Di saat semakin banyak orang dari banyak negara mulai menyaksikan drama Korea, industri tersebut juga menghadapi permasalahan baru yakni stereotip rasial dan budaya. Hal itu yang setidaknya sempat dialami dua drama yang sedang tayang yakni The Penthouse 3 dan Racket Boys.
Produser dari dua drama yang tayang di SBS TV tersebut baru-baru ini meminta maaf setelah pemirsa luar negeri mengeluhkan penggambaran yang diskriminatif.
Permasalahan dimulai setelah episode 5 Rackey Boys tayang pada 14 Juni. Episode tersebut menggambarkan im badminton Korea Selatan yang tengah bertanding di Jakarta, Indonesia, dalam salah satu ajang internasional.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di episode itu juga terdapat dialog yang dianggap menyudutkan Indonesia, terutama panitia pelaksana bulutangkis. Adegan itu memperlihatkan pelatih dan sejumlah pemain yang meluapkan kekesalannya dalam obrolan di restoran salah satu hotel di Jakarta.
Baca juga:Review Film: F9 The Fast Saga |
Komentar-komentar negatif pun memenuhi akun Instagram maupun Youtube resmi saluran televisi SBS yang memproduksi dan menyiarkan drakor tersebut.
SBS kemudian meminta maaf. Mereka mengatakan tidak bermaksud merendahkan negara, pemain atau penonton negara tertentu.
"Namun demikian, kami mohon maaf atas beberapa adegan yang telah menyinggung pemirsa kami dari Indonesia. Kami akan memperhatikan dengan seksama untuk episode selanjutnya," tulis akun @sbsnow_insta.
Drama Korea 'Racket Boys' diganjar rating buruk di situs Internet Movie Database (IMDb). Bahkan judul drama yang dibintangi Tang Joon-sang ini terlihat berganti nama jadi 'RacketRacist'.
Rating drama berada di angka 2,5 dari 10 saat diakses pada Sabtu (19/6). Rupanya permintaan maaf pihak stasiun televisi SBS, yang memproduksi dan menyiarkan drama, tidak mampu 'menyelamatkan' drama yang bakal tayang 16 episode ini.
Dari kolom user reviews, banyak peninjau terlihat memberikan rating 1 bintang dari penilaian penuh 10 bintang. Sebagian isi komentar dalam tinjauan terkait rasis dan membawa nama Indonesia.
Baca juga:Review Film: F9 The Fast Saga |
CEO Muam Hyun Haeri mengatakan sangat sulit menarik garis drama fiksi, pembatas antara elemen kreatif dan penggambaran yang tidak peka budaya. Muam merupakan perusahaan konsultan dan produksi media.
"Penggemar di Indonesia menyaksikan drama Korea dengan cermat dan produser acara itu tidak menyadari reaksi balik yang bisa muncul di antara pemirsa internasional tertentu karena popularitasnya," ucap Hyun Haeri seperti dilansir Korea Herald.
"Popularitas seperti itu sebenarnya sebuah perkembangan positif dan harus dipertimbangkan saat membuat konten," tuturnya.
Menyoal Cultural Appropriation di drama Korea, baca di halaman 2...