Jakarta, CNN Indonesia -- Karya-karya sketsa dan gambar maestro lukis Srihadi Soedarsono akan dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, pada 11-24 Februari 2016 mendatang.
Pameran bertajuk
70 Tahun Rentang Kembara Roso itu merupakan perjalanan spiritual sekaligus proses kreatif Srihadi selama 70 tahun. Kini, ia berusia 84 tahun.
Pembukaan pamerannya nanti akan dibarengi peluncuran buku
Srihadi Soedarsono: 70 Years Journey of Roso.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Karier pria kelahiran Solo, 4 Desember 1931, ini mengalami proses kreatif yang dihela roso. Berawal dari geometris sintetik saat kuliah di Balai Pendidikan Universiter Guru Seni Rupa Fakultas Teknik Universitas Indonesia yang untuk sementara berkedudukan di Fakultet Teknik Bandung (sebelum menjadi Institut Teknologi Bandung/ITB).
Pada 1960-an, goresannya bergerak ke abstrak dengan spontanitas warna. Lalu, pada 1970-an impresionis lewat cat air dan ekspresionis lewat cat minyak. Sejak 1980-an hingga sekarang, karyanya lebih sederhana dengan garis horizon kuat dan figur-figur puitis yang terinspirasi Zen.
Roso menjadi kata kunci mengapresiasi karya-karya Srihadi yang sudah melampaui perkara teknis atau mekanistik dalam praktik seni rupa. Roso—yang tak dapat digantikan dengan “rasa (
feeling)”—mendorongnya untuk belajar tak kenal henti.
“Awal berkarya didorong roso, kalbu, dengan menggali ke dalam diri sendiri untuk kemudian diekspresikan,” ujar Srihadi saat acara jumpa wartawan di Jakarta, pada Rabu (17/1).
Lebih dari 400 karya bermedia kertas dari periode 1946-2015 akan ditampilkan. Bentuknya poster perjuangan di era Revolusi Kemerdekaan RI, cat air, gambar, sketsa, dan lukisan pastel.
Selain itu, terdapat tujuh lukisan dengan tema penari bedoyo, Borobudur, pemandangan ritual masyarakat petani, dan penari Bali, semua berukuran lebih dari satu meter persegi.
Setumpuk sketsa dan gambar itu didapat dari diskusi Srihadi, sang istri Sitti Farida, dan kurator pameran Rikrik Kusmara yang juga pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.
Ketiganya mengulas karya-karya Srihadi yang masih tersimpan dan belum diketahui publik. Rikrik dibuat tercengang selain oleh materi yang terkumpul, juga pada sosok Srihadi dan Farida.
“Mereka menunjukkan sebagai intelektual yang mengarsipkan seluruh perjalanan karier Srihadi sejak 1946, dan sebagian besar karyanya berbasis kertas,” ujar Rikrik. “Dari situ diskusi kami perdalam bahwa ini energi lain yang belum disampaikan pada publik.”
Dari situ, diskusi “
journey” mulai intens di antara ketiganya hingga diputuskan roso, dimensi kuat dalam diri dan karya-karya Srihadi, diangkat jadi tema pameran.
Saya melihat kemaestroan, kelengkapan, dan pembuktian Srihadi ditunjukkan dengan sophistication yang tinggi. Dia menunjukkan roso.Rikrik Kusmara, kurator pameran |
Saat berada di luar studio, Srihadi tak pernah jauh dari kertas. Kebiasaannya bepergian sambil membawa alat gambar sesederhana apa pun. Dia produktif membuat sketsa dan gambar yang merekam hampir semua peristiwa yang diamatinya, baik di dalam negeri maupun dalam kegiatan lawatan ke berbagai negara.
Sketsa dan gambar ini umumnya dikerjakan dengan teknik gambar menggunakan pena atau arang serta cat air. Seperti yang hari itu dibawa,
Warsaw (1984),
D. Setiabuddhi (1948), dan
Borobudur (1948).
Sketsa dan gambar ini selama puluhan tahun hanya disimpan karena niat awalnya hanya difungsikan sebagai sketsa, bahan mentah sebelum dijadikan lukisan.
Dari tumpukan itulah tampak kemaestroan Srihadi. Perjalanan estetisnya lengkap dengan kepiawaian membuat dimensi sketsa ke gambar—tahap lanjut dari sketsa—ketika seniman menambahkan unsur-unsur lain seperti pastel, pensil, arang, atau tinta.
Pada tahap berikutya, tahap cat air, Srihadi memunculkan dimensi lain dengan menempatkan warna dan garis. Tahap cat air butuh kontemplasi yang lebih dalam.
Secara keseluruhan, kita dapat mengulas cara pandang Srihadi terhadap dunia. Garis yang membelah horizon, misalnya, adalah cara Srihadi menunjukkan Tuhan dan bumi, keberadaan dan ketiadaan. Sehingga pada tahap ke-empat, lukisan di atas kanvas, lukisan Srihadi layaknya zikir yang terus mencari makna.
“Saya melihat kemaestroan, kelengkapan, dan pembuktian Srihadi ditunjukkan dengan
sophistication yang tinggi,” kata Rikrik. “Dia menunjukkan roso. Dimensi batin harus sensitif dalam hidup, dalam melihat si miskin, ciptaan Tuhan, dan menyatakannya dalam karya.”
 Warsaw(1948) karya Srihadi. (CNN Indonesia/Silvia Galikano) |
(1958) karya Srihadi. (CNN Indonesia/Silvia Galikano) |
Anak-anak Irian dan Coca-cola (1974), misalnya. Lukisan kanvas yang menampilkan dua bocah Papua, kurus, tak mendapat akses pendidikan, tapi mudah sekali mendapat Coca Cola.
Roso, hal kodrati yang diberi Tuhan, disuburkan oleh kultur Jawa-nya, dan melalui kontemplasi dalam meditasi. Masa ke masa, kalbu harus terus dibina dan dibersihkan agar karya seni yang dihasilkan selalu bercampur kebenaran. “Bisa dikatakan itu transendensi kejiwaan kita,” kata Srihadi.
Farida menjelaskan asal muasal roso ini jauh ke masa kecil suaminya saat masih tinggal di Solo. Eyang kakung dan eyang putri Srihadi, yang juga budayawan, menggembleng sang cucu sejak berusia tiga-empat tahun dengan mengajak pergi ke pasarean, makam-makam wali, dan bermalam di sana.
Sebelum berzikir, eyangnya berpesan agar si bocah ini diam saja, menyerap sekeliling. “Kalau ada yang jatuh, ambil, simpan,” kata Farida menirukan ucapan eyang.
Cara lain, eyang kakung Srihadi punya sekotak wayang kulit yang ditatah dengan sangat baik. Sewaktu tidak sibuk, dia mengajarkan baik dan buruk yang dilambangkan warna-warna wayang.
Laku yang dijalani bersama-sama, bukan yang tua menggurui yang muda, membuat Srihadi dapat merasakan getaran melalui warna-warna, bahkan bunga jatuh, sejak usianya empat tahun.
Garis horizon pun didapat dari perenungan, kontemplasi berulang-ulang, hingga masuk ke ranah yang harus dirumuskan bahwa karya ini adalah simbol, esensi sebuah pemikiran.
Setelah mencapai puncak, Srihadi tetap ingin meneruskan perjalanan, berkarya di bidang seni rupa karena seniman atau pelukis tidak kenal pensiun. Tinggal kualitas yang akan terus dikembangkan.
“Hanya saja kita tidak tahu, masih berapa lama lagi kita berkembang,” ujarnya.
(sil/vga)