Berjihad Tanpa Bom Lewat Senandung Nasyid

CNN Indonesia
Minggu, 28 Mei 2017 13:20 WIB
Bagi sebagian musisi nasyid, bernasyid bukan hanya soal bermusik sesuai pemahaman agama. Mereka menjadikan nasyid sebagai ladang jihad menegakkan agama Islam.
Bagi sebagian musisi nasyid, bernasyid bukan hanya soal bermusik sesuai pemahaman agama. Mereka menjadikan nasyid sebagai ladang jihad menegakkan agama Islam. (Dok. Izzatul Islam)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bagi sebagian musisi nasyid atau biasa disebut munsyid, nasyid bukan hanya soal menyanyi melainkan terkait kepercayaan akan agama yang diyakini, yaitu Islam. Mereka melepaskan keinginan mengeruk keuntungan dari nasyid, meski kadang atas nama keyakinan pula mereka rela merugi.

Afwan Riyadi tengah bersiap diri ketika CNNIndonesia.com mendatanginya. Dia dan kelompok nasyidnya, Izzatul Islam, akan tampil di sebuah kesempatan di Sukabumi, akhir pekan beberapa waktu lalu. Mereka sudah dari pagi buta berangkat dari kediaman masing-masing yang berada di sekitaran Depok, Jawa Barat.

“Kalau bagi kami, nasyid itu intinya musik Islami yang membawa kedekatan ke Allah dan juga tentang perjuangan Islam,” kata Afwan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Sedangkan kalau nasyid harokah, beda bentuk dengan Raihan yang Melayu dan Snada yang pop, harokah ini musiknya mars, liriknya perjuangan jihad, namun dalam konteks yang positif ya, bukan nge-bom-in orang,” lanjutnya sembari tersenyum.
Afwan adalah salah satu saksi perkembangan nasyid mulai dari hanya dalam bentuk nyanyian oleh mahasiswa aktivis lembada dakwah kampus (LDK) di musala, melainkan hingga terkenal ke seantero negeri, hingga kini senyap dari hingar bingar panggung nasional.

Izzatul Islam telah ia dan teman-temannya rintis sejak 1991, saat masih menjadi mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Indonesia, Depok. Kala itu, mereka, kata Afwan, kerap bertemu di musala FMIPA sehabis waktu salat di sela-sela padatnya jadwal kuliah.

Ternyata Afwan dan teman-temannya kala itu punya kebiasaan yang sama, bernasyid. Mereka pun kerap latihan nasyid di musala yang namanya menjadi nama grup nasyid mereka hingga kini.

“Dahulu nasyidnya bahasa Arab, tentang Palestina, Afghanistan, Bosnia, itu yang menjadi DNA dari musik nasyid kami,” kata Afwan.

“Ketika kami mendirikan grup ini, kami ingin membangkitkan kaum Muslimin, bahwa ada banyak tugas bagi umat Muslim, mari berjuang bersama dan ini adalah yang bisa kami berikan dalam rangka berjuang demi kejayaan Islam,”

[Gambas:Youtube]

Untung Sendiri, Rugi Sendiri

Meski memiliki DNA tentang perjuangan Palestina, namun Izis -begitu grup ini sering disebut oleh penggemarnya- merilis album debut tentang Indonesia pada 1994. Album tersebut bertajuk Seruan.

Kini, setelah 20 tahun berdiri, Izis memiliki 15 album yang semuanya dibuat secara indie, telah melaksanakan delapan konser tunggal, dan memiliki ribuan penggemar yang tersebar di Indonesia dan Malaysia. Konser dua dekade grup ini yang dilangsungkan di Depok pada Januari lalu sukses dihadiri sekitar dua ribu orang.

Bahkan, beberapa operator seluler sudah menaruh minat bekerja sama dengan grup musik ini untuk memberikan ruang di layanan musik streaming.

[Gambas:Youtube]

Namun gambaran kesuksesan itu hanyalah yang terlihat dari luar. Di baliknya, Afwan mengaku grup ini kerap merugi lantaran album yang tak laku. Seingat Afwan, capaian tertinggi penjualan album ini adalah sekitar 50-100 ribu kopi, yang terjadi pada awal 2000 silam.

Bahkan ketika era bergeser ke digital, album karya Izis luluh lantak. Faktornya, yang terbesar adalah pembajakan secara berjemaah. Beberapa lagu Izis yang terkenal adalah Sang Murabbi, Generasi Harapan (Pemuda Kahfi), Rabitah, Selamat Tinggal Sahabat, dan Hai Mujahid Muda.

Tapi Afwan dan tujuh personel lainnya tampaknya santai menyikapi kerugian tersebut. Mereka bersiasat menutupi kerugian tersebut dengan menyelenggarakan konser. Dan beruntungnya, masih ada sumber pendapatan lain.

[Gambas:Youtube]

“Ya karena pakai uang sendiri, untung ya untung sendiri, rugi ya rugi sendiri,” kata Afwan. “Lagi pula, ini bukan pekerjaan utama kami, kami masing-masing punya profesi, ada yang pengajar, ada programmer, ada psikolog. Ini hanya bentuk sumbangsih dan passion kami, sulit dibandingkan dengan musisi lain yang total.”

“Untuk yang dapat secara unduh di internet kami ikhlaskan saja. Kalau tidak begitu, sakit hati sendiri. Kadang kami juga menyiasatinya dengan menyediakan dalam bentuk flash disk.

[Gambas:Youtube]

Jihad di Panggung Seni

Melalui sambungan telepon di waktu berbeda, Rikrik Hartadi, salah satu musisi nasyid harokah, juga menceritakan bagaimana nasyid harokah bukan hanya sekadar hiburan bagi penggemarnya, namun juga menyemangati nilai yang mereka sebut sebagai jihad.

