REFORMASI MYANMAR

Harvard Ungkap Kejahatan Perang di Myanmar

CNN Indonesia
Jumat, 07 Nov 2014 10:53 WIB
Laporan Universitas Harvard mengungkapkan pembunuhan dan kekerasan yang dilakukan tentara Myanmar terhadap kelompok etnis minoritas Karen pada 2005.
Harvard mengungkap laporan soal kejahatan perang oleh pasukan Myanmar yang dituduh membunuh warga etnis minoritas Karen. (Foto Ilustrasi/Reuters/Mohammad Ismail)
Massachusetts, CNN Indonesia -- Fakultas Hukum Universitas Harvard di Amerika Serikat mengungkapkan laporan soal kejahatan perang yang dilakukan militer Myanmar terhadap kelompok etnis minoritas Karen enam tahun lalu saat memerangi kelompok pemberontak.

"Walaupun reformasi telah dilakukan, namun ada diskusi publik soal warisan kekerasan dan tekanan pemerintah Myanmar. Masalah ini tidak bisa dikesampingkan dalam pembicaraan soal masa depan negara ini," ujar laporan Harvard, seperti dikutip Reuters (6/11).

Laporan tersebut diperoleh setelah Harvard melakukan penyelidikan independen selama empat tahun untuk mengumpulkan informasi, termasuk mewawancarai 150 orang, tujuh di antaranya mantan tentara, yang mengungkapkan soal pembantaian, pembunuhan dan perkosaan terhadap etnis minoritas Karen saat pasukan Myanmar memberantas pemberontak antara tahun 2005 hingga 2008.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Saat itu, tentara dengan membabi buta menembaki dan melempari desa dengan mortir, membunuhi warga.

Secara khusus, Harvard menyebutkan tiga nama komandan yang saat itu memimpin serangan, yaitu Mayor Jenderal Ko Ko yang saat ini menjabat menteri dalam negeri, Brigadir Jenderal Khin Zaw Oo komandan Biro Operasi Khusus Militer dan Brigadir Jenderal Maung Maung Aye yang tidak diketahui posisinya.

Harvard tidak menuduh ketiga jenderal itu terlibat langsung dalam pembunuhan warga, namun mereka saat itu adalah komandan dan pemimpin dalam operasi tersebut.

"Kami menemukan bahwa mereka memiliki komando dan kendali terhadap para tentara yang melakukan kejahatan ini," kata Matthey Bugher, salah satu penulis dalam laporan Klinik Hak Asasi Manusia Internasional di Fakultas Hukum Harvard.

Menteri Penerangan Ye Htut, juru bicara pemerintah, tidak menjawab telepon dan email Reuters untuk mengonfirmasi laporan tersebut. Militer dan kementerian pertahanan juga belum merespon pertanyaan media.

Sementara itu U Zaw Htay, direktur kantor Presiden Myanman Thein Sein mengatakan bahwa mereka tidak bisa disalahkan.

"Dalam perang sipil, baik Tatmadaw (tentara Myanmar) dan pasukan etnis bersenjata kemungkinan bisa melanggar hak asasi manusia. Bahkan Amerika sendiri melanggar HAM saat perang," kata Htay.

Bugher mengaku telah melakukan pertemuan yang "hangat namun menegangkan" dengan Wakil Menteri Pertahanan Myanmar Mayor Jenderal Kyaw Nyunt di Paypyitaw untuk membahas temuan Harvard tersebut.

"Dia mengatakan bahwa laporan kami hanya melihat dari satu sisi dan tidak akurat. Kami merasa adanya pelanggar HAM di kabinet Myanmar adalah sebuah masalah. Hal ini memunculkan keraguan terhadap upaya reformasi pemerintah," kata Bugher.

Sebelumnya Rabu lalu, pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi mengatakan bahwa reformasi di negara itu menemui jalan buntu. Harapan banyak negara, terutama Amerika Serikat, soal demokratisasi di Myanmar dianggap Suu Kyi terlalu optimistis.

Di antara pengganjal reformasi di Myanmar adalah kebebasan pers yang masih terberangus saat banyak wartawan ditangkapi dan terbunuh.

Myanmar selama 49 tahun dipimpin oleh militer dan baru membuka diri untuk demokrasi pada Maret 2011.

Walaupun saat ini dipimpin oleh presiden militer dan mayoritas anggota parlemen adalah tentara, namun jalan menuju demokrasi Myanmar yang diwujudkan dengan pembebasan Aung San Suu Kyi yang telah dipenjara rumah selama 15 tahun dan tahanan politik lainnya dipuji banyak negara.

Pekan depan, Presiden Amerika Serikat akan menyambangi Myanmar untuk menghadiri KTT Asia Timur.

Obama, lulusan Fakultas Hukum Harvard, disebut tidak akan menawarkan pencabutan sanksi ekonomi atau kerja sama militer pada kunjungannya pekan depan karena tidak melihat kemajuan reformasi di negara itu.

Pihak Kedutaan Besar AS di Myanmar mengatakan bahwa pemerintah akan menanggapi dengan serius laporan Harvard tersebut.

"Kami telah berulangkali menyerukan pemerintah Myanmar untuk memberikan keadilan bagi korban kejahatan dan kekerasan ini dan menyeret pelakunya ke pengadilan dengan cara yang kredibel serta transparan," ujar pejabat di Kedubes AS Myanmar yang tidak ingin disebut namanya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER