Jakarta, CNN Indonesia --
Mengubah haluan musikalitas bukanlah perkara yang baru-baru amat bagi setiap musisi maupun grup musik.
Sama halnya dengan Efek Rumah Kaca (ERK) yang memang gemar mengeksplorasi tatanan suara dan gubahan nada di setiap karya-karyanya.
Kala pertama mendengar kabar soal perilisan Rimpang, benak saya sudah berpikir bahwa telinga dan kepala pasti sudah cukup penat dan enggan untuk mendengarkan rilisan terbaru ERK dengan segera.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pola yang sama sebenarnya sudah saya lakukan sejak Cholil--pemain gitar, vokalis, dan penulis lagu utama ERK--menciptakan alterego berupa Pandai Besi.
Hingga album Efek Rumah Kaca yang bertajuk Sinestesia (2015), sukar bagi diri saya untuk secara sengaja mendengarkan ERK dengan khidmat.
Tak jarang pula rasa heran hinggap di kepala: Mengapa banyak sekali penikmat musik yang mendadak khusyuk mampus ketika nomor Efek Rumah Kaca dimainkan di pemutar suara?
Mungkin memang kepala dan lambung sudah terlampau muak mendengar tembang Desember yang kerap dimainkan tanpa rencana di warung kopi langganan Anda.
Rasanya cukup sudah berkeluh kesah tentang kebanalan dan narasi klise dari "pencinta" karya ERK.
Saya pribadi selalu memercayai bahwa kejujuran ERK dalam menelurkan karya tak layak untuk terpatri "di situ-situ saja".
Sinisme dan skeptisisme saya sebelumnya memang sama sekali tak terbukti kala menyaksikan Cholil, Akbar, Poppie, dan gitaris baru Reza Ryan bermain musik secara sederhana di atas panggung. Magis.
Grup musik satu ini memang bukan hanya sekadar memainkan instrumen musik untuk mendapatkan atensi para pendengar dan penikmatnya ketika menyanyikan katalog musik mereka.
Toh, selain Reza yang memang seorang prodigy bergitar, rasanya semua personel ERK merupakan sosok yang biasa-biasa saja dalam memainkan alat musik-karena memang bukan itu yang mereka perlukan.
Publik mungkin dengan mudah mengenali kekuatan penulisan lirik dari Cholil Mahmud, yang memang selalu tajam, ramah, dan tepat guna. Tak ada perdebatan soal ini.
[Gambas:Video CNN]
ERK juga dikenal mengedepankan kesederhanaan di tiap aransemen mereka, tapi selalu tampil gemilang oleh daya magis mereka yang muncul entah dari mana.
Album Rimpang merangkum seluruh daya magis ERK itu. Selama nyaris dua dekade mengenal ERK, Rimpang adalah sebuah repertoar yang sangat pantas untuk mendesfinisikan ERK yang sesungguhnya.
Penetapan kata Rimpang sebagai judul album terbaru ini tentu tak sembarangan. Cholil dan kawan-kawan memilih untuk meminjam teori rhizoma milik Gilles Deleuze dan Felix Guattari sebagai gagasan utama di album mereka.
Lanjut ke sebelah...
Teori post-strukturalis itu diinterpretasikan sebagai besar kecilnya harapan yang kelak akan muncul tiba-tiba, tanpa diminta, namun kerap muncul ketika dalam tekanan.
Rimpang sendiri merupakan kata bahasa Indonesia yang digunakan untuk menggolongkan tanaman akar-akaran yang menjalar kuat ke dalam tanah, layaknya jahe, kunyit, maupun temulawak.
Dalam keterangan tertulisnya, 10 track yang terlampir dalam Rimpang mewakili seluruh kesah dan gelisah ERK sekaligus menjadi bentuk kritik dan otokritik untuk mereka sendiri.
Alasannya hanya satu: agar tumbuh dan mengakar kuat.
Mendengarkan lagu pertama berjudul Fun Kaya Fun, saya menerka bahwa nomor ini akan se-catchy dan "senakal" judulnya.
Menggandeng solois bernama Cempaka Surakusumah alias Suraa, Fun Kaya Fun memang memiliki kesan nakal jika ditilik dari sisi ritmiknya.
Pukulan drum Akbar menjadi nyawa d lagu tersebut. Alih-alih kawin dengan bassline milik Poppie--selayaknya pakem bermusik musisi lainnya--Akbar justru bersahutan padu dengan lick gitar Reza.
Namun, saya tak melihat kebaharuan berarti yang kentara pada lagu ini.
ERK belum menjadi ERK seutuhnya bagi saya ketika pertama mendengar Fun Kaya Fun. Pemikiran dan prinsip saya pun tak begitu berubah di nomor-nomor selanjutnya.
"Ini mah masih kayak ERK sebelum-sebelumnya," pikir saya sinis ketika dua tembang bertajuk Bergeming dan Heroik mulai diputar berurutan.
Namun, senyum kecut tersebut berubah menjadi rona senyum lebar kala nomor Sondang hadir dengan gemilang. "Gokil, nyebrang juga nih" hanyalah kalimat yang bisa saya ucapkan mendengarkan lagu tersebut.
Keputusan ERK untuk menyerahkan nyawa aransemen kepada Reza Ryan sebagai gitars terbaru, terhitung cukup berani. Risiko itu diambil dengan sangat tepat.
Hal itu terbukti dalam lagu berjudul Kita Yang Purba. Selipan nada-nada indie rock hadir dengan ramah untuk hati dan telinga.
Sejak bagian tengah lagu tersebut, lick gitar dari Reza seakan mengambil alih peran Cholil untuk mengajak pendengar berdendang bersama. Reza "bernyanyi" dengan gitarnya-tanpa berlebihan dan tanpa terkesan "gue gitaris jago nih".
Nomor Kita yang Purba dengan mudah menjadi andalan dan salah satu karya terbaik yang pernah ditelurkan oleh ERK versi saya pribadi.
Di sinilah analogi rhizoma dan rimpang mulai tampak nyata. ERK berhasil bertumbuh dan mengakar kuat dari segala lini-tak hanya dari sisi aransemen dan musikalitas yang memang jelas berbeda, tapi juga konsep seutuhnya dari ERK sebagai sebuah grup musik.
Beranjak ke nomor-nomor selanjutnya, biarkan magis ERK yang bekerja.
Track-track ajaib seperti Ternak Digembala, title track Rimpang, hingga Bersemi Sekebun yang dibawakan bersama Morgue 'Ucok' Vanguard, akan mudah membawa benak Anda menuju belantara estetika yang bersemayam dalam imajinasi.
Ditutup dengan lagu penutup berjudul Manifesto, album Rimpang bagi saya adalah sebuah perjalanan personal yang menggambarkan proses bertumbuh. Rimpang mengajarkan bahwa pilihan untuk menjadi tidak sederhana bukanlah hal yang berbahaya.