tidak saja menonton film saya, tetapi juga memperbincangkannya dan mencari jalan keluar dari masalah yang mereka hadapi bersama. Itu sebabnya, dalam distribusi film di Indonesia, saya bersama tim Indonesia mengutamakan pemutaran agar penonton bisa saling duduk bersama dan saling meminjam perasaan satu sama lain dan saling berbicara dengan menatap mata. Ini akan berdampak lebih kuat daripada ketika penonton filmnya sendiri-sendiri.
Saya berharap kedua film saya dapat membantu orang-orang di Indonesia memulai sebuah proses penyembuhan trauma yang telah terbengkalai setengah abad lamanya. Untuk itu, langkah pertama adalah membuat sebanyak mungkin orang di Indonesia menonton filmnya, lalu membicarakannya. Ini adalah langkah yang paling sederhana yang bisa dilakukan oleh penonton film.
Saya juga berharap banyak pada generasi muda di Indonesia agar mulai berpikir kritis terhadap apa yang selama ini mereka anggap sebagai sejarah. Saya tidak mungkin mengganti kurikulum sejarah nasional di Indonesia, tapi saya berharap generasi muda terilhami dan mulai memilah mana yang propaganda dan mana yang sejarah yang masuk akal. Setidaknya, walaupun tidak mungkin tuntas membenahi sejarah di Indonesia, generasi muda di Indonesia mulai belajar mengenai apa yang selama ini ditutup-tutupi dan mulai meragukan kebenaran propaganda yang selama ini disusupkan ke ruang-ruang kelas sebagai sejarah.
Menurut Anda, lebih baik film ditonton secara gratis atau orang harus membayar, yang menunjukkan bahwa mereka menghargai film itu?
Apresiasi dalam segala bentuk sangat diperlukan. Dan buat saya, uang hanyalah simbol praktis dari tenaga dan waktu yang dikeluarkan seseorang. Dan sebetulnya apresiasi dalam bentuk uang bisa muncul dalam bentuk aslinya: dalam bentuk kontribusi kerja. Ada lebih dari 3.000 pemutaran The Act of Killing dan The Look of Silence di seluruh Indonesia, dan itu bisa terselenggara karena orang-orang mau meluangkan waktu dan tenaganya.
Di Indonesia hal ini terjadi karena kami harus berhadapan dengan bioskop komersial yang mengandalkan apresiasi dalam bentuk uang. Dan bioskop komersial tidak mau memutarkan film kami karena kedua film kami tidak punya surat lolos sensor dari Lembaga Sensor Film (LSF). Jadi bisa dilihat, ketika sistem apresiasi dalam bentuk uang—dengan kata lain komersial—tidak berjalan, bentuk apresiasi dalam bentuk lain—dalam bentuk kontribusi kerja dan pengorganisasian—menjadi sangat diperlukan dan bisa berhasil. Bisa dikatakan, para penyelenggara pemutaran film berhasil membangun sendiri jaringan bioskop alternatif bagi penonton yang tak akan dijangkau oleh jaringan bioskop komersial.
Apa proyek Anda selanjutnya? Masih akan berkutat mengeksplorasi masa lalu kelam masyarakat Indonesia?
Saat ini saya sedang mengerjakan film mengenai keserakahan dan kebodohan. Tetap mengeksplorasi kegelapan kemanusiaan, tapi tidak diambil gambarnya di Indonesia.
Rasanya, bagi saya, semua tentang Indonesia yang bisa saya angkat ke dalam film sudah saya tuangkan ke dua film saya, The Act of Killing dan The Look of Silence. Apa pun yang mungkin saya angkat tentang Indonesia ke dalam film hanya akan menjadi perulangan saja.
Saya tidak berencana membuat diptych (dua gambar yang bersisian) The Act of Killing dan The Look of Silence menjadi sebuah trilogi. Jika ada babak ke-tiga, dan babak ke-empat, dan babak-babak selanjutnya, maka babak itu adalah milik orang Indonesia.