Saya tidak memiliki ekspektasi terhadap film Bucin. Pasalnya film ini merupakan debut penyutradaraan Chandra Liow yang belum memiliki sepak terjang dalam film panjang.
Alasan lain adalah karena naskah film ini ditulis oleh Jovial da Lopez. Meski ia sudah beberapa kali menulis naskah sejumlah film, belum ada karya Jovi yang berkesan bagi saya.
Ternyata, tanpa ekspektasi apa pun Bucin adalah film yang buruk. Menjadi konten orisinal layanan streaming Netflix ketiga asal Indonesia juga tidak menjamin bahwa film ini pasti bagus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Secara garis besar, film ini mengisahkan sekelompok pertemanan yang mengikuti kelas anti budak cinta alias bucin. Mereka adalah Tommy, Dovi, Jovi dan Chandra, nama karakter itu sama dengan nama pemeran di dunia nyata.
Lihat juga:Rekomendasi Film Akhir Pekan, Enola Holmes |
Awalnya mereka tidak ingin mengikuti kelas bucin karena merasa tidak butuh, namun akhirnya mereka sepakat untuk mengikuti kelas itu. Ternyata kelas tak berjalan sempurna dan menghancurkan pertemanan mereka.
Cerita film sebenarnya sederhana tetapi bisa menjadi menarik karena menangkap istilah Bucin yang tengah ramai digunakan. Dan bisa dibilang menangkap sebuah fenomena dalam suatu hubungan di era digital.
Setelah menonton sampai habis, saya tidak merasakan ada yang menarik dari film bergenre drama komedi ini. Pun cerita yang seharusnya menarik dan memancing tawa justru membosankan dan garing alias tidak lucu.
Nampaknya film ini sudah bermasalah sejak awal, berpusat pada naskah yang ditulis Jovi. Naskah yang ia tulis seperti belum utuh, belum matang dan kurang jelas apa yang mau dituju.
Naskah yang terkesan tidak utuh terlihat dari empat karakter utama yang kurang jelas dan kurang dieksplorasi. Sepanjang film, back story empat karakter tersebut hampir tidak ada. Seketika mereka bersahabat dan memiliki masalah cinta.
Terlebih kemunculan karakter Chandra dalam film ini sama sekali tidak penting. Selain karena ia diceritakan jomblo dan tidak bucin tetapi tetap ikut kelas, peran Chandra tidak berguna.
Saya rasa film ini bisa berjalan dengan baik tanpa kehadiran karakter tersebut. Pada akhirnya memunculkan karakter Chandra dalam film ini terasa seperti formalitas belaka.
Kemudian, ketidakmatangan naskah terlihat dari adegan-adegan komedi yang sangat-sangat tanggung. Film ini banyak mengaplikasikan komedi secara verbal dan fisik (slapstick) yang mayoritas tidak lucu. Bahkan membuat tersenyum saja tidak.
Salah satu adegan komedi yang paling tidak lucu adalah ketika Chandra mengulang dialog kemudian dia sendiri berkata, 'enggak usah diulang-ulang kenapa sih? udah kayak retake, ciah anak film'.
Bergidik saya melihat adegan itu. Apalagi ketika dialog serupa diulang pada adegan lain hingga menjadi semakin tidak lucu dan membosankan.
Saya sempat merasa optimis karena pada akhir film ada plot twist yang bisa membayar berbagai kekurangan dalam film ini. Tepi ternyata itu hanya harapan palsu, karena plot twist terasa digarap sekenanya, tidak dieksplorasi dengan baik.
Inilah yang menjadi bukti bahwa tidak jelas apa yang mau dituju cerita film ini.
Ketika dari awal naskah sudah bermasalah, kemungkinan besar output dari naskah tersebut juga bermasalah. Pasalnya naskah merupakan tulang punggung film, seperti yang dikatakan banyak sineas.
Mengenai kualitas akting, sebaiknya akting empat karakter utama disimpan untuk konten YouTube mereka saja. Akting Tommy, Dovi, Jovi dan Chandra sangat kaku dan dipaksakan.
Kualitas akting mereka kalah dari Susan Sameh, Widika Sidmore, Karina Salim dan Kezia Aletheia yang cukup mendapat banyak porsi dalam film ini. Akting mereka layak diapresiasi dan setidaknya menjadi penyelamat film ini.
Hal lain yang bisa saya puji dalam film ini adalah adegan ketika Tommy berargumen dengan pacarnya kemudian membuka pakaian. Bagi saya adegan ini lucu, tapi sayang hanya ini saja karena adegan lain tidak.
(adp/bac)