Yangoon, CNN Indonesia -- Presiden Barack Obama mendesak pemerintah Myanmar agar berupaya keras mencapai gencatan senjata nasional dan melindungi kaum minoritas di negara itu.
Pernyataan ini dikeluarkan hanya beberapa jam sebelum presiden Myanmar dan kepala staf militer bertemu dengan partai-partai politik oposisi dan kelompok etnis minoritas.
Gedung Putih mengatakan Obama menghubungi Presiden Thein Sein pada Kamis (30/10) dan mendesak "agar segala upaya dilakukan untuk mencapai gencatan senjata nasional dalam waktu secepatnya."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Presiden AS yang akan berkunjung ke Myanmar pada 12-13 November juga menekankan pentingnya mengambil langkah lebih banyak dalam memperbaiki situasi kemanusiaan di negara bagian Rakhine serta upaya lain untuk mendukung hak-hak sipil dan politik suku Rohingya.
Bentrokan dengan kekerasan antara etnis Rakhine yang beragama Budha dan etnis Rohingya yang beragama Islam terjadi di negara bagian Rakhine pada 2012.
Setidaknya 200 orang tewas dan 140 ribu orang, sebagian adalah etnis Rohingya, harus mengungsi.
Obama juga telah menghubungi pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi.
Pertemuan meja bundar di ibukota Naypyitaw antara presiden dan kelompok oposisi dan minoritas adalah yang pertama dan diselenggarakan ketika proses perdamaian dengan pemberontak etnis hampir menemui jalan buntu.
Amerika Serikat juga menekan pemerintah Myanmar terkait dengan penjatuhan hukuman penjara pada wartawan dan tuduhan tekanan kepada Muslim Rohingya dan etnis minoritas lain.
Pengkritik pemerintah Myanmar memandang pertemuan ini merupakan upaya mengubah citra negara itu sebelum kunjungan Obama bulan depan.
Pertemuan meja bundar ini dilakukan ketika perpecahan di negara tersebut semakin meluas menjelang pemilihan umum tahun depan.
Secara khusus, ketegangan yang terus mengganggu adalah langkah partai Aung San Suu Kyi, yang didukung lima juta penandatangan petisi, untuk mengubah UUD dan mengurangi pengaruh militer di panggung politik.
Militer Myanmar telah memerintah dengan tangan besi selama 49 tahun.
Pertemuan meja bundar itu sendiri diterima dengan skeptis oleh sejumlah pihak di Myanmar.
"Pemerintah tampaknya berniat mempergunakan pertemuan ini untuk memberi citra bagus sebelum kunjungan Presiden Obama. Kecil kemungkinan akan dicapai hasil yang nyata," kata Yang Myo Thein, seorang pengamat politik.
Yang Myo Thein menambahkan pemerintah seharusnya memusatkan perhatian dalam upaya menciptakan persatuan dan keterbukaan dalam sistem politik yang akan terbentuk dan menghadapi terpaan kuat di masa mendatang.
Tekanan BertambahHanya enam dari 70 partai politik dan sejumlah kecil kelompok etnis Myanmar yang diundang ke pertemuan tersebut.
"Presiden juga harus menjelaskan [fakta itu]," kata Aye Maung, ketua Partai Nasional Arakan yang merupakan partai etnis terbesar di parlemen yang berpusat di Rakhine dan tidak diundang ke pertemuan meja bundar.
Thein Sein, seorang mantan jenderal, dipuji karena melakukan reformasi di berbagai bidang sejak berkuasa pada 2011 dan berhasil meyakinkan negara-negara Barat untuk menunda sebagian besar sanksi yang dikenakan pada Myanmar.
Tetapi pihak pengkritiknya mengatakan perubahan-perubahaan itu sekarang mulai berantakan.
Obama berupaya menampilkan reformasi di Myanmar yang didukung AS sebagai kesuksesan politik luar negerinya, tetapi Washington memperhatikan perkembangan yang terjadi di negara itu dengan penuh kekhawatiran.
 Aung San Suu Kyi dikritik karena tidak mau mengecam militer atau perlakuan pada etnis minoritas. (Reuters/Soe Zeya Tun ) |
Pada Selasa (28/10), Departemen Luar Negeri Amerika mengatakan "sangat prihatin dan sedih" atas laporan pembunuhan Par Gyi, seorang wartawan dan mantan pegiat demokrasi yang pernah bekerja sebagai pengawal Aung San Suu Kyi, di penjara.
Meski mendapat dukukungan luas di dalam dan luar negeri, sejak menjadi anggota parlemen Suu Kyi mendapat kritik keras karena ragu untuk mengomentasi masalah-masalah politik yang berbelit-belit atau menentang militer.
Ketika ditanya mengenai perundingan meja bundar yang diadakan pemerintah ini saat diwawancarai Radio Free Asia, Suu Kyi menjawab: "Dari mana anda mendapat informasi ini? Tanya pada mereka yang diundang."
Pemilihan legislatif tahun depan adalah pemilu pertama sejak 2010, dimana sistem rakyat semu mengantikan kendali absolut militer yang berkuasa sejak kudeta pada 1962.
Partai Liga Nasional Bagi Demokrasi, NLD, pimpinan Aung San Suu Kyi, juga untuk pertama kali ikut setelah memenangkan pemilu 1990 yang tidak diakui oleh militer.
Partai ini memboikot pemilu 2010 dan Suu Kyi sedang menjalani tahanan rumah saat itu.
Militer mempertahankan beberapa jabatan di kabinet dan 25 persen kursi parlemen, yang pada akhirnya merupakan veto terhadap upaya mengubah UUD yang harus didukung oleh lebih dari 75 persen anggota kabinet.
NLD mencoba mengubah situasi ini, tetapi akan ditentang keras oleh kubu lawan.