Jakarta, CNN Indonesia -- Isu eksodus warga Nunukan, Kalimantan Utara, mencuat setelah ratusan orang dari tiga desa dilaporkan berpindah kewarganegaraan ke Malaysia. Anggota DPRD Nunukan, Karel Sompotan, berusaha meluruskan hal ini.
Kepada CNN Indonesia (17/11), Karel mengatakan ratusan orang dari tiga desa itu eksodus bukan belakangan ini saja, melainkan sejak tahun 1985.
Anggota Komisi III DPRD Nunukan ini mengatakan wacana ini kembali mencuat saat pada 10 Oktober lalu dia hendak mengunjungi desa di wilayah itu. Namun menurut masyarakat, desa itu sedang tidak ada orang, entah karena
kondangan atau bekerja.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Akhirnya dilakukan pertemuan antara anggota DPRD dengan para tokoh adat dan veteran di Desa Mansalong, Lumbis Ogong. Dalam pertemuan itu, Karel mendengarkan keluhan warga soal sepinya kampung karena banyak warga yang pindah atau bekerja ke Malaysia.
Karel mengatakan, masalah eksodus ini telah terjadi di Nunukan sejak tahun 1985. Kebanyakan karena masalah ekonomi, infrastruktur dan kesejahteraan. Warga yang lebih baik di Malaysia.
Pada pemberitaan, dikatakan bahwa ratusan warga di desa Sinapad, Sinokot dan Simantipal eksodus ke Malaysia. Karel mengatakan, sebenarnya ketiga desa itu adalah sebuah kelompok desa, yang terdiri dari 21 desa, dan ratusan yang eksodus terjadi sejak 1985, bukan baru-baru ini saja.
"Jumlah orang kita di sebelah itu 620 orang, terdiri dari 20 desa sejak tahun 1985. Penyebabnya bermacam-macam, mulai dari kesejahteraan, infrastruktur, ekonomi dan pekerjaan yang mudah," kata Karel.
Selain masalah ekonomi, lanjut Karel, eksodus warga juga diduga terjadi saat terjadi konfrontasi dengan Malaysia tahun 1984-1985. "Entah eksodus atau tawanan perang, saat itu tentara Gurkha Malaysia mengangkut orang-orang di desa Kinokot. Dulu desa ini bergabung di kelompok desa Lapang yang terdiri dari enam desa, sekarang tinggal lima desa," lanjut Karel.
Karel mengatakan, masalah eksodus ini diangkatnya kembali karena semakin mengancam keberlangsungan wilayah Indonesia di daerah-daerah yang masih belum kelar sengketanya dengan Malaysia.
"Muncul kekhawatiran jumlah warga semakin berkurang. Contohnya pada pemilu tahun 2004, jumlah hak suara masih signifikan, namun berkurang pada 2009. Tahun 2014, sudah tidak ada lagi hak suara, makanya kami angkat lagi," ujar Karel.
Bangun PerbatasanMenurut Karel, para warga adalah patok hidup bagi perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Jika patok hidup ini hilang, maka perbatasan makin bias.
Untuk mencegah hal ini terjadi, Karel mendesak pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk membangun perbatasan agar warga tidak perlu mencari nafkah atau bahkan pindah ke negara tetangga.
"Pemerintah harus membangun Kabupaten dengan membangunkan jalan, perumahan, jangan sampai kalah dengan tetangga kita yang lebih sejahtera. Kalau orang kita ditarik ke sebelah, tapi punya tanah masih di kita, khawatirnya orang ini akan memperkuat daerah sengketa di Malaysia," kata Karel.
Karel juga membantah pemerintah yang mengatakan tidak ada klaim Malaysia di perbatasan Kalimantan. Jika permasalahan ini dimenangkan Malaysia, dia menduga wilayah Indonesia sepanjang 50 ribu hektar akan hilang.
"Pemerintah harus melihat peta, apakah betul tidak ada klaim. Kami hidup di perbatasan, tahu betul itu," kata pria kelahiran desa Simantipal, Nunukan, ini.