“Harokah itu maknanya pergerakan, dakwah itu kan menyeru ke jalan yang lebih baik. Nah untuk itu, tidak cukup hanya dengan kata namun juga perbuatan, dan membutuhkan energi. Pasti merasa letih, nah hiburannya senandung dakwah yang mengingatkan surga dan kemuliaan,” kata Rikrik.

"Nasyid ini lebih kepada penyemangat dan pengingat akan tujuan hidup bukan hanya dunia, namun akhirat. Ada kata-kata 'jihad' atau 'syahid', itu sudah selayaknya ada dalam diri Muslim."

[Gambas:Youtube]

Rikrik memulai berkecimpung menjadi munsyid saat membentuk grup Shoutul Harokah pada 31 Desember 2001 di Bandung bersama delapan aktivis dakwah lainnya. Kini, Shouhar tinggal tersisa tujuh personel. Ia pun termasuk yang mendirikan Asosiasi Nasyid Nusantara.

Selama 15 tahun menjadi munsyid, grup yang dikenal oleh para penggemarnya dengan nama Shouhar itu sudah memiliki enam album, yaitu Derap Keadilan (2002), Tak Kenal Henti (2004), Ini Langkahku (2006), Bangkitlah Negeriku (2008), Bekerja untuk Indonesia (2012), dan Palestina Milik Kita (2016). Penggemarnya pun tersebar hingga ke Malaysia.

Grup ini juga pernah mencatat beberapa penghargaan seperti Grup Nasyid Haroki Terfavorit pada Indonesia Nasyid Awards selama lima tahun berturut-turut dan RBT Terbanyak dari Indie Label salah satu operator telekomunikasi pada 2009.

[Gambas:Youtube]

“Berbicara jihad, memang banyak kami singgung namun bukan untuk berantem, makna jihad itu bersungguh-sungguh, dan ini konteksnya dapat berbeda masing-masing individu. Misal siswa SMP yang sedang UN, berarti mereka berjihad untuk masa depannya. Dalam peperangan, misalnya seperti di Palestina,” kata Rikrik.

“Kami menganggap ini tantangan kami membuat masyarakat mengerti. Dan kami pendekatannya melalui panggung seni. Musik itu bahasa universal, kami libatkan juga bentuk lain, misal kami pernah tampil dengan orkestra dengan musisi Bandung lainnya. Kami membuat bagaimana musik ini dapat dinikmati semua orang, bahkan ada yang membuat musik kami sebagai lagu gerakan aerobik.”

Senada dengan Afwan, sebagai musisi indie, Rikrik dan Shouhar sudah akrab dengan untung-rugi menjalankan ‘misi’ sebagai munsyid. Ia pun mengakui, lagu mereka termasuk yang paling sering dibajak. Beberapa lagu populer mereka adalah Merah Saga, Bangkitlah Negeriku, Bingkai Kehidupan, dan Hadapilah.

[Gambas:Youtube]

“Kami mengalami pembajakan juga, hari ini launching, pekan depan bajakannya sudah ada,” kata Rikrik santai. “Pada akhirnya dihalalkan saja, nyantai saja. Shouhar juga tidak hanya hidup dari nasyid, nasyid adalah bagian lain yang penting untuk dihidupkan

“Saya tidak berharap hidup dari nasyid, memang ini bukan profesi penghasilan untuk jadi nafkah. Karena kami sadar industri nasyid ini memang belum bisa jadi mata pencaharian. Sehingga ketika kami bertekad dakwah di sini, kami bertekad mengamankan dapur kami masing-masing dahulu, jadi kami berkarya nothing to lose.

[Gambas:Youtube]

Bukan Proyek Ramadan

Baik Afwan dan Rikrik sepakat bahwa nasyid, meski kadang naik dan turun, namun bukan hanya sekadar proyek hiburan religi jelang momentum Ramadan. Afwan bahkan yakin, dengan penggemar nasyid yang memang sudah tersegmentasi akan mempertahankan genre ini tetap ada.

“Ramadan memang pasar nasyid, tapi itu untuk umum. Kalau yang seperti kami itu tidak,” kata Afwan yang mengaku setiap bulan selalu ada konser off-air di berbagai daerah.

“Nasyid itu seperti naik bukit turun lembah. Dekade 90-an kenal nasyid sampai 2000-an masuk ke TV, sampai ada kontes idolanya, setelahnya turun, naik lagi, turun lagi, kini 2017 coba mulai bangkit kembali,” lanjutnya.
“Kalau menurut saya, secara pribadi tidak setuju, nasyid itu sepanjang masa. Namun pasar yang menentukan. Memang kondisi Ramadan atmosfernya religius baik oleh TV atau media, dan semua acara memerlukan nasyid untuk mendukung suasana tersebut. Taruhlah seperti Bimbo sebagai contohnya,” kata Rikrik, dalam kesempatan terpisah.

Namun Rikrik sendiri mengaku bahwa selama Ramadan, ia dan Shouhar tidak mengambil tawaran manggung dengan alasan agar dapat menjalankan ibadah dengan penuh. Namun di luar Ramadan, adalah waktu-waktu yang sibuk bagi kelompok nasyid asal Bandung ini.

“Sepanjang 2017 saja kami sudah tampil di Padang, Medang, Bandung beberapa kali, dan daerah Jawa Barat lainnya. Mei ini ada di Lombok dan Lampung. Usai Ramadan, kami ada acara di Padang Sidempuan.”
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER