SENGKETA PERBATASAN

WNI Nunukan Bukan Eksodus, Tapi Kondangan

CNN Indonesia
Senin, 17 Nov 2014 10:51 WIB
Wacana eksodus warga negara Indonesia ke Malaysia di Nunukan, Kalimantan Utara, menyeruak belakangan ini. Konsulat RI di Tawau menjelaskan duduk perkaranya.
ilustrasi Indonesia. Sengketa perbatasan masih menjadi masalah, beberapa waktu lalu, ditemukan kasus pembagian identitas kewarganegaraan Malaysia di tiga desa yang berbatasan langsung. (Thinkstock/Marcio Silva)
Jakarta, CNN Indonesia --

Kementerian Luar Negeri Indonesia membantah kabar soal adanya ratusan warga tiga desa di Nunukan, Kalimantan Utara, yang eksodus ke Malaysia dan telah memiliki kartu tanda penduduk negara tetangga.

Menurut Muhammad Soleh, Kepala Perwakilan RI di Tawau, Malaysia, isu itu tidak benar adanya. Dia menegaskan bahwa ratusan warga di tiga desa Kecamatan Lumbis Ogong, yaitu Desa Sumantipal, Sinapad, dan Kinokod, sedang tidak ada di kediamannya saat DPR berkunjung pada 10 Oktober 2014, lantaran sedang menghadiri acara pernikahan di desa lainnya.

"Itu tidak benar, saya telah sampaikan ke Menteri Luar Negeri. Saat anggota DPR datang ke sana, mereka sedang berkunjung ke desa lainnya, kebetulan kepala desa ada pemuka atau tokoh agama yang sedang melaksanakan resepsi pernikahan," kata Soleh saat dihubungi CNN Indonesia (17/11).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal ini ditegaskan juga dalam pernyataan situs Konsulat RI Tawau, Sabah, Malaysia, yang mengatakan bahwa warga sedang menghadiri acara pernikahan anak dari Kepala Desa Simantipal di Desa Mansalong, Kecamatan Lumbis Ogon, Nunukan, sehingga muncul isu eksodus karena desa tersebut kosong.

Camat Lumbis Ogong, seperti dikutip dalam pernyataan Konsulat RI Tawau, menegaskan bahwa status kependudukan masyarakat desa tersebut masih sebagai warga negara Indonesia.

Adapun masyarakat desa di kecamatan tersebut rata-rata pergi ke Malaysia hanya untuk mengunjungi keluarga, menghadiri undangan kerabat, berbelanja serta mencari nafkah.

Kegiatan tersebut sudah menjadi hal rutin mengingat dekatnya letak geografis dan rekatnya hubungan kekerabatan dengan masyarakat setempat yang sudah terjalin beratus tahun.

"Mari lihat ke perbatasan, tidak ada persoalan. Warga dua negara hidup berdampingan secara damai selama ribuan tahun," kata Soleh.

Perwakilan RI di Tawau mengatakan bahwa isu yang sama pernah terjadi di tahun 1965, saat para penduduk banyak bergantung pada Malaysia untuk menyelamatkan kebutuhan hidup mereka yang begitu susah karena kebutuhan logistik yang sulit diperoleh dari wilayah Indonesia dan aksesnya lebih mudah didapat dari Malaysia.

"Untuk menghindari munculnya permasalahan yang sama dari tahun ke tahun, perhatian terhadap masalah dan pembangunan kawasan perbatasan perlu mendapat perhatian dan prioritas serta koordinasi dari berbagai pihak sehingga warga negara Indonesia yang berada di kawasan terdepan NKRI dapat merasa lebih memiliki Indonesia serta merasakan manfaat sebagai warga negara Indonesia," ujar Perwakilan RI di Tawau.

Tidak Mudah

Perwakilan RI Tawau juga menegaskan bahwa proses menjadi warga negara Malaysia tidak mudah dan sangat lama. Sekarang pihak Malaysia di Sabah lebih ketat dalam memberikan ijin laluan, ijin tinggal apalagi IC Merah atau Permanent Resident (MyPR) pada warga asing.

"Mereka yang bisa mendapatkan MyPR harus menetap lebih kurang 5 tahun tanpa keluar ke Indonesia dan ada warga Malaysia atau pihak yang menjadi penjamin. Sejauh ini dari pendekatan Konsulat RI Tawau ke Kantor Imigrasi di Lumbis Ogong dan Jabatan Pendaftaran Negara (JPN) Sabah tidak terdapat data adanya permohonan atas MyPR apalagi dalam jumlah besar," tulis Perwakilan RI Tawau.

Warga di desa sekitar yang akan ke Malaysia, lanjut Perwakilan RI, juga tetap harus mempunyai ijin PLB ( Pas Lintas Batas) dari Pos Imigrasi yang ada di Desa Bantul, Lumbis Ogong.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER